Pasukan penjajah merampas dan menyerahkan artefak berharga tersebut kepada Raja Belanda Willem I (yang bertakhta tahun 1813-1840).
Pada 1978, Ratu Belanda Juliana mengembalikan tombak Rondhan dan pelana kuda itu ke Indonesia.
Pelana kuda itu menyimpan kisah Diponegoro sebagai penunggang kuda hebat.
Dia memiliki istal luas di kediamannya di Tegalrejo.
Kuda hitam dengan kaki putih bernama Kiai Gentayu dianggap sebagai pusaka hidup Sang Pangeran.
Sebenarnya Diponegoro juga mewariskan jubah Perang Sabil.
Sayangnya, jubah berbahan sutra shantung dan cinde berukuran 200 X 100 sentimeter tersebut tidak ikut dipamerkan.
Benda tersebut tetap berada di Museum Bakorwil II Magelang.
Kisah di balik jubah itu juga menarik.
Jubah tersebut dirampas saat penyergapan oleh Mayor AV Michiels di wilayah pegunungan Gowong, sebelah barat Kedu, 11 November 1829.
Setelah perang, jubah dengan tepi brokat yang konon dijahit oleh gundunya disimpan putra menantu Basah Ngabdulkamil.
Selama lebih seabad keluarga Diponegoro menyimpan jubah itu dan dipinjamkan permanen pada tahun 1970-an kepada Museum Bakorwil II.
Benda bersejarah lain yang menarik perhatian pengunjung dalam pameran ini adalah lukisan ”Penangkapan Pangeran Diponegoro”.
Karya ini dipamerkan bersama karya seni rupa dari 21 perupa Indonesia.
Kurator Jim Supangkat mengatakan, lukisan itu dibuat pada 1856-1857 berdekatan dengan wafatnya Diponegoro di pembuangan pada 8 Januari 1855. Karya itu dihadiahkan kepada Raja Belanda Willem III (1817-1890).
Pada tahun 1978, Ratu Juliana mengembalikan lukisan kepada Indonesia.
Sebenarnya lukisan itu mengandung kritik tersembunyi.
Raden Saleh mencela siasat tak etis pada penangkapan Diponegoro dan kebohongan lukisan Nicolaas Pieneman dengan tema sama tahun 1835.
Dari yang sekarang terungkap dari lukisan itu, kita juga mengetahui bahwa berita penangkapan Diponegoro tersebar ke Eropa.
Selain lukisan penangkapan, ditampilkan juga dua lukisan lain karya Raden Saleh, yaitu ”Harimau Minum” (1863), dan ”Patroli Tentara Belanda di Gunung Merapi dan Merbabu” (1871).
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR