Pada 1992, Wahyu Sardono alias Dono Warkop naik haji. Sebelum berangkat dia diliputi kegundahan tapi semua berjalan lancar. Tapi ada ibu-ibu yang mengusilinya saat di Tanah Suci.
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Wahyu Sardono alias Dono Warkop naik haji pada 1992. Rasa takut sempat menghantuinya sebelum berangkat. Dia pun mempertanyakan dirinya, benarkah dia seorang muslim sejati? Di hadapan Kabah di Kota Suci, perasaannya lain lagi. Dia justru diliputi rasa haru tak henti-henti. Selama berhaji, tak ada doa khusus yang dia panjatkan kehadirat Ilahi, kecuali agar dia dicintai Allah Yang Maha Kuasa.
Inilah cerita Dono naik haji sebagaimana dituturkan kepada Maman Suherman dari Tabloid NOVA edisi 12 Juli 1992
===
Sebelum berkisah ihwal ibadah haji yang baru saja kutempuh, ada dua hal yang patut kubetulkan. Di NOVA nomor lalu tertulis istriku bernama Tuti Kusumawardani. Padahal nama sebenarnya Titi Kusumawardani. Ya, ibu anak-anakku adalah Titi. Bukan Tuti! Wah, rupanya wartawannya salah ketik. Dan bukan aku yang salah ucap lho. Rasanya tidak mungkin aku salah menyebut nama wanita yang selama ini mendampingiku.
Kalau ada yang menduga, ah mungkin ada wanita lain di sisiku selain Titi, dan namanya Tuti? Ooo… nggak mungkin! Nggak mungkin! Hanya ada satu wanita di sisiku. Dan dia adalah Titi. Percayalah!
Hal kedua adalah tentang tanggal lahir anak bungsuku, Satrio Sarwo Trengginas. Satrio lahir tanggal 29 April 1992, bukan 2 Mei seperti tertera di nomor lalu. Alhamdulillah, tulang belikatnya yang retak ketika dilahirkan, kini sudah sembuh total.
Dicekam rasa takut
Alhamdulillah pula tahun ini aku bisa beribadah haji. Ada yang bertanya, kok baru sekarang berhaji? Ya, terus terang karena baru terpikir tahun ini. Istriku mengizinkan dan kebetulan tabungan mencukupi, hingga semakin bulatlah niatku menyempurnakan Rukun Islam yang kelima itu.
Mula-mula niat ini kupendam sendiri dalam hati. Aku baru memberitahukan kepada teman-teman dekat setelah aku mendaftarkan diri dan mengurus segala sesuatunya. Ketika itu, hampir semua teman tak ada yang percaya.
"Naik haji? Nggak salah tuh?" komentar mereka. Bahkan ada yang ngeledek, "Mas bisa nggak nengoknya kalau mengucapkan Assalamualaikum di akhir salat?" Namun niat yang sudah bulat, membuat aku tidak menanggapi semua guyonan itu.
Sekalipun begitu pada hari keberangkatan, tepatnya sesaat sebelum meninggalkan rumah, tiba-tiba rasa takut menyeruak ke dalam hatiku. Astaghfirullah! Bisa jadi rasa takut itu timbul karena aku "termakan" cerita banyak orang. Bahwasanya di Mekkah, akan terjadi apa yang dinamakan "bayar kontan". Artinya, kita akan mendapat balasan setimpal akan perbuatan yang telah kita perbuat selama ini. Wah... apa gerangan "bayaran" yang akan kudapatkan di sana?
Setiba di Jeddah perasaan takut semakin mencekam, terutama menjelang keberangkatanku ke Mekkah, setelah aku mengenakan pakaian ihram berupa selembar kain putih tak berjahit, salat sunah, dan melafalkan niat umroh. Untuk mengatasi perasaan itu, hanya berdoa yang bisa kulakukan. "Ya Allah, kuatkanlah diriku!"
Entah bagaimana, sepanjang perjalanan aku tertidur. Tiba-tiba seseorang membangunkan aku dan mengatakan bahwa kota Mekkah telah di depan mata. Segera kubuka mataku dan di hadapan bus yang kutumpangi berdiri kokoh sebuah papan bertuliskan "Muslim only". Artinya, hanya orang muslim semata yang boleh menginjakkan kaki di Mekkah.
Sesaat aku terhenyak. Berbagai pertanyaan muncul di benakku. Ya Allah, apakah aku benar-benar pemeluk Islam sejati? Apakah aku ini cukup layak untuk mengunjungi Ka’bah Baitullah?
Semakin mendekati Ka’bah, hati ini semakin dag-dig-dug saja. Apalagi setelah aku melihat menara Masjid Haram yang bersinar sangat terang. Jantungku berdegup semakin keras, jedag-jedug, jedag-jedug. Begitu menjejakkan kaki di Masjid Haram dan sosok Ka'bah terlihat jelas di depan mata, ganti rasa haru menyelimuti diri. Kini, setiap kali menceritakan pengalaman ini keharuan itu seakan masih terasa hingga aku pun tak kuasa menahan air mata.
Saat itu, aku ingin sekali menghilangkan gambaran Ka'bah dari mataku, karena aku percaya Ka'bah bukanlah Allah. Ka'bah hanyalah tumpukan batu yang menjadi kiblat, untuk menyatukan arah salat umat Islam sedunia dan bukan sosok Allah yang sebenarnya.
Ingin dicintai Allah
Sepanjang menjalankan rangkaian ibadah di Masjid Haram, pertanyaan dasar kembali menyelimuti batinku. Betulkah aku ini seorang muslim sejati? Sudah benarkah keislamanku? Apakah aku ini menjadi orang Islam hanya karena kebetulan orangtuaku Islam dan aku bisa mengucapkan syahadat? Ya Allah, berilah aku petunjuk.
Alhamdulillah, aku tak mengalami hambatan yang berarti selama melaksanakan ibadah umroh dan haji. Wukuf, Tawaf, Sai, Tahalul dan semua Wajib Haji kulakukan dengan mulus. Kalaupun ada sedikit gangguan, aku diserang flu yang lumayan berat. Selebihnya tidak ada. Maha Suci Allah, yang telah menjagaku.
Beberapa teman kerap bertanya, "Don, doa apa yang paling kerap kau panjatkan sepanjang beribadah haji. Kok khusyuk amat?" Sebetulnya aku tidak punya doa khusus. Sebelum berhaji, seorang teman menasihatiku, "Jangan minta apa-apa, kecuali permohonan agar Tuhan mencintaimu. Karena kalau Tuhan mencintaimu, segalanya akan lancar." Nasihat itu selalu kuingat, dan karenanya doa yang paling sering kupanjatkan hanyalah, "Ya Allah, cintailah diriku!"
Ada sebait doa lain lagi yang tak bosan-bosannya kulafalkan di dalam Masjid Haram, Padang Arafah dan di Masjid Nabawi di Madinah. "Ya Allah, perbanyaklah air susu istriku agar bayiku mendapatkan banyak ASI," itu bunyi doaku.
Mengapa doa itu yang kupinta? Tentu ada alasannya. Dulu anak sulungku dan juga yang kedua hanya menikmati ASI kurang dari 1 bulan. Selebihnya mereka minum susu kaleng, karena air susu istriku cepat berhenti. Kali ini aku berharap, anak bungsuku mendapat ASI lebih banyak dibanding saudara-saudaranya. Allah tampaknya mengabulkan doaku, karena hingga Satrio berusia 3 bulan istriku masih bisa menyusuinya sendiri.
Balas diusilin
Di luar urusan ibadah ada sejumlah kenangan yang kucatat dan tak mungkin kulupa saat berkunjung ke Tanah Suci. Saat berziarah ke Jabal Rahmah, tempat Nabi Adam AS dan Siti Hawa kembali bersua setelah dikeluarkan Allah dari surga. Kenapa aku begitu terkesan dengan tempat ini? Aku melihat batu-batu di Jabal Rahmah penuh tulisan grafiti yang penulisnya bisa kutebak pasti orang Indonesia.
Soalnya grafiti itu berbau Indonesia. Ada tulisan "Saimun, Mauk-Tangerang, AREMA (Arek-arek Malang, Red)" dan macam-macam lagi. Astaghfirullah, mbok ya mereka bisa menahan diri. Tempat ziarah kok dicorat-coret seenaknya.
Aku sendiri meski jago dalam soal celetukan usil, selama di Tanah Suci berjuang keras untuk menjaga mulut. Alhamdulillah, bisa. Sebaliknya kali ini gantian aku yang diusilin orang. Ya, inilah mungkin bagian dari acara "bayar kontan" tadi. Ha ...ha ... ha....
Aku sering sekali diusilin orang. Misalnya oleh pedagang shawarma (sejenis sandwich, Red) Arab yang menipuku. Juga oleh bangsa sendiri. Sewaktu di dalam lift hotel yang aku tempati, tiba-tiba saja seorang ibu yang tidak kukenal nyeletuk, "Kayak apa ya, bentuknya istri pelawak ini?"
Mendengar istriku dibawa-bawa, aku sungguh kesal. Istriku kan tidak salah apa-apa. Lagi pula apa urusannya dengan istriku? Mau berwajah cakep kek atau jelek kek, apa peduli? Itu kan istriku, gerutuku dalam hati. Sekalipun gondok, aku berhasil menahan diri untuk tidak membalas. Kusabar-sabarkan diriku dan mencoba mengambil hikmahnya.
Tak terasa ibadah haji yang kujalani selesai sudah. Aku segera kembali ke Tanah Air dan berada di tengah-tengah anak-istriku. Sekalipun kini aku bergelar haji, namun aku tak berani berjanji pada Allah, bahwa aku akan tekun mendalami soal keislaman. Sungguh mati aku takut berjanji, apalagi pada Allah. Cuma dalam hati aku bertekad untuk bersikap dan berbuat lebih baik daripada tahun-tahun sebelumnya.
Sebagai haji bebanku dalam pergaulan tidaklah ringan. Ketika berkumpul dengan teman-teman pekerja film, misalnya, aku langsung disambut, "Halo, Pak Haji. Apa Kabar? Kalau Magrib tiba, Pak Haji jadi imam, ya. Nanti kami yang jadi muatan alias jadi makmumnya," ujar seorang kru film.
Aduh, ini tidak mudah. Wong saya hanya sedikit sekali hafal surat-surat dalam Al Qur'an. Kalaupun hafal, suaraku tidaklah sebagus para qori. Anak-anakku saja geli kalau mendengar suaraku, apalagi orang lain. Masa begitu mau jadi imam? Apa tidak membuat jemaah malah jadi tidak khusyuk salatnya? Tapi saya kira tak sepatutnya hal itu kujadikan alasan untuk menolaknya. Justru kekurangan itu mestinya kujadikan cambuk untuk lebih mendalami dan mengkaji Al Qur'an.
Aku pun ingin hidup lebih baik lagi. Serta yang pasti, aku ingin mengunjungi Tanah Suci Mekkah dan Madinah lagi bersama keluargaku. Semoga Allah mengizinkan!
===