Intisari-online.com -Indonesia merupakan salah satu negara penghasil nikel terbesar di dunia.
Menurut Booklet Nikel 2020, cadangan nikel Indonesia mencapai 4,5 miliar ton.
Dengan jumlah tersebut, Indonesia dijuluki sebagai raja nikel dunia.
Namun, belakangan ini muncul kabar yang mengejutkan bahwa Indonesia mengimpor bijih nikel dari Filipina.
Mengapa hal ini bisa terjadi?
Salah satu alasan yang dikemukakan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif adalah karena adanya masalah di Blok Mandiodo, salah satu sumber pasokan bijih nikel di dalam negeri.
Blok ini ditutup karena bermasalah, sehingga perusahaan yang tadinya memasok dari sana harus mencari alternatif lain.
Arifin mengatakan, tambang lain di dalam negeri tidak mau melakukan produksi tambahan, sehingga perusahaan itu terpaksa melakukan impor.
Namun, alasan ini tampaknya tidak cukup kuat untuk menjelaskan fenomena impor nikel ini.
Pasalnya, berdasarkan perhitungan seluruh rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) nikel yang dikeluarkan oleh Kementerian ESDM, bijih nikel untuk pasokan smelter di dalam negeri seharusnya masih mencukupi.
Plt. Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Muhammad Wafid memastikan bahwa tidak ada kekurangan pasokan bijih nikel di sekitar Sulawesi Utara, sehingga tidak ada alasan untuk melakukan impor.
Lalu, apa yang sebenarnya terjadi?
Apakah ada faktor lain yang mendorong impor nikel ini?
Baca Juga: Punya Cadangan Nikel Terbanyak di Dunia, Indonesia Juga Masih Berpotensi Menjadi Pemasok Gas Dunia
Salah satu kemungkinan adalah adanya dominasi perusahaan China dalam industri nikel di Indonesia.
China merupakan negara konsumen nikel terbesar di dunia, yang membutuhkan bahan baku untuk industri baterai kendaraan listriknya.
China juga memiliki banyak investasi di sektor pertambangan dan pengolahan nikel di Indonesia, baik melalui kerjasama dengan perusahaan lokal maupun melalui anak usaha sendiri.
Dengan posisi tersebut, China memiliki kepentingan untuk mengendalikan pasokan dan harga nikel di pasar global.
Salah satu caranya adalah dengan melakukan impor bijih nikel dari Filipina, yang merupakan negara penghasil nikel terbesar kedua di dunia setelah Indonesia.
Dengan demikian, China dapat mengurangi ketergantungannya pada nikel Indonesia, sekaligus menekan harga nikel global agar tetap rendah.
Hal ini tentu merugikan bagi Indonesia, yang ingin meningkatkan nilai tambah industri nikel di dalam negeri.
Sejak Januari 2020, pemerintah telah menerapkan larangan ekspor bijih nikel untuk mendorong pengembangan industri hilir, seperti smelter dan pabrik baterai.
Namun, jika pasokan bahan baku di dalam negeri tidak optimal atau bermasalah, maka impor menjadi pilihan yang tidak bisa dihindari.
Impor bijih nikel dari Filipina ini juga menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas kebijakan larangan ekspor bijih nikel yang diberlakukan sejak Januari 2020.
Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah industri nikel di dalam negeri dan mengurangi ketergantungan pada pasar luar negeri.
Baca Juga: Indonesia Bisa Rugi Bandar Gara-Gara Tambang Nikel Indonesia Dikorupsi Rp5,7 Triliun
Namun, jika impor tetap terjadi, maka tujuan tersebut menjadi sulit dicapai.
Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kegiatan impor bijih nikel ini.
Pemerintah juga perlu memastikan bahwa ada keseimbangan antara kepentingan nasional dan investasi asing dalam industri nikel.
Selain itu, pemerintah perlu mendorong eksplorasi untuk mendapatkan cadangan baru dan meningkatkan kapasitas produksi smelter di dalam negeri.
Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi pemain utama dalam industri nikel dunia.
Namun, potensi ini harus diiringi dengan strategi dan kebijakan yang tepat agar tidak menjadi bumerang bagi Indonesia sendiri.
Impor bijih nikel dari Filipina ini harus menjadi pelajaran bagi Indonesia untuk lebih berhati-hati dalam mengelola sumber daya alamnya.