Tidak hanya di india, Syekh Nuruddin ar-Raniri belajar agama hingga ke Hadhramaut di Arab Selatan, yang dikenal sebagai negeri para habib, kemudian ke Mekkah dan Madinah.
Menjadi mufti Kesultanan Aceh
Sebelum tinggal di Aceh, Syekh Nuruddin ar-Raniri diperkirakan sudah pernah datang ke Serambi Mekkah, tetapi hanya sebentar.
Pada 1636, Syekh Nuruddin ar-Raniri kembali ke Aceh dan langsung diangkat menjadi mufti Kesultanan Aceh oleh Sultan Iskandar Thani (1636- 1641) yang baru saja naik takhta.
Sebagai mufti kesultanan, Syekh Nuruddin ar-Raniri berperan dalam memberi nasihat kepada sultan atau sultanah yang berkuasa.
Jabatan mufti atau syaikhul Islam memiliki pengaruh besar dalam pembuatan kebijakan-kebijakan keagamaan, sosial, dan politik.
Pada 1641, Sultan Iskandar Thani meninggal dan digantikan oleh permaisurinya, Sultanah Tajul-Alam Safiatuddin Syah, yang memerintah hingga 1675.
Pada masa inilah, Syekh Nuruddin ar-Raniri pernah menengahi protes keras dari Belanda atas regulasi perdagangan kerajaan yang menguntungkan para pedagang Gujarat.
Dengan otoritasnya sebagai mufti kerajaan, Syekh ar-Raniri berhasil meyakinkan Sultanah Safiatuddin untuk menarik regulasi tersebut.
Di masa ini pula, Syekh Nuruddin ar-Raniri menulis kitab berjudul Tibyan fi Ma'rifah al-Dyan, yang menganalisis ajaran wujudiyah Hamzah Fansury dan Syamsuddin as-Sumatrani.
Syekh Nuruddin ar-Raniri adalah sosok pembaru Islam di Aceh yang menganggap doktrin wujudiyah, yang menjadi keyakinan masyarakat Aceh masa itu, sebagai aliran sesat.
Sebagai mufti kerajaan, ia akhirnya mengeluarkan fatwa menentang aliran wujudiyah, yang dikhawatirkan mendorong umat menjadi kafir.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR