Bagian timur Sungai Opak tetap menjadi milik Sunan Pakubuwana III, yang berkedudukan di Surakarta.
Baca Juga: Kisah Kerajaan Demak, Kerajaan Islam di Indonesia yang Tumbang di Tangan Belanda
Bagian barat Sungai Opak menjadi milik Pangeran Mangkubumi, yang kemudian bergelar sebagai Sultan Hamengkubuwana I, yang berkedudukan di Yogyakarta.
Raden Mas Said, yang tidak ikut dalam perjanjian ini, terus melanjutkan perlawanan terhadap Belanda dan Sunan Pakubuwana III.
Ia baru menyerah pada tahun 1757, setelah menandatangani Perjanjian Salatiga, yang memberinya hak untuk memerintah sebagian wilayah Mataram dengan gelar Adipati Mangkunegara I.
Perjanjian Giyanti dan Perjanjian Salatiga secara efektif mengakhiri keberadaan Kerajaan Mataram Islam sebagai kerajaan tunggal yang berdaulat.
Kerajaan ini terpecah menjadi tiga kerajaan kecil, yaitu Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, dan Kadipaten Mangkunegaran, yang semuanya berada di bawah pengaruh dan perlindungan Belanda.
Belanda juga mendapatkan berbagai hak istimewa dari ketiga kerajaan tersebut, seperti hak monopoli perdagangan, hak intervensi politik, dan hak sewa tanah.
Perpecahan Kerajaan Mataram Islam juga melemahkan daya tahan rakyat Jawa terhadap penjajahan Belanda.
Belanda dapat dengan mudah memecah belah dan memanfaatkan persaingan antara ketiga kerajaan tersebut untuk kepentingan mereka sendiri.
Belanda juga dapat menekan dan menindas rakyat Jawa dengan lebih bebas, tanpa harus khawatir dengan adanya perlawanan berskala besar.
Belanda juga dapat menguras sumber daya alam dan manusia dari Jawa dengan lebih efisien, tanpa harus memberikan kompensasi yang layak.
Penulis | : | Afif Khoirul M |
Editor | : | Afif Khoirul M |
KOMENTAR