Intisari-online.com -Nikel adalah salah satu logam yang memiliki peran penting dalam industri modern.
Nikel digunakan sebagai bahan baku untuk membuat baja tahan karat, baterai, koin, magnet, katalis, dan berbagai produk lainnya.
Nikel juga memiliki sifat tahan korosi, konduktivitas listrik, dan kekuatan mekanik yang tinggi.
Namun, tahukah Anda bahwa Indonesia adalah salah satu produsen dan eksportir nikel terbesar di dunia? Bagaimana kisah perjalanan nikel Indonesia dari Sulawesi ke dunia?
Asal-usul Nikel Indonesia
Nikel pertama kali ditemukan di Indonesia pada tahun 1859 oleh seorang ahli geologi Belanda bernama Reinier Cornelis Bakhuizen van den Brink.
Ia menemukan adanya bijih nikel di daerah Pomalaa, Sulawesi Tenggara.
Pada saat itu, nikel belum banyak diminati karena harganya yang rendah dan sulitnya proses pengolahan.
Baru pada tahun 1934, pemerintah Hindia Belanda mulai mengembangkan industri nikel di Pomalaa dengan mendirikan perusahaan bernama N.V. Mijnbouw Maatschappij Celebes.
Perusahaan ini kemudian berganti nama menjadi PT Aneka Tambang (Antam) pada tahun 1968.
Selain di Pomalaa, nikel juga ditemukan di daerah lain di Sulawesi, seperti Soroako, Bahodopi, Kolaka, Morowali, dan Weda.
Nikel juga tersebar di beberapa pulau di Indonesia, seperti Maluku, Papua, Kalimantan, dan Sumatera.
Baca Juga: Benarkah Nikel Indonesia Lebih Unggul dari Nikel Eropa, Ini Fakta dan Data
Namun, Sulawesi tetap menjadi pusat produksi nikel terbesar di Indonesia.
Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), cadangan nikel Indonesia mencapai 2,8 miliar ton pada tahun 2019.
Dari jumlah tersebut, sekitar 1,9 miliar ton berada di Sulawesi.
Perkembangan Nikel Indonesia
Indonesia mulai mengekspor nikel ke luar negeri pada tahun 1975. Saat itu, pasar utama nikel adalah Jepang, yang membutuhkan nikel untuk industri otomotif dan elektronik.
Pada tahun 1980-an, permintaan nikel meningkat seiring dengan perkembangan industri baja tahan karat di Eropa dan Amerika Serikat.
Indonesia pun meningkatkan kapasitas produksi dan ekspor nikel dengan membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) di beberapa lokasi.
Pada tahun 1990-an, Indonesia menghadapi persaingan ketat dari negara-negara produsen nikel lainnya, seperti Australia, Kanada, Rusia, dan Filipina.
Harga nikel pun mengalami fluktuasi yang tinggi akibat faktor permintaan dan penawaran global.
Untuk mengatasi hal ini, Indonesia mulai mengembangkan nilai tambah nikel dengan membuat produk turunan seperti feronikel, nikel matte, nikel pig iron (NPI), dan nikel sulfat.
Produk-produk ini memiliki harga jual yang lebih tinggi daripada bijih nikel mentah.
Pada tahun 2014, pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan larangan ekspor bijih mineral mentah (ore ban), termasuk bijih nikel.
Baca Juga: Sulawesi dan Halmahera, Dua Pulau Penghasil Nikel Terbesar di Indonesia
Kebijakan ini bertujuan untuk mendorong pembangunan industri hilir nikel di dalam negeri dan meningkatkan pendapatan negara dari sektor pertambangan.
Kebijakan ini sempat menuai kontroversi dan protes dari sejumlah pelaku usaha dan negara-negara importir nikel.
Namun, pemerintah tetap konsisten dengan kebijakan ini dan memberikan insentif bagi investor yang mau membangun smelter nikel di Indonesia.
Dampak Nikel Indonesia
Kebijakan ore ban ternyata membawa dampak positif bagi perkembangan industri nikel Indonesia.
Menurut data Kementerian ESDM, jumlah smelter nikel di Indonesia meningkat dari 4 unit pada tahun 2014 menjadi 37 unit pada tahun 2020.
Kapasitas produksi nikel Indonesia juga meningkat dari 19,9 juta ton pada tahun 2014 menjadi 78,6 juta ton pada tahun 2020.
Nilai ekspor nikel Indonesia juga meningkat dari 2,6 miliar dolar AS pada tahun 2014 menjadi 12,9 miliar dolar AS pada tahun 2020.
Indonesia juga berhasil menjadi produsen dan eksportir nikel terbesar di dunia, mengalahkan negara-negara pesaingnya.
Menurut data International Nickel Study Group (INSG), produksi nikel Indonesia mencapai 760 ribu ton pada tahun 2020, atau sekitar 23 persen dari total produksi nikel dunia.
Sementara itu, ekspor nikel Indonesia mencapai 680 ribu ton pada tahun 2020, atau sekitar 28 persen dari total ekspor nikel dunia.
Indonesia juga menjadi salah satu negara yang menguasai rantai pasok nikel untuk industri baterai kendaraan listrik (electric vehicle/EV).
Baca Juga: Indonesia Dijuluki Raja Nikel Dunia Tetapi Mengapa Masih Impor Nikel dari Luar Negeri?
Nikel merupakan salah satu komponen utama dalam pembuatan baterai lithium-ion yang digunakan oleh EV.
Menurut data BloombergNEF, permintaan nikel untuk industri EV akan meningkat dari 92 ribu ton pada tahun 2019 menjadi 1,4 juta ton pada tahun 2030.
Untuk memenuhi permintaan ini, Indonesia telah membangun beberapa pabrik nikel sulfat yang dapat menghasilkan bahan baku baterai EV.
Indonesia juga berencana untuk membangun pabrik baterai EV terintegrasi dengan mitra-mitra asing, seperti LG Chem, CATL, dan Tesla.
Nikel Indonesia tidak hanya memberikan kontribusi bagi perekonomian dan pembangunan nasional, tetapi juga bagi perkembangan industri global.
Nikel Indonesia telah mengguncang dunia dengan kisah perjalanannya dari Sulawesi ke dunia.
Nikel Indonesia adalah bukti bahwa Indonesia memiliki potensi dan kemampuan untuk menjadi negara maju dan mandiri.
Nikel Indonesia adalah kebanggaan bangsa.