Tradisi memanjangkan leher wanita Suku Karen awalnya bertujuan untuk melindungi wanita dari serangan harimau.
Intisari-Online.com -Suku Karen di Myanmar menjadi salah satu suku yang paling menarik perhatian.
Bagaimana tidak, suku ini mempunya tradisi memanjangkan leher.
Tapi ingat, tidak semua perempuan Suku Karen punya tradisi memanjangkan leher.
Mengutip Kompas.com, Suku Karen merupakan masyarakat yang tinggal di selatan Myanmar.
Mereka berbicara menggunakan rumpun bahasa Sino-Tibet.
Salah satu yang khas dari mereka adalah perempuannya punya tradisi memanjangkan leher.
Tapi ternyata tidak semua wanita suku Karen punya tradisi itu, karena memanjangkan leher hanya dilakukandilakukan oleh Suku Karen Padaung, salah satu sub-grup dari Suku Karen Merah yang mayoritas mendiami Negara Bagian Kayah di Myanmar.
Masih menurut sumber yang sama, lebih dari 100 kelompok etnis dan sub-etnis minoritas di Myanmar.
Suku Karen salah satunya.
Para ahli umumnya percaya pada teori bahwa Suku Karen berasal dari Tibet, Mongolia, atau China, yang bermigrasi ke wilayah Asia Tenggara secara bertahap.
Mereka diduga mulai menghuni wilayah Myanmar sejak2.000 tahun lalu.
Tepatnya di daerah selatan Delta Irrawaddy dan di perbukitan sepanjang Sungai Salween.
Sebagian dari Suku Karen juga bermigrasi hingga ke wilayah Thailand.
Suku Karen dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok, yakni Karen Merah dan Karen Putih.
Suku Karen Putih terdiri dari sub-suku Sgaw dan Pwo.
Sedangkan Karen Merah terdiri dari sub-suku Bre, Padaung, Yinbaw, dan Zayein.
Suku Karen tidak lepas dari penindasan pemerintah Myanmar, seperti minoritas lainnya.
Saat Inggris menjajah Myanmar pada abad ke-19, masyarakat Suku Karen berharap bisa lepas dari penindasan pemerintah.
Ketegangan mencapai puncaknya selama Perang Dunia II ketika orang Karen memihak sekutu Inggris untuk melawan Myanmar yang berperang bersama Jepang.
Pada 1948, Myanmar meraih kemerdekaan dari Inggris.
Suku Karen menjadi terlantar karena mereka tidak diberi hak atas tanah oleh pemerintah.
Penderitaan Suku Karen semakin parah ketika rezim militer didirikan di Myanmar pada 1962.
Sepanjang 1960-an, militer Myanmar melakukan operasi besar-besaran yang mengakibatkan Suku Karen harus melarikan diri.
Aksi teror dari tentara Myanmar ke desa-desa Suku Karen bukan hal yang mengejutkan lagi.
Kabarnya, militer Myanmar kerap membunuh, menyiksa, memperkosa perempuan dan anak-anak, serta membakar desa Suku Karen.
Saat ini, sekitar tujuh juta orang Karen tinggal di Myanmar dan sekitar 1,5 juta orang Karen di Thailand.
Ada pula kelompok-kelompok kecil Suku Karen yang tinggal di India dan negara-negara Asia Tenggara.
Selain itu, terdapat sekitar 140.000 pengungsi orang Karen yang tinggal di kamp-kamp di Thailand dan 50.000 lainnya yang diungsikan ke Amerika, Kanada, Australia, dan Eropa.
Mereka adalah korban dari penindasan yang dilakukan oleh junta militer Myanmar.
Sejak 2013, hubungan antara orang Karen dengan pemerintah Myanmar cukup terkendali setelah dua pihak melakukan negosiasi.
Kepercayaan tradisional Suku Karen adalah Animisme.
Kepercayaan ini hidup berdampingan dengan agama Buddha yang dipeluk oleh sebagian besar masyarakatnya.
Biksu dalam masyarakat Karen umumnya tidak hanya berperan sebagai pemimpin agama, tetapi juga menjadi tokoh masyarakat, guru, aktivis HAM, dan ahli pengobatan herbal.
Pada masa penjajahan Inggris, banyak misionaris Kristen yang dekat dengan Suku Karen.
Dari situlah sejumlah orang Karen percaya bahwa mereka harus melepaskan kepercayaan tradisional dan memeluk Kristen.
Saat ini, diperkirakan sebanyak 15 persen dari orang Karen adalah umat Kristiani. Mata pencarian orang Karen adalah bertani.
Mereka umumnya tinggal di desa di perbukitan dan hidup dengan menanam padi dan sayur, serta beternak hewan.
Rumah orang-orang Karen terbuat dari bambu dan jerami.
Mereka juga memiliki alat musik dari bambu yang biasanya digunakan untuk mengiringi tarian tradisional yang ditampilkan saat upacara pernikahan.
Salah satu tradisi terkenal dari perempuan Karen adalah memanjangkan leher
Awalnya tradisi memanjangkan leher pada Suku Karen bertujuan untuk melindungi perempuan dari harimau.
Tradisi ini kemudian berkembang hingga menjadi tolok ukur kecantikan perempuan Suku Karen.
Untuk memanjangkan leher, leher para perempuan Suku Karen diberi kalung seperti cincin besar.
Semakin usianya bertambah, maka cincin di leher pun akan ditambah yang membuat leher terlihat sangat panjang.
Cincin di leher tersebut hanya akan dilepas saat menikah, melahirkan, atau meninggal.
Banyak yang mengira bahwa semua perempuan Suku Karen memiliki tradisi memanjangkan leher.
Padahal, tradisi ini hanya dilakukan oleh Suku Karen Padaung, salah satu sub-grup dari Suku Karen Merah yang mayoritas mendiami Negara Bagian Kayah di Myanmar dan sebagian di bagian utara Thailand.