Intisari-online.com - Sosok Omar Dhani adalah salah satu tokoh militer Indonesia yang pernah menjabat sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Udara (AURI) ke-2 pada periode 1962-1965.
Ia lahir di Surakarta, Jawa Tengah, pada 23 Januari 1924 dari keluarga ningrat terpelajar yang juga berkarier di pemerintahan.
Sejak kecil, ia tumbuh sebagai orang yang merdeka, berani, dan bertanggung jawab.
Omar Dhani mengawali pendidikannya di sekolah-sekolah Belanda, seperti HIS, MULO, dan AMS.
Pada masa pendudukan Jepang, ia bekerja sebagai penyiar radio, informan pemerintah, dan pegawai bank.
Setelah kemerdekaan Indonesia, ia mendaftar sebagai kadet AURI dan mendapat kesempatan untuk belajar di Academy of Aeronautics di California, AS.
Ia lulus pada tahun 1952 dan kembali ke Indonesia untuk mengabdi sebagai penerbang.
Karier Omar Dhani di AURI terus menanjak.
Ia pernah bertugas di berbagai pangkalan udara, seperti Maguwo, Iswahyudi, Halim Perdanakusuma, dan Kemayoran.
Ia juga pernah mengikuti pendidikan lanjutan di Royal Air Force Staff College di Andover, Inggris pada tahun 1956.
Kemudian dikenal sebagai penerbang yang handal, cerdas, dan disiplin. Ia juga aktif dalam organisasi-organisasi sosial dan politik, seperti Ikatan Penerbang Republik Indonesia (IPRI) dan Partai Nasional Indonesia (PNI).
Pada tahun 1962, Omar Dhani diangkat oleh Presiden Soekarno sebagai Menteri/Panglima AURI menggantikan Marsekal Soerjadi Soerjadarma yang dicopot karena dianggap gagal memberikan dukungan udara dalam pertempuran Laut Arafura.
Sebagai Panglima AURI, Omar Dhani berperan penting dalam operasi-operasi militer, seperti pemberantasan pemberontakan PRRI/Permesta, Operasi Trikora untuk merebut Irian Barat dari Belanda, dan Konfrontasi Indonesia-Malaysia.
Ia juga memperkuat armada udara Indonesia dengan membeli pesawat-pesawat canggih dari Uni Soviet dan Tiongkok.
Omar Dhani adalah salah satu loyalis Soekarno yang mendukung konsep Nasakom (Nasionalis-Agama-Komunis) dan Demokrasi Terpimpin.
Ia juga bersimpati dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang saat itu dipimpin oleh DN Aidit.
Lalu berpendapat bahwa PKI adalah partai rakyat yang berjuang untuk kepentingan nasional dan sosial.
Ia juga menganggap bahwa komunisme adalah ideologi masa depan yang sesuai dengan Pancasila.
Namun, sikap pro-komunis Omar Dhani membuatnya menjadi sasaran kebencian dan permusuhan dari sebagian besar kalangan militer, terutama Angkatan Darat yang dipimpin oleh Jenderal AH Nasution.
Hubungan antara AURI dan AD semakin memburuk seiring dengan meningkatnya ketegangan politik di Indonesia menjelang tahun 1965.
AD merasa terancam oleh kekuatan PKI yang semakin besar dan berpengaruh, serta oleh rencana Soekarno untuk membentuk Komando Operasi Tertinggi (KOTI) yang akan menggantikan peran ABRI dalam menjaga keamanan negara.
Pada malam tanggal 30 September 1965, terjadi sebuah kudeta yang dilakukan oleh sekelompok perwira Angkatan Darat yang menamakan diri Gerakan 30 September (G30S).
Baca Juga: Kartosoewirjo Di Jawa Barat, Sosok Ini Pimpin Pemberontakan DI/TII DI Jawa Tengah
Mereka mengklaim bahwa mereka bertindak untuk menyelamatkan Presiden Soekarno dari rencana kudeta yang akan dilakukan oleh Dewan Jenderal, yaitu sekelompok jenderal AD yang anti-komunis.
Dalam aksinya, G30S berhasil membunuh enam jenderal AD, yaitu Ahmad Yani, Suprapto, MT Haryono, Siswondo Parman, DI Panjaitan, dan Sutoyo Siswomiharjo.
Mereka juga menculik seorang perwira muda, Pierre Tendean, yang dikira sebagai Nasution.
Jenazah para korban kemudian dibuang ke sebuah sumur tua di Lubang Buaya.
G30S gagal mencapai tujuannya karena mendapat perlawanan dari pasukan-pasukan setia kepada AD yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Soeharto.
Soeharto mengambil alih komando ABRI dan mengumumkan bahwa G30S adalah gerakan pemberontakan yang didalangi oleh PKI.
Ia kemudian melancarkan operasi militer untuk menumpas G30S dan PKI di seluruh Indonesia.
Operasi ini berlangsung dengan brutal dan menewaskan ratusan ribu orang yang diduga terlibat atau bersimpati dengan PKI.
Omar Dhani menjadi salah satu korban dari operasi anti-komunis Soeharto.
Ia ditangkap pada tanggal 2 Oktober 1965 dan dituduh sebagai salah satu otak di balik G30S.
Kemudian disiksa dan diadili dalam sebuah pengadilan militer yang tidak adil.
Ia dinyatakan bersalah atas tuduhan makar, subversi, dan pembunuhan terhadap para jenderal.
Ia dijatuhi hukuman mati pada tanggal 12 Mei 1966.
Namun, hukuman mati Omar Dhani tidak pernah dilaksanakan. Ia tetap ditahan di penjara selama 29 tahun tanpa mendapat grasi atau amnesti.
Kemudian baru dibebaskan pada tanggal 16 Agustus 1995 oleh Presiden Soeharto sebagai bagian dari gestur kemanusiaan menjelang peringatan HUT Kemerdekaan RI ke-50.
Ia dibebaskan bersama dengan dua tokoh lain yang juga menjadi tahanan politik akibat G30S, yaitu Soebandrio dan Soetarto.
Setelah dibebaskan, Omar Dhani tetap menjalani hidup dengan tenang dan sederhana.
Ia tidak pernah menyesali perbuatannya atau mengubah pandangannya tentang komunisme.
Ia juga tidak pernah meminta maaf atau meminta rehabilitasi atas nama baiknya.
Kemudian menganggap bahwa ia telah berjuang untuk kebenaran dan keadilan sesuai dengan hati nuraninya. Ia meninggal dunia pada tanggal 24 Juli 2009 di Jakarta dalam usia 85 tahun.
Lalu dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Jeruk Purut dengan upacara militer yang sederhana.
Omar Dhani adalah sosok yang kontroversial dalam sejarah Indonesia.
Bagi sebagian orang, ia adalah pahlawan yang setia kepada Soekarno dan berani melawan imperialisme dan kapitalisme.
Bagi sebagian lain, ia adalah pengkhianat yang mendukung PKI dan terlibat dalam pembantaian para jenderal.
Namun, bagi dirinya sendiri, ia adalah seorang nasionalis dan revolusioner yang berpegang teguh pada prinsip-prinsipnya hingga akhir hayatnya.