Intisari-Online -Bukan acara Plesiran Tempo Doeloe (PTD) namanya, kalau tidak ada pengungkapan fakta-fakta sejarah baru yang selama ini jarang terdengar.
Begitu pula dengan penyelenggaraan PTD ke-186 kalinya yang merupakan kerja sama dari Sahabat Museum dengan Majalah Intisari, Minggu (24/9).
PTD kali ini mengambil lokasi di dua tempat; Museum Perumusan Naskah Proklamasi (Munasprok) di Jalan Imam Bonjol, serta Tugu Proklamasi di Jalan Proklamasi, keduanya di Jakarta Pusat.
Dalam PTD kali ini, Sahabat Museum mengundang narasumber Rushdy Hoesein, seorang sejarawan senior, yang banyak mengulas seputar peristiwa seputar Proklamasi Kemerdekaan dan peristiwa-peristiwa penting lain yang mengiringinya.
Saat di Munasprok, para peserta PTD yang berjumlah 24 orang umumnya baru mengetahui alasan sebenarnya mengapa perumusan naskah Proklamasi diadakan di bekas rumah Laksamana Maeda ini.
Rupanya, semula penyusunan naskah Proklamasi sebenarnya sempat akan dilakukan di Hotel Des Indes karena para anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia menginap di sana. Namun rencana itu batal, karena pihak hotel keberatan mengingat adanya aturan jam malam dari Jepang.
Acara kemudian pindah ke kediaman Laksamana Maeda yang kini menjadi Munasprok.
Terpilihnya lokasi ini, menurut Rushdy, atas permintaan Achmad Soebardjo kepada Maeda. Saat itu Soebardjo adalah staf dari Maeda.
Kala itu, tambah Rushdy, Laksamana Maeda yang merupakan perwira penghubung Angkatan Laut Jepang, dikenal seorang perwira yang intelek dan sikapnya sangat baik kepada orang-orang Indonesia.
“Ketika ia akhirnya ditangkap Sekutu, malah Maeda menitipkan wanita simpanannya, perempuan indo, kepada Bung Karno dan kawan-kawan agar diurus,” ungkap Rushdy.
Dalam kunjungan ke Munasprok, diskusi hangat juga terjadi seputar coretan di naskah asli Proklamasi.
Seperti diketahui, ada dua kata dalam naskah yakni 'penyerahan' yang dicoret menjadi 'pemindahan', kemudian kata 'dioesahakan' yang dicoret menjadi 'diselenggarakan'.
Pencoretan itu menurut Rushdy karena memang pertimbangan kepantasan dan rasa berbahasa saja.
Coretan itu bukan sebuah bukti bahwa Jepang ikut campur dalam penyusunan naskah Proklamasi yang disusun bertiga antara Sukarno, Hatta, dan Achmad Soebardjo.
“Kemerdekaan Indonesia sendiri jelas bukan hadiah dari Jepang, karena Jepang saat itu sudah menyatakan status quo. Jadi janji kemerdekaan dari Jepang yang pernah ada, tidak pernah terlaksana,” tegas Rushdy.
Nasib naskah-naskah asli Proklamasi itu sendiri rupanya sempat tidak jelas selama beberapa tahun.
Naskah ketikan sempat disimpan oleh Angkatan Komunis Muda dan baru diserahkan oleh tokoh PKI, DN Aidit kepada Presiden Sukarno, pada 1964.
Sementara naskah asli bertuliskan tangan, sempat dibuang ke tempat sampah, tapi akhirnya diselamatkan oleh BM Diah. Naskah itu baru diserahkan ke pemerintah tahun 1992.
Sukarno malu
Diskusi seputar peristiwa setelah Proklamasi Kemerdekaan semakin komplet setelah peserta PTD mengunjungi Tugu Proklamasi menggunakan bus.
Pembicaraan hangat terutama seputar rumah Sukarno di Jalan Pegangsaan Timur No.56 tempat pembacaan teks Proklamasi yang akhirnya dirobohkan. Pertanyaannya, mengapa Sukarno sampai melakukannya?
Agar tidak gagal paham apalagi termakan hoaks yang beredar di internet, Rushdy mengajak kita tahu soal sejarah rumah itu.
Rumah tersebut sebenarnya pemberian Jepang yang merupakan jatah Sukarno karena menjadi anggota Chuo sangi-in, semacam parlemen di zaman Jepang.
Selain rumah, pada 1943 itu pula ada jatah mobil Buick dari Jepang yang kemudian menjadi mobil kepresidenan.
Saat pembagian rumah, Sukarno sebenarnya mendapat jatah rumah yang sekarang berada di Jalan Diponegoro No.11. Tapi karena Sukarno menganggap rumah itu kekecilan, dia minta yang lain.
Pemerintah Jepang akhirnya memberi rumah di Jl. Pegangsaan Timur No.56 yang menempati lahan besar dan luas.
Rumah itu aslinya sebuah landhuisyang punya 12 kamar, sebuah garasi, serambi belakang, ruang depan, tengah, dan ruang makan.
“Sebelumnya rumah itu ditempati seorang perempuan Belanda yang suaminya ditahan Jepang. Lalu dia diusir,” jelas Rushdy.
Setelah peristiwa Proklamasi, Sukarno tinggal di rumah tersebut sampai hijrah ke Yogyakarta, 4 Januari 1946. Setelah itu rumah ditempati Perdana Menteri Sutan Sjahrir sampai 1948.
Saat Sukarno kembali dari Yogyakarta, akhir 1949, ia tidak kembali ke rumah lamanya melainkan langsung ke Istana Negara.
Menurut kesaksian Rushdy, rumah di Jl. Pegangsaan Timur nasibnya tidak menentu. Sempat dijual Belanda tapi tidak laku. Lalu sempat jadi semacam museum di mana semua orang bisa datang dan melihat-lihat.
"Malah sempat jadi tempat latihan Pramuka juga," kata Rushdy yang semasa kecil sering diajak ayahnya melihat-lihat bekas rumah Sukarno itu.
Pada 1949, pemerintah menyatakan bahwa rumah tersebut adalah rumah negara.
Pada 1961, pemerintah merencanakan membangun sebuah gedung pameran di belakang lokasi rumah yang kini menjadi Kantor Badan Keamanan Laut.
Atas pertimbangan keindahan karena dari lokasi gedung terlihat bagian belakang rumah Sukarno, maka rumah itu dirobohkan.
Akan tetapi Rushdy melihat sebenarnya bukan itu alasan utama. “Sukarno malu karena rumah tersebut adalah pemberian Jepang,” tutur sejarawan yang sempat praktik sebagai dokter ini.
Sukarno kemudian menandai tempat ia membacakan naskah proklamasi dengan mendirikan Tugu Petir yang diresmikan 1 Januari 1961.
Tentu banyak pihak yang kemudian menyayangkan dibongkarnya rumah asli di Jl. Pegangsaan Timur, termasuk Rushdy sendiri.
“Karena rumah itu menjadi bukti autentik. Jangan sampai generasi muda menganggap proklamasi itu hoaks karena setiap tahun diperingatinya di Istana Merdeka padahal peristiwanya di Pegangsaan Timur,” kata Rushdy yang mengaku sudah melobi semua presiden yang pernah memerintah agar membangun kembali rumah Sukarno tapi semua menolak.