Perang saudara antara Pakubuwana II (dan kemudian Pakubuwana III) melawan Amangkurat V berlangsung selama enam tahun (1749-1755).
Perang ini melibatkan VOC sebagai sekutu Pakubuwana III dan Cakraningrat IV sebagai sekutu Amangkurat V.
Perang ini juga menyebabkan banyak korban jiwa dan kerusakan di Jawa.
Perang saudara berakhir dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755 di Desa Janti, Karanganyar.
Perjanjian ini dibuat atas prakarsa Nicolaas Hartingh, gubernur VOC untuk Jawa Utara, yang berhasil membujuk Pangeran Mangkubumi untuk berdamai dengan Pakubuwana III.
Dalam perjanjian ini, Mataram dibagi menjadi dua kerajaan, yaitu Surakarta yang dipimpin oleh Pakubuwana III dan Yogyakarta yang dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi dengan gelar Hamengkubuwana I.
Perjanjian Giyanti tidak melibatkan Pangeran Sambernyawa, yang masih melanjutkan perlawanan terhadap VOC dan Surakarta.
Ia baru mau berdamai setelah ditandatanganinya Perjanjian Salatiga pada tanggal 17 Maret 1757.
Dalam perjanjian ini, ia mendapatkan sebagian wilayah timur Mataram dan mendirikan kerajaan sendiri dengan gelar Mangkunegara I.
Dengan demikian, Mataram terpecah menjadi tiga kerajaan, yaitu Surakarta, Yogyakarta, dan Mangkunegaran.
Ketiga kerajaan ini tetap berada di bawah pengawasan VOC dan harus membayar upeti setiap tahunnya.
Perpecahan Mataram ini merupakan akibat dari politik adu domba VOC yang berhasil melemahkan kekuatan Mataram sebagai kerajaan terbesar di Jawa.
Namun, laporan-laporan Nicolas Hartigh menjadi salah satu sumber primer yang dapat digunakan untuk mempelajari sejarah Mataram pada masa itu.
Nicolas Hartigh meninggal pada tahun 1750 di Batavia. Ia dimakamkan di Kerkhof Laan (sekarang Jalan Pangeran Jayakarta) di Jakarta.
Penulis | : | Afif Khoirul M |
Editor | : | Afif Khoirul M |
KOMENTAR