Dari Tembaga Setan Hingga Raja Nikel Dunia, Kisah Pertambangan Nikel di Indonesia

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Nikel Indonesia akan menjadi tumpuan dunia di masa depan.
Nikel Indonesia akan menjadi tumpuan dunia di masa depan.

Intisari-online.com - Nikel adalah logam yang memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia.

Nikel digunakan sebagai bahan baku berbagai produk industri, seperti baja tahan karat, baterai, koin, katalis, dan lain-lain.

Namun, tahukah Anda bahwa nikel juga memiliki sejarah yang panjang dan menarik di Indonesia?

Sejarah nikel di Indonesia dimulai sejak zaman kolonial Belanda.

Pada tahun 1859, seorang ahli geologi Belanda bernama Reinier Cornelis Bakhuizen van den Brink menemukan adanya bijih nikel di Pulau Sulawesi.

Ia menyebut bijih nikel tersebut sebagai "tembaga setan" karena warnanya yang merah dan sifatnya yang sulit dilebur.

Bakhuizen kemudian mengirimkan sampel bijih nikel tersebut ke Belanda untuk diteliti lebih lanjut.

Namun, baru pada tahun 1908, pemerintah kolonial Belanda mulai tertarik untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi nikel di Indonesia.

Hal ini dipicu oleh permintaan nikel yang meningkat di dunia akibat perkembangan industri baja tahan karat.

Pada tahun 1910, pemerintah kolonial Belanda mendirikan perusahaan pertambangan nikel pertama di Indonesia, yaitu Nederlandsche Mijn Maatschappij (NMM) atau Perusahaan Tambang Belanda.

NMM kemudian mendapatkan konsesi pertambangan nikel seluas 600.000 hektar di Sulawesi Tenggara.

Baca Juga: Sulawesi dan Halmahera, Dua Pulau Penghasil Nikel Terbesar di Indonesia

Pada tahun 1934, NMM mulai membangun pabrik peleburan nikel pertama di Indonesia, yaitu Pabrik Nikel Pomalaa di Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara.

Pabrik ini mulai beroperasi pada tahun 1937 dengan kapasitas produksi sekitar 3.000 ton nikel per tahun.

Pada saat itu, Indonesia menjadi salah satu produsen nikel terbesar di dunia, bersaing dengan Kanada dan Norwegia.

Namun, kejayaan nikel Indonesia tidak berlangsung lama.

Pada tahun 1942, Jepang menginvasi Indonesia dan mengambil alih semua aset pertambangan nikel milik Belanda.

Jepang kemudian menggunakan nikel Indonesia untuk mendukung perangnya melawan Sekutu.

Selama masa pendudukan Jepang, produksi nikel Indonesia turun drastis menjadi hanya sekitar 500 ton per tahun.

Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, pemerintah Indonesia mulai berupaya untuk mengambil alih kembali aset pertambangan nikel dari tangan Belanda.

Pada tahun 1958, Presiden Soekarno mengeluarkan Undang-Undang Darurat No.1/1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Asing yang Beroperasi di Wilayah Republik Indonesia.

Undang-undang ini memberikan dasar hukum bagi pemerintah Indonesia untuk menasionalisasi semua perusahaan pertambangan asing, termasuk NMM.

Pada tahun 1960, pemerintah Indonesia resmi mengambil alih NMM dan mengubah namanya menjadi Perusahaan Negara Tambang Nikel (PNTN).

Baca Juga: Nikel Indonesia vs Uni Eropa, Siapa yang Akan Menang di WTO?

PNTN kemudian menjadi cikal bakal dari PT Aneka Tambang (Antam), salah satu BUMN pertambangan terbesar di Indonesia saat ini.

Antam kemudian melanjutkan pengembangan industri nikel di Indonesia dengan membangun pabrik-pabrik peleburan baru, seperti Pabrik Nikel FeNi I dan II di Pomalaa pada tahun 1976 dan 1980.

Selain Antam, ada juga perusahaan-perusahaan lain yang bergerak di bidang pertambangan nikel di Indonesia, baik milik pemerintah maupun swasta.

Beberapa contohnya adalah PT Inco (sekarang PT Vale Indonesia), PT Weda Bay Nickel, PT Central Omega Resources, PT Bintang Delapan Mineral, dan lain-lain. Perusahaan-perusahaan ini beroperasi di berbagai daerah di Indonesia, seperti Sulawesi, Maluku, Papua, dan Kalimantan.

Pada tahun 2014, pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan larangan ekspor bijih nikel mentah (ore ban) untuk mendorong pengembangan industri hilir nikel di dalam negeri.

Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah nikel Indonesia dan mengurangi ketergantungan pada pasar internasional.

Akibat kebijakan ini, banyak perusahaan pertambangan nikel yang mulai membangun pabrik-pabrik pengolahan dan pemurnian nikel (smelter) di Indonesia.

Salah satu pabrik smelter nikel terbesar dan tercanggih di Indonesia adalah Pabrik Nikel Morowali Industrial Park (IMIP) di Sulawesi Tengah.

Pabrik ini dimiliki oleh PT Indonesia Morowali Industrial Park, sebuah perusahaan patungan antara Bintang Delapan Group dan Tsingshan Holding Group dari China.

Pabrik ini mampu menghasilkan berbagai produk nikel berkualitas tinggi, seperti feronikel, nikel pig iron, stainless steel, dan baterai lithium-ion.

Dengan adanya pabrik-pabrik smelter nikel seperti IMIP, Indonesia berhasil menjadi produsen nikel terbesar di dunia pada tahun 2020 dengan produksi sekitar 760.000 ton nikel.

Baca Juga: Nikel Indonesia vs Uni Eropa, Siapa yang Akan Menang di WTO?

Indonesia juga menjadi eksportir nikel terbesar di dunia dengan nilai ekspor sekitar 12,9 miliar dolar AS pada tahun 2020.

Indonesia bahkan berhasil mengalahkan China, yang sebelumnya merupakan raja nikel dunia.

Nikel Indonesia tidak hanya berkontribusi bagi perekonomian nasional, tetapi juga bagi pembangunan berkelanjutan.

Nikel Indonesia menjadi salah satu bahan baku penting untuk industri energi terbarukan, seperti baterai kendaraan listrik dan panel surya.

Nikel Indonesia juga menjadi salah satu faktor yang menarik minat investor asing untuk berinvestasi di Indonesia, khususnya di sektor industri hilir nikel.

Nikel Indonesia memiliki sejarah yang panjang dan menarik.

Dari tembaga setan hingga raja nikel dunia, nikel Indonesia telah melewati berbagai tantangan dan peluang.

Nikel Indonesia telah membuktikan bahwa ia adalah logam strategis yang membawa Indonesia ke puncak dunia.

Nikel Indonesia juga memiliki potensi dan prospek yang cerah untuk masa depan.

Nikel Indonesia adalah kebanggaan bangsa.

Artikel Terkait