Mengapa Perjanjian Renville Gagal Menyelesaikan Konflik antara Indonesia dan Belanda?

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Ilustrasi - Sejarah perjanjian Renville di Indonesia.
Ilustrasi - Sejarah perjanjian Renville di Indonesia.

Intisari-online.com - Perjanjian Renville adalah salah satu perjanjian yang pernah ditandatangani oleh Indonesia dan Belanda pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Perjanjian ini merupakan hasil dari perundingan yang ditengahi oleh Komisi Tiga Negara (Amerika Serikat, Australia, dan Belgia) di atas kapal USS Renville yang berlabuh di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta pada 17 Januari 1948.

Perjanjian ini bertujuan untuk mengakhiri perseteruan dan menhentikan serangan militer Belanda terhadap Indonesia yang telah berlangsung sejak Agresi Militer Belanda I pada 21 Juli 1947.

Namun, perjanjian Renville ternyata tidak mampu menyelesaikan konflik antara Indonesia dan Belanda.

Perjanjian ini justru menimbulkan berbagai masalah dan dampak negatif bagi Indonesia, baik dari segi politik, militer, maupun sosial.

Perjanjian ini juga tidak dihormati oleh Belanda, yang terus melakukan provokasi dan agresi militer terhadap Indonesia.

Perjanjian ini akhirnya berakhir dengan Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948, yang mengakibatkan jatuhnya ibu kota Republik Indonesia, Yogyakarta, ke tangan Belanda.

Lalu, mengapa perjanjian Renville gagal menyelesaikan konflik antara Indonesia dan Belanda?

Apa saja dampak perjanjian Renville bagi Indonesia?

Bagaimana sikap dan reaksi rakyat dan pejuang Indonesia terhadap perjanjian Renville?

Artikel ini akan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan mengulas sejarah, latar belakang, proses, isi, dan dampak perjanjian Renville.

Baca Juga: Inilah Pengertian Sejarah Sebagai Kisah Berikut Contoh-contohnya

Dampak Perjanjian Renville bagi Indonesia

Perjanjian Renville sangat merugikan pihak Indonesia, baik dari segi politik, militer, maupun sosial.

Berikut adalah beberapa dampak perjanjian Renville bagi Indonesia:

- Indonesia harus mengubah bentuk negaranya menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS) yang merupakan negara persepemakmuran Indonesia Belanda.

RIS akan terdiri dari negara-negara bagian, termasuk Republik Indonesia yang menjadi bagian dari RIS.

RIS akan memiliki pemerintah federal sementara yang akan menerima kekuasaan dari Belanda sebelum RIS terbentuk secara resmi.

RIS juga akan memiliki Konstituante yang akan dibentuk melalui pemilihan umum dalam waktu enam bulan sampai satu tahun.

Dengan demikian, Indonesia harus mengubah bentuk negaranya yang semula berdasarkan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 menjadi negara yang sejajar dengan Belanda.

- Indonesia harus mengubah sistem pemerintahannya yang semula presidensial menjadi parlementer.

Hal ini disebabkan oleh adanya krisis politik yang terjadi di Indonesia setelah perjanjian Renville.

Perdana Menteri RI saat itu, Amir Syarifuddin, yang telah menyetujui perjanjian Renville, mendapat tentangan dari banyak tokoh RI, terutama dari Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta.

Amir Syarifuddin akhirnya mengundurkan diri pada 29 Januari 1948 dan digantikan oleh Hatta sebagai Perdana Menteri RI.

Baca Juga: Tikungan Penting Dalam Sistem Pemerintahan Indonesia, Inilah Sejarah Terbentuknya Kabinet Sjahrir 14 November 1945

Hatta kemudian membentuk kabinet baru yang bersifat parlementer, yaitu kabinet yang anggotanya berasal dari partai-partai politik yang ada di Indonesia.

Dengan demikian, Indonesia harus mengubah sistem pemerintahannya yang semula berdasarkan UUD 1945 menjadi sistem yang lebih demokratis dan kompromistis.

- Indonesia harus menarik pasukannya dari wilayah yang dikuasai Belanda, sehingga melemahkan perlawanan militer Indonesia.

Salah satu isi perjanjian Renville adalah bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) harus mundur dari kantong-kantong republik di wilayah Jawa Barat dan Jawa Timur ke wilayah Republik Indonesia di Yogyakarta.

