Dr. de Haan meragukan apakah orang-orang tahanan itu hanya disekap dalam sel di malam hari saja dan di siang hari boleh menghirup udara segar di pekarangan belakang.
Bagaimanapun laporan-laporan dari tahun 1812 menyatakan bahwa banyak di antara para tahanan menderita luka-luka infeksi pada kaki akibat terlalu lama dirantai dalam sel. Sebagian besar dari para tahanan itu masih menunggu keputusan pengadilan akan dihukum badan atau hukuman buang (verbanning).
Kompleks penjara di bawah Stadhuis itu terbagi dua. Di bawah sayap barat untuk orang-orang sipil, di bawah sayap timur untuk tahanan-tahanan militer (compagnies boeinen). Perlakuan terhadap para tahanan militer tidak kurang kejamnya.
Salah satu contoh: di depan penjara militer itu berjajar pohon-pohon asam. Di bawahnya dipasang semacam alat penyiksa yang disebut “kuda kayu”.
Punggung “kuda” berupa sepotong balok kayu dengan sisi kasar di sebelah atas. Para kelasi (matrozen) yang ditahan dalam penjara seringkali diperintahkan menunggang “kuda” tersebut sampai berhari-hari.
Kedua kaki mereka diganduli batu-batu berat atau potongan-potongan besi. Bayangkan betapa penderitaan mereka. Lagipula penyiksaan itu boleh ditonton khalayak ramai. Tidak jarang para penonton mengejek dengan menanyakan dapatkah ia menolong mengantar surat dengan menunggang “kuda”-mua.
Hukuman gantung di depan umum
Bukan hanya siksaan-siksaan macam di atas saja yang boleh disaksikan umum, tetapi juga hukuman gantung. Pelaksanaannya berlangsung di halaman depan Stadhuis. Seorang warga Kota Jakarta yang pada tahun 1959 berusia 80 tahun lebih, menuturkan bahwa ia pernah menyaksikan pelaksanaan hukuman gantung ketika masih duduk di bangku School met den Bijbel atau sekolah rendah.
Menurut penuturannya, halaman depan itu penuh sesak dengan penonton. Mereka mengelilingi panggung dengan tiang penggantungan. Setelah si terhukum siap di atas panggung dengan dikalungi tambang di leher, algojo menjeblakkan papan tempat si terhukum berpijak sehingga ia tergantung.
Di bawah panggung telah siap menanti dua orang hukuman lain. Masing-masing menarik sebelah kaki si terhukum untuk mempercepat penyelesaian hukuman. Benar tidaknya, wallahu a’lam bisawab!
Buku Dr. de Haan hanya menjelaskan tentang persiapan pelaksanaan hukuman itu sebagai berikut:
“. . . setelah pengadilan memutuskan hukuman mati untuk seorang tertuduh, maka ia dikeluarkan dari penjara dan diperintahkan berdiri di pekarangan belakang Stadhuis, menghadap ke arah bordes yang terletak pada ketinggian kira-kira 2 meter. Di bordes itu berdiri o cier van justitie (petugas pengadilan) yang membacakan keputusan hukuman mati tersebut. Terhukum lalu dibawa kembali ke penjara dan dimasukkan ke dalam sel khusus yang disebut treurkamer (bilik untuk melampiaskan kesedihan). Biasanya si terhukum tidak perlu menunggu lama, karena tiap bulan ada pelaksanaan hukuman mati.”
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR