Intisari-online.com - Kerajaan Banten adalah salah satu kerajaan Islam yang berdiri di wilayah barat Pulau Jawa sejak abad ke-16 hingga abad ke-19.
Kerajaan ini merupakan pecahan dari Kerajaan Sunda yang menganut agama Hindu-Buddha.
Kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, yang berhasil memperluas wilayah, meningkatkan perdagangan, dan melawan penjajahan Belanda.
Namun, kerajaan ini juga mengalami kemunduran dan kehancuran akibat konflik internal dan serangan-serangan Belanda yang terus menerus.
Sejarah berdirinya Kerajaan Banten tidak bisa dilepaskan dari sejarah Kerajaan Sunda.
Kerajaan Sunda adalah kerajaan Hindu-Buddha yang berpusat di Pakuan Pajajaran (sekarang Bogor).
Kerajaan ini memiliki hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara dan Asia Tenggara, serta dengan negara-negara Eropa, seperti Portugis dan Spanyol.
Kerajaan ini juga memiliki pelabuhan-pelabuhan penting, seperti Sunda Kelapa (sekarang Jakarta) dan Banten.
Pada tahun 1526, Kerajaan Sunda diserang oleh Kerajaan Demak, yang merupakan kerajaan Islam pertama di Jawa.
Kerajaan Demak dipimpin oleh Sultan Trenggana, yang ingin menyebarluaskan agama Islam di Jawa.
Kerajaan Sunda kalah dalam pertempuran dan terpaksa menyerahkan Sunda Kelapa kepada Kerajaan Demak.
Baca Juga: Peran Kerajaan Majapahit Bagi Kehidupan Berbangsa Negara Kesatuan Republik Indonesia
Namun, Kerajaan Sunda masih bisa mempertahankan Banten, yang kemudian menjadi basis untuk melawan Kerajaan Demak.
Pada tahun 1527, Kerajaan Sunda mendapat bantuan dari Portugis, yang ingin menguasai perdagangan rempah-rempah di Nusantara.
Portugis membantu Kerajaan Sunda merebut kembali Sunda Kelapa dari Kerajaan Demak.
Namun, Portugis juga memiliki niat jahat untuk menjajah Kerajaan Sunda.
Mereka membangun benteng dan gereja di Sunda Kelapa, serta mencoba mengkristenkan penduduk setempat.
Hal ini membuat Kerajaan Sunda marah dan bersekutu dengan Kerajaan Cirebon, yang juga merupakan kerajaan Islam yang berasal dari Kerajaan Demak.
Kerajaan Sunda dan Kerajaan Cirebon bersama-sama menyerang Portugis di Sunda Kelapa pada tahun 1529.
Pertempuran ini dimenangkan oleh Kerajaan Sunda dan Kerajaan Cirebon, yang berhasil mengusir Portugis dari Sunda Kelapa.
Namun, dalam pertempuran ini, raja Kerajaan Sunda, Prabu Surawisesa, tewas.
Setelah kematian Prabu Surawisesa, Kerajaan Sunda mengalami krisis kepemimpinan.
Putra mahkota Kerajaan Sunda, Prabu Jayadewata, tidak diakui oleh para bangsawan dan rakyat.
Hal ini dimanfaatkan oleh Kerajaan Cirebon, yang ingin mengambil alih wilayah Kerajaan Sunda.
Baca Juga: Perlawanan Kerajaan Banjar Terhadap Portugis, Kisah Heroik Sultan Tahmidillah dan Ulama Besar Banjar
Kerajaan Cirebon mengirimkan utusannya, Fatahillah, untuk menaklukkan Banten.
Fatahillah berhasil menaklukkan Banten pada tahun 1532.
Ia kemudian mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta, yang berarti kota kemenangan.
Ia juga membangun masjid dan benteng di Jayakarta, serta mengislamkan penduduk setempat.
Fatahillah kemudian menobatkan dirinya sebagai Sultan Banten, dengan gelar Hasanuddin.
Dengan demikian, Kerajaan Banten resmi berdiri sebagai kerajaan Islam yang mandiri dari Kerajaan Sunda dan Kerajaan Cirebon.
Kerajaan Banten memiliki wilayah yang meliputi Banten, Jayakarta, Lampung, dan sebagian Sumatera.
Kerajaan Banten juga memiliki pelabuhan-pelabuhan yang ramai dan strategis, yang menjadi pusat perdagangan antara Nusantara dan dunia.