Batas antara wilayah Indonesia dan Belanda ditetapkan oleh Garis Van Mook, yaitu garis yang dibuat oleh Letnan Gubernur Jenderal Belanda, Hubertus van Mook, yang membagi wilayah Indonesia menjadi dua bagian, yaitu wilayah yang dikuasai oleh Belanda dan wilayah yang dikuasai oleh Indonesia.

Dengan demikian, Indonesia harus mengorbankan sebagian besar wilayahnya, sehingga menyisakan wilayah yang sempit dan terisolasi.

Indonesia juga harus menghadapi kesulitan logistik, komunikasi, dan pertahanan akibat mundurnya pasukannya dari wilayah yang dikuasai Belanda.

- Indonesia harus menghadapi reaksi keras dari rakyat dan pejuang yang tidak setuju dengan perjanjian Renville, sehingga menimbulkan krisis sosial.

Banyak rakyat dan pejuang Indonesia yang merasa kecewa dan marah dengan perjanjian Renville, karena mereka menganggap perjanjian ini sebagai pengkhianatan terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Mereka menolak untuk mengakui perjanjian Renville dan terus melakukan perlawanan terhadap Belanda.

Beberapa kelompok yang menentang perjanjian Renville antara lain adalah Front Demokrasi Rakyat (FDR), yang dipimpin oleh Tan Malaka, Partai Komunis Indonesia (PKI), yang dipimpin oleh Musso, dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR), yang dipimpin oleh Sutan Sjahrir.

Baca Juga: Tikungan Penting Dalam Sistem Pemerintahan Indonesia, Inilah Sejarah Terbentuknya Kabinet Sjahrir 14 November 1945

Kelompok-kelompok ini melakukan berbagai aksi protes, demonstrasi, dan pemberontakan terhadap pemerintah RI yang telah menyetujui perjanjian Renville.

Beberapa contoh aksi-aksi tersebut antara lain adalah Pemberontakan Madiun pada September 1948, yang dipimpin oleh PKI, Pemberontakan APRA pada Januari 1950, yang dipimpin oleh Raymond Westerling, dan Pemberontakan PRRI/Permesta pada 1958, yang dipimpin oleh beberapa tokoh militer dan sipil.

Dengan demikian, Indonesia harus menghadapi krisis sosial yang mengancam stabilitas dan kesatuan bangsa.

Alasan Perjanjian Renville Gagal Menyelesaikan Konflik antara Indonesia dan Belanda

Perjanjian Renville gagal menyelesaikan konflik antara Indonesia dan Belanda karena beberapa alasan, antara lain:

- Perjanjian Renville sangat merugikan pihak Indonesia, sehingga banyak tokoh RI yang tidak lagi percaya pada Perdana Menteri RI saat itu Amir Syarifuddin yang telah menyetujui perjanjian tersebut.

Amir Syarifuddin dianggap sebagai pengkhianat yang telah menjual kemerdekaan Indonesia kepada Belanda.

Amir Syarifuddin juga dianggap sebagai boneka Belanda yang telah dipengaruhi oleh Komisi Tiga Negara, terutama oleh Amerika Serikat, yang memiliki kepentingan ekonomi dan politik di Indonesia.

Amir Syarifuddin juga dianggap sebagai sosialis yang telah mengabaikan aspirasi nasionalis dan agamis di Indonesia.

Amir Syarifuddin akhirnya harus mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Perdana Menteri RI dan digantikan oleh Hatta, yang lebih dapat diterima oleh tokoh-tokoh RI.

- Perjanjian Renville tidak dihormati oleh Belanda, yang terus melakukan provokasi dan agresi militer terhadap Indonesia.

Belanda tidak puas dengan perjanjian Renville, karena mereka menganggap perjanjian ini sebagai perjanjian sementara yang masih harus ditindaklanjuti dengan perjanjian yang lebih menguntungkan bagi mereka.

Belanda juga tidak mau mengakui kemerdekaan Indonesia secara penuh dan berdaulat, melainkan hanya mau mengakui Indonesia sebagai negara persepemakmuran yang sejajar dengan Belanda.

Belanda juga tidak mau menyerahkan kekuasaannya kepada pemerintah federal sementara Indonesia, melainkan hanya mau menyerahkannya kepada negara-negara bagian yang pro-Belanda.

Belanda juga tidak mau mengadakan pemilihan umum untuk

Artikel Terkait