Intisari-online.com - Nikel adalah logam yang memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia, mulai dari peralatan dapur hingga pembuatan pesawat terbang.
Namun, nikel juga menjadi komponen utama baterai kendaraan listrik, yang merupakan teknologi masa depan yang ramah lingkungan.
Indonesia memiliki keberuntungan besar karena merupakan negara penghasil nikel terbesar di dunia, dengan cadangan sekitar 72 juta ton atau 27 persen dari total cadangan nikel dunia.
Pada tahun 2022, produksi nikel di Indonesia mencapai 2,668 juta ton Ni, mengalahkan negara-negara lain seperti Australia, Brasil, dan Rusia.
Namun, apakah Indonesia mampu memanfaatkan potensi nikel ini secara optimal?
Sayangnya, belum. Sebagian besar produksi nikel di Indonesia masih berupa bijih mentah yang diekspor ke luar negeri, terutama China.
Padahal, nilai tambah nikel akan lebih tinggi jika diolah menjadi produk hilir seperti feronikel, matte nikel, atau baterai kendaraan listrik.
Salah satu tantangan yang dihadapi Indonesia adalah kurangnya investasi dalam pembangunan smelter atau pabrik pengolahan nikel.
Meskipun pemerintah telah menerapkan larangan ekspor bijih nikel sejak Januari 2020 untuk mendorong pengembangan industri hilir, namun realisasi pembangunan smelter masih jauh dari target.
Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), hingga akhir 2020, baru ada 22 smelter nikel yang beroperasi dengan kapasitas total 1,66 juta ton Ni per tahun.
Sedangkan target pemerintah adalah memiliki 50 smelter nikel dengan kapasitas total 4 juta ton Ni per tahun pada akhir 2024.
Baca Juga: Sudah Berani 'Lawan' IMF dan WTO, Cadangan Nikel Indonesia Hanya Cukup untuk 13 Tahun?
Penulis | : | Afif Khoirul M |
Editor | : | Afif Khoirul M |
KOMENTAR