Hatta kemudian membentuk kabinet baru yang bersifat parlementer, yaitu kabinet yang anggotanya berasal dari partai-partai politik yang ada di Indonesia.
Dengan demikian, Indonesia harus mengubah sistem pemerintahannya yang semula berdasarkan UUD 1945 menjadi sistem yang lebih demokratis dan kompromistis.
- Indonesia harus menarik pasukannya dari wilayah yang dikuasai Belanda, sehingga melemahkan perlawanan militer Indonesia.
Salah satu isi perjanjian Renville adalah bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) harus mundur dari kantong-kantong republik di wilayah Jawa Barat dan Jawa Timur ke wilayah Republik Indonesia di Yogyakarta.
Batas antara wilayah Indonesia dan Belanda ditetapkan oleh Garis Van Mook, yaitu garis yang dibuat oleh Letnan Gubernur Jenderal Belanda, Hubertus van Mook, yang membagi wilayah Indonesia menjadi dua bagian, yaitu wilayah yang dikuasai oleh Belanda dan wilayah yang dikuasai oleh Indonesia.
Dengan demikian, Indonesia harus mengorbankan sebagian besar wilayahnya, sehingga menyisakan wilayah yang sempit dan terisolasi.
Indonesia juga harus menghadapi kesulitan logistik, komunikasi, dan pertahanan akibat mundurnya pasukannya dari wilayah yang dikuasai Belanda.
- Indonesia harus menghadapi reaksi keras dari rakyat dan pejuang yang tidak setuju dengan perjanjian Renville, sehingga menimbulkan krisis sosial.
Banyak rakyat dan pejuang Indonesia yang merasa kecewa dan marah dengan perjanjian Renville, karena mereka menganggap perjanjian ini sebagai pengkhianatan terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Mereka menolak untuk mengakui perjanjian Renville dan terus melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Beberapa kelompok yang menentang perjanjian Renville antara lain adalah Front Demokrasi Rakyat (FDR), yang dipimpin oleh Tan Malaka, Partai Komunis Indonesia (PKI), yang dipimpin oleh Musso, dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR), yang dipimpin oleh Sutan Sjahrir.
Penulis | : | Afif Khoirul M |
Editor | : | Afif Khoirul M |
KOMENTAR