Intisari-online.com - Kerajaan Kediri adalah salah satu kerajaan besar yang berdiri di Jawa Timur pada abad ke-12 Masehi.
Kerajaan ini merupakan pecahan dari Kerajaan Kahuripan yang dibagi menjadi dua oleh Raja Airlangga, yaitu Kerajaan Jenggala dan Kerajaan Panjalu (Kediri).
Kerajaan Kediri bercorak Hindu-Buddha dan menghasilkan banyak karya sastra, seperti Kakawin Bharatayuddha, Arjunawiwaha, dan Smaradahana.
Namun, mengapa pada masa pemerintahan Raja Kertajaya di Kerajaan Kediri terjadi pertentangan antara raja dan pendeta kaum Brahmana.
Kerajaan Kediri mengalami kemunduran dan keruntuhan pada masa pemerintahan Raja Kertajaya (1185-1222 M), yang juga dikenal dengan sebutan Dandang Gendis.
Pada masa ini, terjadi pertentangan antara raja dan para pendeta atau kaum brahmana, yang merupakan kelompok agama dan sosial yang berpengaruh di kerajaan. Pertentangan ini dipicu oleh beberapa faktor, antara lain:
Sikap sombong dan sewenang-wenang Raja Kertajaya.
Raja Kertajaya memiliki ambisi untuk disembah oleh para brahmana Hindu dan Buddha di kerajaan Kediri.
Permintaan ini tentu saja ditolak oleh para brahmana, yang menganggap raja sebagai manusia biasa yang tidak pantas mendapat pemujaan seperti dewa.
Selain itu, raja juga melakukan tindakan-tindakan yang melanggar adat dan hukum, seperti memungut pajak yang berlebihan, menganiaya rakyat, dan merampas tanah milik para brahmana.
Tindakan-tindakan ini menimbulkan kemarahan dan kebencian dari para brahmana dan rakyat terhadap raja.
Rendahnya toleransi kehidupan beragama di Kerajaan Kediri.
Baca Juga: Inilah 5 Kitab Karangan Sebagai Peninggalan Sejarah Masa Hindu Buddha di Indonesia
Kerajaan Kediri merupakan kerajaan yang majemuk, yang terdiri dari berbagai agama dan kepercayaan, seperti Hindu, Buddha, Syiwa, Wisnu, dan lain-lain.
Namun, Raja Kertajaya tidak menghormati keragaman tersebut, dan malah mencoba untuk memaksakan kepercayaannya sendiri kepada rakyatnya.
Raja juga mengeluarkan perintah-perintah yang bertentangan dengan ajaran agama, seperti melarang penyembahan terhadap dewa-dewa tertentu, menghancurkan candi-candi, dan mengubah nama-nama tempat suci.
Perintah-perintah ini menyinggung perasaan para penganut agama, terutama para brahmana, yang menganggap raja telah menghina dan mengancam keberadaan agama mereka.
Adanya ancaman dari luar Kerajaan Kediri.
Pada masa pemerintahan Kertajaya, Kerajaan Kediri juga menghadapi ancaman dari kerajaan-kerajaan lain yang ingin merebut wilayah dan kekuasaannya.
Salah satu kerajaan yang menjadi saingan Kediri adalah Kerajaan Singhasari, yang dipimpin oleh Ken Arok.
Ken Arok adalah seorang pemberontak yang berhasil membunuh Tunggul Ametung, raja Jenggala, dan merebut tahtanya.
Ken Arok kemudian membangun kerajaan baru yang bernama Singhasari, yang berpusat di Tumapel.
Ken Arok memiliki ambisi untuk menyatukan seluruh pulau Jawa di bawah kekuasaannya, termasuk Kediri.
Untuk itu, ia berusaha untuk menggalang dukungan dari para brahmana dan rakyat Kediri, yang tidak puas dengan pemerintahan Kertajaya.
Ken Arok juga menjanjikan perlindungan dan kebebasan beragama bagi mereka, yang menjadi daya tarik tersendiri.
Baca Juga: Apa Peran Sultan Iskandar Muda pada Kerajaan Aceh?
Akibat dari pertentangan antara raja dan para brahmana ini adalah melemahnya kekuatan dan kewibawaan Kerajaan Kediri.
Banyak rakyat dan brahmana yang meninggalkan Kediri dan bergabung dengan Singhasari.
Pada tahun 1222 M, terjadi perang antara Kediri dan Singhasari di Ganter, yang berakhir dengan kemenangan Singhasari.
Raja Kertajaya terbunuh dalam perang tersebut, dan Kerajaan Kediri pun runtuh.
Wilayah Kediri kemudian dikuasai oleh Singhasari, yang kemudian berkembang menjadi kerajaan besar yang meluaskan pengaruhnya hingga ke luar Jawa.
Demikianlan penyebabpada masa pemerintahan Raja Kertajaya di Kerajaan Kediri terjadi pertentangan antara raja dan pendeta kaum Brahmana.