Bagaimana Argumentasi Para Pendiri Bangsa Untuk Menempatkan Ajaran Syariat Islam Sebagai Bagian Dari Dasar Negara?

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Artikel ini membahas tentang bagaimana argumentasi para pendiri bangsa untuk menempatkan ajaran syariat Islam sebagai bagian dari dasar negara, yang awalnya tertuang dalam Piagam Jakarta.
Artikel ini membahas tentang bagaimana argumentasi para pendiri bangsa untuk menempatkan ajaran syariat Islam sebagai bagian dari dasar negara, yang awalnya tertuang dalam Piagam Jakarta.

Artikel ini membahas tentang bagaimana argumentasi para pendiri bangsa untuk menempatkan ajaran syariat Islam sebagai bagian dari dasar negara, yang awalnya tertuang dalam Piagam Jakarta.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Sebagaimana kita tahu, negara kita Indonesia dibangun di atas landasan adu argumen antar-para-pendiri bangsa. Argumen-argumen mereka terkadang seiring sejalan, terkadang saling bertolak belakang.

Termasuk juga soal penerapan syariat Islam. Lalu bagaimana argumentasi para pendiri bangsa untuk menempatkan ajaran syariat Islam sebagai bagian dari dasar negara?

Untuk membahas itu tentu kita tidak bisa berpaling dari Pancasila dan Piagam Jakarta.

Kita tahu, penempatan syariat Islam sebagai bagian dari dari dasar negara pernah tercantum dalam Piagam Jakarta. Bunyinya sebagai berikut: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.

Tapi hal tersebut lantas diubah karena adanya desakan dari golongan Indonesia Timur dengan argumen: Indonesia tidak hanya terdiri dari satu agama. Moh. Hatta kemudian memberikan saran agar agama Islam tidak perlu masuk sebagai dasar negara secara formal tetapi tetap menjadi dasar moral bagi bangsa Indonesia.

Bagaimana proses pengubahan Piagam Jakarta itu?

Mengutip Intisari-Online.com,Piagam Jakarta merupakan rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang dirumuskan oleh Panitia Sembilan Badan Penyelidikan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) di Jakarta pada tanggal 22 Juni 19451.

Piagam Jakarta hakikatnya adalah teks deklarasi kemerdekaan Indonesia yang di dalamnya berisi manifesto politik, alasan eksistensi Indonesia, sekaligus memuat dasar negara Republik Indonesia.

Piagam Jakarta mengandung lima sila yang menjadi bagian dari ideologi Pancasila, tetapi pada sila pertama juga tercantum frasa "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya".

Frasa ini, yang juga dikenal dengan sebutan “tujuh kata”, pada akhirnya dihapus dari Pembukaan UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, yaitu badan yang ditugaskan untuk mengesahkan UUD 1945.

Latar belakang perumusan Piagam Jakarta bermula dari dibentuknya BPUPKI oleh pemerintah Jepang pada tanggal 1 Maret 1945 untuk mempersiapkan proses kemerdekaan Indonesia.

BPUPKI terdiri dari 67 anggota yang berasal dari berbagai latar belakang politik, agama, suku dan daerah. BPUPKI mengadakan dua kali sidang pleno, yaitu pada tanggal 29 Mei-1 Juni 1945 dan 10-17 Juli 1945.

Dalam sidang pertama BPUPK, terjadi perdebatan mengenai dasar negara Indonesia yang akan merdeka. Beberapa anggota BPUPKI mengemukakan pendapat mereka mengenai rumusan dasar negara, seperti Muhammad Yamin, Soepomo dan Soekarno.

Dari sekian banyak usulan, yang mendapat sambutan paling antusias adalah pidato Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 yang menyampaikan konsep dasar negara yang disebut Pancasila. Pancasila menurut Soekarno terdiri dari lima butir, yaitu:

1. Kebangsaan Indonesia

2. Internasionalisme atau perikemanusiaan

3. Mufakat atau demokrasi

4. Kesejahteraan sosial

5. Ketuhanan Yang Maha Esa

Namun, pidato Soekarno ini tidak sepenuhnya diterima oleh sebagian anggota BPUPKI, terutama dari kelompok Islam yang menghendaki adanya penegasan tentang kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya dalam sila pertama.

Oleh karena itu, dalam sidang kedua BPUPKI, dibentuklah Panitia Sembilan yang bertugas untuk merumuskan dasar negara berdasarkan hasil sidang pertama. Panitia Sembilan terdiri dari sembilan orang anggota BPUPKI, yaitu:

- Soekarno (Nasionalis)Mohammad Hatta (Nasionalis)

- Ahmad Subardjo (Nasionalis)

- Abikusno Tjokrosujoso (Nasionalis)

- Agus Salim(Islam)

- Wahid Hasyim (Islam)

- Mohammad Yamin (Islam)

- Abdoel Kahar Moezakir (Islam)

- Ki Bagus Hadikusumo (Islam)

Panitia Sembilan berhasil menyusun rancangan Pembukaan UUD 1945 yang disebut Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945 di rumah Soekarno.Piagam Jakarta memuat lima sila sebagai berikut:

1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab

3. Persatuan Indonesia

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Piagam Jakarta tidak langsung menjadi Pembukaan UUD 1945 tanpa perubahan. Pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang merupakan kelanjutan dari BPUPKI mengadakan sidang untuk menetapkan UUD 1945 sebagai konstitusi negara.

Dalam sidang tersebut, terjadi perubahan penting dalam Piagam Jakarta, yaitu penghapusan frasa “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam sila pertama.

Alasan perubahan ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang memiliki berbagai suku bangsa dan agama. Jika frasa tersebut tetap dipertahankan, maka akan menimbulkan ketidakpuasan dan diskriminasi bagi pemeluk agama lain selain Islam4.

b. Untuk menghindari kemungkinan terpecahnya wilayah Indonesia Timur yang mayoritas penduduknya bukan beragama Islam. Mohammad Hatta mendapat kabar dari seorang perwira angkatan laut Jepang bahwa kelompok nasionalis dari Indonesia Timur lebih memilih mendirikan negara sendiri jika frasa tersebut tidak dihapus.

c. Untuk menegaskan bahwa Indonesia adalah negara Pancasila dan bukan negara Islam atau negara berdasarkan agama tertentu. Pancasila sebagai dasar negara menjamin kebebasan beragama bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa membedakan atau memihak kepada agama tertentu4.

Perubahan ini dilakukan atas prakarsa Mohammad Hatta yang mendapat persetujuan dari Soekarno dan sebagian besar anggota PPKI. Namun, ada juga sebagian anggota PPKI dari kelompok Islam yang tidak setuju dengan perubahan ini dan merasa kecewa karena merasa telah dikorbankan demi kepentingan nasionalisme.

Meskipun demikian, perubahan ini tidak menghapus nilai-nilai Islam dalam Pancasila maupun UUD 1945. Nilai-nilai Islam tetap terkandung dalam sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa dan sila kelima Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia4.

Selain itu, Presiden Soekarno juga mengumumkan dalam Dekret Presiden 5 Juli 1959 bahwa Piagam Jakarta “menjiwai” UUD 1945 dan "merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut".

Begitulah artikel tentangbagaimana argumentasi para pendiri bangsa untuk menempatkan ajaran syariat Islam sebagai bagian dari dasar negara, semoga bermanfaat.

Artikel Terkait