Kerajaan Banten mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, yang memerintah dari tahun 1651 hingga 1682.
Sultan Ageng Tirtayasa adalah seorang pemimpin yang bijaksana, berani, dan visioner.
Ia berhasil memperluas wilayah Kerajaan Banten hingga mencapai Jawa Tengah, Madura, Kalimantan, dan Sulawesi.
Baca Juga: 'Ayah-Ibu, Ceritakan Sejarah Berdirinya Kerajaan Samudera Pasai!'
Ia juga berhasil meningkatkan perekonomian Kerajaan Banten dengan memajukan pertanian, perikanan, perindustrian, dan perdagangan.
Ia juga berhasil memperkuat pertahanan Kerajaan Banten dengan membangun benteng-benteng, armada laut, dan pasukan berkuda.
Sultan Ageng Tirtayasa juga merupakan seorang pemimpin yang religius dan toleran. Juga menghormati keberagaman agama dan budaya di Kerajaan Banten.
Ia juga mendukung perkembangan ilmu pengetahuan dan seni di Kerajaan Banten.
Ia mendirikan lembaga-lembaga pendidikan yang mengajarkan ilmu agama, sastra, sejarah, matematika, astronomi, dan kedokteran. Ia juga mengundang para ulama, sastrawan, dan seniman dari berbagai daerah untuk berkarya di Kerajaan Banten.
Salah satu karya sastra yang terkenal dari masa ini adalah Syair Bima Sena, yang ditulis oleh Raja Ali Haji.
Sultan Ageng Tirtayasa juga merupakan seorang pemimpin yang patriotik dan nasionalis.
Ia tidak mau tunduk kepada Belanda, yang mulai masuk ke Nusantara untuk mencari rempah-rempah dan sumber daya alam lainnya.
Ia melawan Belanda dengan berbagai cara, baik diplomasi maupun militer. Ia juga membentuk persekutuan dengan kerajaan-kerajaan Islam lainnya, seperti Kerajaan Mataram, Kerajaan Gowa, dan Kerajaan Aceh, untuk melawan Belanda.
Namun, perjuangan Sultan Ageng Tirtayasa tidak didukung oleh putra dan penerusnya, Sultan Haji.
Baca Juga: 'Ayah-Ibu, Ceritakan Sejarah Berdirinya Kerajaan Samudera Pasai!'
Sultan Haji adalah seorang pemimpin yang lemah, korup, dan pro-Belanda.
Ia lebih suka berfoya-foya dan bersenang-senang daripada memikirkan nasib rakyat dan kerajaan.
Ia juga berselingkuh dengan istri orang lain, termasuk istri Belanda. Ia bersedia bekerja sama dengan Belanda dan menyerahkan sebagian wilayah dan hak-hak Kerajaan Banten kepada Belanda.
Hal ini membuat Sultan Ageng Tirtayasa marah dan kecewa. Ia mencoba untuk menggulingkan Sultan Haji dan mengambil alih kembali kekuasaan.
Ia memimpin pemberontakan yang dikenal sebagai Perang Saudara Banten, yang berlangsung dari tahun 1680 hingga 1682. Namun, pemberontakan ini gagal, karena Sultan Haji mendapat bantuan dari Belanda.
Sultan Ageng Tirtayasa ditangkap dan dibuang ke Batavia (sekarang Jakarta), di mana ia meninggal pada tahun 1683.
Dengan ditangkapnya Sultan Ageng Tirtayasa, Belanda berhasil menguasai Kerajaan Banten.
Belanda memaksa Sultan Haji untuk menandatangani perjanjian yang mengakui kekuasaan Belanda atas seluruh wilayah dan sumber daya alam Kerajaan Banten.
Belanda juga membatasi kegiatan perdagangan dan pelayaran Kerajaan Banten, serta memonopoli perdagangan rempah-rempah.
Belanda juga membangun benteng dan kantor dagang di Banten dan Jayakarta, serta mengubah nama Jayakarta menjadi Batavia.
Kerajaan Banten mengalami kemunduran dan kehancuran akibat penjajahan Belanda.
Kerajaan ini kehilangan wilayah, kekayaan, dan kedaulatannya.
Kerajaan ini juga kehilangan rakyat, budaya, dan identitasnya. Kerajaan ini hanya menjadi bayang-bayang dari kejayaan masa lalunya.