Ki Ageng Gribig membawa oleh-oleh berupa kue apem dan akan dibagikan kepada saudara, murid, dan tetangganya.
Namun, oleh-oleh yang dibawa Ki Ageng Gribig tidak cukup, ia kemudian meminta keluarganya untuk membuat kue apem untuk dibagikan.
Sejak 1589 Masehi atau 1511 Saka, Ki Ageng Gribig selalu membagi-bagikan apem kepada orang-orang di sekitarnya.
Mulai saat itulah, Ki Ageng Gribig mengamanatkan kepada masyarakat Jatinom, Klaten, untuk memasak sesuatu sebagai sedekah kepada masyarakat yang membutuhkan.
Amanat Ki Ageng Gribig inilah yang kemudian mengawali tradisi Yaqowiyu.
Nama Yaqowiyu Tradisi Yaqowiyu diambil dari bagian akhir doa memohon kekuatan dalam bahasa Arab, yakni yaa qowiyyu, yaa aziz, qowwina wal muslimiin, yaa qowiyyu warzuqna wal muslimiin.
Selain itu, penggunaan kue apem dalam tradisi ini memiliki maksud tersendiri.
Kue Apem diambil dari kata bahasa Arab, yakni affum. Kata affum memiliki makna maaf.
Karena itulah makanan yang dibagikan dalam tradisi ini kemudian disebut dengan apem Yaqowiyu.
Tradisi Yaqowiyu dilakukan setiap bulan Sapar dalam penanggalan Jawa.
Biasanya, ribuan kue apem akan disebarkan dari panggung permanen di selatan masjid yang berada di kompleks pemakaman Ki Ageng Gribig.
Masyarakat kemudian percaya bahwa kue apem Yaqowiyu dapat membawa kesejahteraan bagi mereka yang mendapatkannya.
Seiring berjalannya waktu, tradisi ini kemudian menjadi festival unggulan di Klaten.
Bahkan, masyarakat di daerah sekitarnya, seperti Boyolali, Solo, Sragen, hingga Yogyakarta datang ke Klaten untuk ikut festival atau tradisi Yaqowiyu.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR