Coretan itu bukan sebuah bukti bahwa Jepang ikut campur dalam penyusunan naskah Proklamasi yang disusun bertiga antara Sukarno, Hatta, dan Achmad Soebardjo.
“Kemerdekaan Indonesia sendiri jelas bukan hadiah dari Jepang, karena Jepang saat itu sudah menyatakan status quo. Jadi janji kemerdekaan dari Jepang yang pernah ada, tidak pernah terlaksana,” tegas Rushdy.
Nasib naskah-naskah asli Proklamasi itu sendiri rupanya sempat tidak jelas selama beberapa tahun.
Naskah ketikan sempat disimpan oleh Angkatan Komunis Muda dan baru diserahkan oleh tokoh PKI, DN Aidit kepada Presiden Sukarno, pada 1964.
Sementara naskah asli bertuliskan tangan, sempat dibuang ke tempat sampah, tapi akhirnya diselamatkan oleh BM Diah. Naskah itu baru diserahkan ke pemerintah tahun 1992.
Sukarno malu
Diskusi seputar peristiwa setelah Proklamasi Kemerdekaan semakin komplet setelah peserta PTD mengunjungi Tugu Proklamasi menggunakan bus.
Pembicaraan hangat terutama seputar rumah Sukarno di Jalan Pegangsaan Timur No.56 tempat pembacaan teks Proklamasi yang akhirnya dirobohkan. Pertanyaannya, mengapa Sukarno sampai melakukannya?
Agar tidak gagal paham apalagi termakan hoaks yang beredar di internet, Rushdy mengajak kita tahu soal sejarah rumah itu.
Rumah tersebut sebenarnya pemberian Jepang yang merupakan jatah Sukarno karena menjadi anggota Chuo sangi-in, semacam parlemen di zaman Jepang.
Selain rumah, pada 1943 itu pula ada jatah mobil Buick dari Jepang yang kemudian menjadi mobil kepresidenan.
Penulis | : | Tjahjo Widyasmoro |
Editor | : | Tjahjo Widyasmoro |
KOMENTAR