Dua pentolan PKI, DN Aidit dan Lukman, ternyata pernah berurusan dengan pengadilan sebelum peristiwa 30 September 1965. Keduanya disebut jadi penumpang gelap kapal ke Hong Kong.
Intisari-Online.com -Masih ingat dengan nama DN Aidit dan Lukman?
Benar, dua nama di atas adalah pentolan Partai Komunis Indonesia (PKI), partai yang bubar setelah peristiwa 30 September 1965.
Jauh sebelum itu, tepatnya 15 tahun sebelum September 1965, Aidit dan Lukman ternyata sudah pernah berurusan dengan pengadilan.
Tapi ini tak ada hubungannya dengan kasus makar atau memberontak.
Keduanya disidangkarenajadi penumpang gelap di sebuah kapal jurusan Tanjung Priok – Hong Kong.
Kasus yang menyeret nama Aidit dan Lukman itu dibongkarTan Po Goan, pengacara yang membela keduanya di pengadilan.
Bagaimana ceritanya? Intisari Desember 1977 mencatatnya.
***
Tentu saja bukan sesudah 30 September 1965, tapi permulaan tahun 1950, tidak lama setelah penyerahan kedaulatan oleh Belanda.
Waktu itu, Ibu Moedigdio, mertua Aidit, datang pada saya untuk memberitahu bahwa menantunya dan Loekman ditahan di Tanjung Priok dan akan diadili keesokan harinya oleh Pengadilan Negeri Priok. Kejahatannya?
Menjadi penumpang tanpa karcis pada sebuah kapal K.P.M. yang sedang dalam pelayaran dari Tanjung Priok ke Hongkong.
Perbuatan ini memang dapat dihukum menurut pasal 472 bis K.U.H.P. dengan hukuman maksimal 3 bulan penjara.
Mengapa orang pertama dan kedua dari Partai Komunis Indonesia ini bisa menjadi penumpang gelap pada kapal K.P.M. yang sedang menuju ke Hongkong?
Jawabannya ialah karena mereka berhasil menyelinap ke luar negeri ketika Belanda melaksanakan aksi militer kedua terhadap R.I.
Kemana mereka pergi? Sampai sekarang saya tidak tahu, entah ke Peking entah ke Moskow mungkin untuk "training" lebih lanjut.
Tapi pennulaan tahun 1950, ketika akan pulang ke Indonesia, mereka tersangkut di Singapura, tanpa uang dan tanpa paspor.
Mereka orang-orang cerdik. Mereka naik saja ke kapal K.P.M. yang singgah di Singapura dalam perjalanan antara Tanjung Priok — Hongkong.
Memang di Singapura semua orang boleh naik ke kapal yang berlabuh di sana. Keduanya bersembunyi dan baru keluar sesudah kapal berlayar lagi di laut lepas.
Mereka berbohong, menyatakan naik di Tanjung Priok untuk pergi ke Hongkong kemudian akan ke RRC dengan maksud menjenguk keluarga di sana.
Mereka berdua mengaku "she Tan", artinya nama keluarga mereka "Tan". Selain itu mereka juga mengakui bahwa mereka tidak bisa bahasa Cina.
Kapten kapal menyatakan bahwa menyesal ia tidak bisa mengabulkan permintaan kedua orang "she Tan" ini. Mereka harus dibawa kembali ke Tanjung Priok untuk diserahkan kepada polisi.
Selama perjalanan ke Hongkong dan dari Hongkong ke Tanjung Priok, mereka diharuskan bekerja di kapal dengan diberi sekadar uang belanja.
Selama kapal berlabuh 5 hari di Hongkong, mereka boleh ikut berjalan-jalan di darat, tapi selalu dikawal oleh jurumudi atau petugas kapal yang lain. Jadi sebetulnya enak juga!
Setibanya di Tanjung Priok mereka diserahkan kepada polisi pelabuhan untuk ditahan dan disidangkan secara summier keesokan harinya.
Mereka berhasil memberi kabar kepada Ibu Moedigdio yang segera datang minta pertolongan kepada saya.
Keesokan harinya, Ibu Moedigdio dan saya datang ke Pengadilan Negeri Tanjung Priok. Saya beritahu panitera bahwa saya akan menjadi pembela Aidit dan Loekman.
Hakimnya adalah Asan Nasution (kini almarhum) yang kemudian menjadi Ketua Pengadilan Negeri Jakarta yang terkenal tegas sekali.
Kemudian saya bersahabat karib dengannya dan saya pernah bermalam 5 hari di rumahnya ketika Pak Nasution ini menjadi Ketua Pengadilan Negeri Tanjungpinang.
Tapi hari itu di Tanjung Priok saya baru pertama kali bertemu dengannya. "Mau apa Mr. Tan ini?" tanyanya. "Ini 'kan perkara summer dan kedua terdakwa sudah mengaku. Bagaimana akan dibela?"
Saya tertawa. "Saudara hakim," kata saya, "perkara ini kelihatannya tidak dapat dibela, tapi saya ingin menunjukkan bahwa kedua terdakwa terpaksa berbohong karena mereka bukan naik kapal di Tanjung Priok, melainkan di Singapura.
Mereka ingin pulang ke Indonesia, tapi tidak punya uang, tidak punya paspor. Maka itu mereka mengaku naik di Priok supaya dikembalikan ke Priok.
Saudara hakim, saya dalam keadaan yang sama akan melakukan hal yang sama pula. Malah saya berani berkata bahwa saudara hakim sendiri akan berbuat demikian.
Kalau saudara hakim mengakui bahwa saudara hakim akan berbuat begitu juga, maka saudara hakim sudah mengakui bahwa keadaan mereka sudah merupakan "rechtvaardigingsgrond" (alasan yang membenarkan) untuk perbuatan mereka dan mereka harus dibebaskan.
Selain itu saya juga ingin mengemukakan bahwa Aidit dan Loekman ini bukan penumpang gelap biasa, sebab mereka orang pertama dan orang kedua dari P.K.I."
Mendengar keterangan saya yang terakhir ini Pak Asan Nasution berkata: "Nanti dulu! Tepatkah persoalan ini dilihat dari sudut juridis saja? Apakah sebaiknya diajukan pula pertimbangan politis? Perkara ini saya undurkan dua minggu dan saya akan mintakan pandangan PAM (Polisi Aliran Masyarakat)".
Demikianlah perkara ini diserahkan kepada P.A.M. Aidit dan Loekman diambil sidik jarinya walaupun Ibu Moedigdio protes keras.
Pembelaan perkara ini diambil alih oleh saudara Luat Siregar S.H., yaitu anggota parlemen, Fraksi P.K.I, bekas pengacara di Medan.
Saya tentu saja tidak keberatan, sebab buat perkara ini sudah tentu saya tidak akan berani minta honorarium.
Akhirnya saya dengar bahwa hakim Asan Nasution menjatuhkan hukuman 2 minggu penjara dengan masa percobaan satu tahun.
Saya anggap hukuman ini kurang patut. Maklumlah waktu itu hakim dan P.A.M. lebih anti P.K.I. dari saya yang ketika itu belum dimusuhi golongan komunis!
(Ditulis oleh Tan Po Goan S.H. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Desember 1977)