"Metodologinya tak bermasalah, ontologinya yang bermasalah," kata Dandhy suatu pagi di kantornya, di ujung Jakarta Timur, seperti dilansir dari Kompas.com.
Jurnalisme model seperti itu terus ia jumpai sepanjang kariernya di media cetak, radio, dan televisi.
"Jadi saya tidak mulai di media yang ideal. Saya langsung bertemu yang buruk," ceritanya.
Mendirikan WatchdoC
Pada tahun 2009, ia bersama temannya Andhy Panca Kurniawan, mantan Pemimpin Redaksi kantor Berita Radio Voice of Human Rights, mendirikan rumah audio-visual WatchdoC.
Hal itu didorong oleh keinginannya untuk mencari ruang dalam memberikan informasi yang juga mengandung pengetahuan.
"Semua kami mulai dari nol," kenang Dandhy.
"Kami tak pinjam bank karena tak ada jaminan, tak ada lagi gaji bulanan. Kami beli kamera dari hasil mengajar dan 'ngamen' (menjadi narasumber). Kami menolak investor karena dalam logika investor, pola relasi kuasanya sama saja." lanjutnya.
"Pernah tahun 2010 kami tidak bergaji sama sekali. Uang masuk untuk gaji karyawan, untung istri saya bekerja," papar Dandhy.
WatchdoC juga menjadi laboratorium pola relasi seimbang di news room dan niat berbagi saham dengan karyawan.
Demikianlah profil dan kisah Dandhy Dwi Laksono, pembuat film 'Dirty Vote' yang bikin gempar.
Bagaimana pendapat Anda tentang film 'Dirty Vote' dan Dandhy Dwi Laksono? Silakan berikan komentar Anda di bawah ini.
Baca Juga: Arti Satu Putaran Dalam Pemilu dan Bedanya dengan Dua Putaran
KOMENTAR