Intisari-online.com - Kesultanan Banten adalah salah satu kerajaan Islam di Nusantara yang mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-17.
Pada masa itu ada konflik yang terjadi antara Sultan Ageng Tirtayasa dan Sultan Haji
Pada masa itu, Kesultanan Banten dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa, yang dikenal sebagai raja yang berani dan gigih melawan penjajahan VOC (Kongsi Dagang Hindia Belanda).
Namun, di balik kejayaan Kesultanan Banten, terdapat konflik internal yang mengancam keutuhan kerajaan.
Konflik tersebut melibatkan Sultan Ageng Tirtayasa dengan putranya sendiri, yakni Sultan Haji.
Sultan Haji berambisi untuk merebut kekuasaan dari ayahnya sendiri.
Konflik ini kemudian dimanfaatkan oleh VOC dengan mendukung Sultan Haji.
Lantas, apa penyebab konflik antara Sultan Ageng Tirtayasa dan Sultan Haji, serta bagaimana akhirnya? Berikut ulasannya.
Penyebab Konflik
Sultan Ageng Tirtayasa adalah Sultan Banten keenam, yang memerintah sejak tahun 1651 hingga 1683.
Ia adalah putra dari Sultan Abu al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir, yang meninggal pada tahun 1651.
Sultan Ageng Tirtayasa memiliki beberapa anak, salah satunya adalah Sayyidi Syeikh Maulana Mansyuruddin atau Sultan Haji.
Sultan Ageng Tirtayasa sangat menentang kehadiran VOC di Nusantara.
Ia menganggap VOC sebagai musuh yang harus diusir dari tanah airnya.
Pada tahun 1652, ia mengirim pasukannya untuk menyerang VOC di Jakarta, yang berujung pada pertempuran antara Kesultanan Banten dengan Belanda.
Sultan Ageng Tirtayasa juga melakukan berbagai upaya untuk memperkuat Kesultanan Banten, seperti membangun benteng, memperluas wilayah, mengadakan hubungan dagang dengan negara-negara lain, dan menyebarkan agama Islam.
Ia juga berusaha untuk menyatukan seluruh kerajaan Islam di Nusantara dalam satu aliansi melawan VOC.
Baca Juga: Mengapa Keberagaman Dalam Masyarakat Dapat Memicu Konflik?
Sementara itu, Sultan Haji memiliki pandangan yang berbeda dengan ayahnya.
Ia cenderung bekerjasama dengan VOC, karena melihat peluang untuk memperoleh keuntungan dari perdagangan dengan Belanda.
Kemudian juga tidak setuju dengan kebijakan ayahnya yang mengisolasi Kesultanan Banten dari dunia luar.
Pada tahun 1676, Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat Sultan Haji sebagai raja pembantu, dengan harapan agar ia dapat membantu mengurus urusan kerajaan.
Namun, hal ini justru menjadi awal dari konflik antara ayah dan anak.
Sultan Haji mulai bersekongkol dengan VOC, dengan tujuan untuk menggulingkan Sultan Ageng Tirtayasa dari takhta.
Perjalanan Konflik
Konflik antara Sultan Ageng Tirtayasa dan Sultan Haji mencapai puncaknya pada tahun 1680.
Pada tahun itu, Sultan Haji memimpin pemberontakan terbuka terhadap ayahnya, dengan dukungan dari VOC.
Ia menyerang ibu kota Kesultanan Banten, yang berada di Banten Lama.
Sultan Ageng Tirtayasa bersama pasukannya berusaha mempertahankan ibu kota, namun akhirnya terpaksa mundur ke Banten Girang, sebuah desa yang berjarak sekitar 10 km dari Banten Lama.
Di sana, ia membangun benteng pertahanan baru, yang dikenal sebagai Benteng Speelwijk.
Sultan Haji kemudian mengklaim dirinya sebagai Sultan Banten yang sah, dan mengangkat adiknya, Pangeran Purbaya, sebagai raja pembantu.
Baca Juga: Kaleidoskop 2023: 5 Peristiwa Pecahnya Perang Antara Hamas dan Israel
Ia juga mengirim utusan ke VOC, untuk meminta pengakuan dan perlindungan dari Belanda.
VOC pun menyetujui permintaan Sultan Haji, dengan syarat ia harus membayar upeti dan mengizinkan VOC mendirikan pos dagang di Banten.
Sultan Ageng Tirtayasa tidak menyerah begitu saja.
Kemudian terus melawan Sultan Haji dan VOC, dengan bantuan dari beberapa kerajaan Islam lainnya, seperti Mataram, Cirebon, dan Gowa.
Ia juga mengirim surat ke Mekkah, untuk meminta bantuan dari Khalifah Utsmaniyah.
Namun, perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa tidak berlangsung lama.
Pada tahun 1682, pasukan VOC berhasil mengepung Benteng Speelwijk, dan memaksa Sultan Ageng Tirtayasa untuk menyerah.
Sultan Ageng Tirtayasa kemudian ditangkap dan dibawa ke Batavia, tempat ia meninggal pada tahun 1683.
Akibat Konflik
Konflik antara Sultan Ageng Tirtayasa dan Sultan Haji berdampak buruk bagi Kesultanan Banten.
Kejayaan dan kemerdekaan Kesultanan Banten hancur akibat perang saudara dan campur tangan VOC. Kesultanan Banten menjadi lemah dan tergantung pada VOC.
Sultan Haji sendiri tidak dapat menikmati kekuasaannya dengan tenang.
Ia harus menghadapi berbagai masalah, seperti pemberontakan rakyat, persaingan dengan adiknya, dan tekanan dari VOC.
Beliau juga tidak mendapat penghormatan dari rakyatnya, yang menganggapnya sebagai pengkhianat dan boneka VOC.
Sultan Haji memerintah hingga tahun 1687, ketika ia meninggal karena sakit. Ia digantikan oleh putranya, Sultan Abu Nashar Abdul Qahhar, yang juga berada di bawah pengaruh VOC.
Kesultanan Banten terus berada dalam keadaan lemah dan terpuruk, hingga akhirnya dihapuskan oleh Republik Indonesia pada tahun 1950.
Baca Juga: Apakah Sebuah Konflik Dapat Meningkatkan Rasa Nasionalisme yang Dimiliki Seseorang?
Penutup
Konflik antara Sultan Ageng Tirtayasa dan Sultan Haji adalah salah satu contoh dari konflik internal yang merusak sebuah kerajaan di Nusantara.
Konflik ini juga menunjukkan bagaimana VOC memanfaatkan perselisihan antara keluarga kerajaan untuk menguasai dan mengeksploitasi Nusantara.
Konflik ini seharusnya menjadi pelajaran bagi kita, agar tidak mudah terpecah belah oleh kepentingan asing, dan tetap menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
Kita juga harus menghormati dan menghargai jasa-jasa para pahlawan yang telah berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan dan kejayaan Nusantara, seperti Sultan Ageng Tirtayasa.
Demikianlah, latar belakangkonflik yang terjadi antara Sultan Ageng Tirtayasa dan Sultan Haji.