Di dalam sel-sel terpasang palang-palang besi. Para tahanan yang sedang menjalani hukuman berat ditambat kakinya dengan rantai supaya tidak bisa lari. Ketika saya melongok ke dalam sel-sel itu, palang-palang dan tambatan-tambatan itu tidak tampak karena gelap.
Menurut de Haan, di tahun 1732, seorang pejabat tinggi Belanda pernah meringkuk dalam tahanan itu selama 10 hari. Dia anggota Raad van Indie dan bekas gubernur jenderal Belanda di Ceylon (Sri Lanka), Petrus Vuyst.
Dia disekap di situ karena terserang semacam penyakit gila (tropenwaanzin) sehingga melakukan berbagai kekejaman di luar batas-batas kemanusiaan. Vuyst masih berhubungan keluarga dengan Gubernur Jenderal Valkenier, yang pada tahun 1740 memerintahkan pembantaian atas masyarakat Tionghoa di Batavia.
Dalam rangka peristiwa berdarah tersebut, pada bulan Oktober 1740 di dalam penjara itu disekap 500 orang Tionghoa. Atas perintah advocaat fi scaal (Jaksa Agung pemerintahan Belanda pada masa itu), seorang demi seorang dari ke-500 tahanan itu dikeluarkan dan dibunuh. (Dr. de Haan menggunakan istilah “afgeslacht” — disembelih).
Dalam buku Untung Surapati karangan Abdoel Moeis, diceritakan bahwa pahlawan atau pejuang kemerdekaan dari abad ke-17 yang gigih itu pernah ditahan di sana. Saya tidak tahu pasti, apakah dalam penjara yang sama ataukah penjara Stadhuis yang dibangun sebelumnya.
Kalau dalam penjara yang sekarang masih ada bekas-bekasnya, maka betapa hebat dan nekatnya Untung beserta kawan-kawan. Karena mereka dapat mendobrak penjara yang sekekar itu dan melarikan diri untuk mulai menyusun perjuangan.
Tanggal 5 Maret 1856 diberitakan bahwa seorang tahanan bangsa Eropa mencoba melarikan diri tetapi gagal. la langsung dijebloskan dalam penjara di bawah tanah itu. Dari sini ternyata bahwa penjara itu masih berfungsi sampai tahun 1856.
Tidak bisa bayar utang? Masuk!
Sepanjang abad ke-18 penjara itu selalu penuh. Pada tahun 1736 jumlah tahanan dalam penjara Raad van Justitie di sana tercatat 437 orang. Perinciannya: 64 orang dipenjara karena tidak membayar utang-utang (gijzeling). Mereka meringkuk (untuk mengutip kata-kata Dr. de Haan) dalam sebuah “lubang gelap” (donker gat) dan hanya diberi makan nasi dengan air dingin.
Sekitar 373 orang disekap dalam 6 buah “kandang” (hok) untuk pria dan 5 “kandang” untuk wanita. 50 orang di antaranya adalah tahanan-tahanan kriminal dan yang 333 orang adalah budak-budak.
Mereka dipenjarakan atas perintah para majikan agar tahu adat - suatu kebiasaan yang lazim berlaku di masa itu. Bagi orang-orang yang dihukum karena utang, masa hukuman tidak terbatas. Bisa seumur hidup. Pada tahun 1763 masa hukuman itu dibatasi 6 tahun.
Tetapi pada tahun 1778 peraturan itu dinyatakan tak berlaku bagi orang-orang bukan Kristen. Pada tahun 1774 jumlah tahanan sangat berkurang. Hanya 2 orang yang dipenjara karena utang, 7 tahanan kriminal, 6 tahanan “sipil” (tidak jelas apa yang dimaksudkan) dan 23 budak.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR