Genta maut
Malam hari sebelum menjalani hukuman, terhukum dipindahkan ke tempat pelaksanaan hukuman. Konon malam itu ia tidur di bawah panggung tiang gantungan. Pelaksanaan hukuman pun sering dilaksanakan pada malam hari, diterangi cahaya obor; tetapi biasanya terjadi di waktu pagi sekali.
Pada pagi itu pintu-pintu gerbang Stadhuis ditutup dan semua jembatan gantung diangkat naik. Letak gerbang Stadhuis pada tahun 1959 pun tidak diketahui dengan pasti. Berdasarkan uraian Dr. de Haan bahwa pekarangan Stadhuis membentang dari Tijgerstraat (jalan di depan gedung BNI) sampai ke Heerenstraat (sekarang Jalan Tongkol), dapat diperkirakan bahwa gerbang tersebut mungkin yang dinamakan Amsterdamsche Poort. Gerbang itu dulu terletak beberapa puluh meter di arah utara terowongan yang melintasi Jalan Tongkol sekarang. Gerbang itu sudah dibongkar.
Kecuali menutup pintu gerbang dan mengangkat naik jembatan gantung, penjagaan di sekitar tempat pelaksanaan hukuman juga sangat ketat. Beberapa pucuk meriam disiapkan, sedang pasukan kavaleri berpatroli kian kemari. Kemudian genta besar dalam menara gedung Stadhuis berdentang. Pertanda bahwa si terhukum dibawa masuk ke ruang pengadilan untuk diperiksa lagi identitasnya. Bersamaan dengan bunyi genta kedua kali, terhukum dibimbing naik ke atas panggung hukuman didampingi seorang pendeta.
Pada dentang ketiga, para hakim, dan pembesar lain menuju ke tempat masing-masing. Mereka naik ke tingkat dua dan mengambil tempat di depan jendela untuk menyaksikan pelaksanaan hukuman.
Ruangan para hakim berpintu tebal dengan bingkai beton, dengan dua buah jendela yang diperkuat jeruji besar dan kekar. Tampaknya suatu persiapan terhadap kemungkinan terjadinya serbuan massa rakyat atas diri para hakim pada waktu hukuman dilaksanakan. Setelah semua siap, hukuman pun dijalankan.
Pangeran Diponegoro pernah di sana?
Seperti telah diterangkan di atas, Gedung Stadhuis yang masih berdiri sampai sekarang, dibangun pada tahun 1707. Di tahun 1620 Jan Pieterszoon Coen merencanakan pembangunan Stadhuis sebagai gedung besar bertingkat dua di tengah-tengah kota.
Tingkat kedua digunakan sebagai gereja. Tidak diketahui dengan pasti apakah rancangan Coen itu berjalan seret atau hanya menjadi bangunan sederhana. Nyatanya pada tanggal 30 Mei 1626 telah berlangsung upacara peletakan batu pertama untuk sebuah gedung baru yang dinamakan Stadhuis kedua dan hanya terdiri atas satu tingkat.
Pada tahun 1649 ditambah dengan tingkat kedua.
Tampaknya Stadhuis itu pun punya penjara karena di pekarangan belakang ada rumah-rumah untuk sipir. Di samping itu sebagian gedung mungkin juga dipergunakan sebagai biara, karena di pekarangan tersebut dikatakan ada pintu masuk ke biara (kloosteringang).
Gedung yang sekarang masih ada, dulu dinamakan Stadhuis ketiga. Sebagian dari tingkat kedua dipergunakan pula sebagai tempat tahanan bagi para pejabat Eropa dan tokoh-tokoh pribumi.
Menurut Dr. de Haan, Pangeran Diponegoro juga pernah ditahan sebulan di sana sebelum diberangkatkan ke tempat pengasingan. Dr. de Haan menyayangkan bahwa peristiwa tibanya Pangeran Diponegoro di Batavia tidak diberitakan sama sekali dalam Javasche Courant (Lembaran Negara) atau dalam koran-koran lain.
Akibatnya kini tidak diketahui dengan tepat, ruangan mana dari Stadhuis yang pernah menjadi tempat tahanan Pangeran itu.
Pada tahun 1743, bertepatan dengan pemasangan pipa waterleiding (air minum) di Batavia, di halaman Stadhuis dibangun air mancur. Sisa-sisanya masih ditemukan pada tahun 1835. Panitia Pemugaran juga merencanakan membangun kembali air mancur itu. Diharapkan bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Jakarta bulan Juni 1973, air mancur sudah menyembur lagi.
Dapatkan artikel terupdate dari Intisari-Online.com di Google News
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR