Pada 1828, De Javasche Bank (DJB) dibentuk dengan hak istimewa untuk mencetak dan mengedarkan uang Gulden di Hindia Belanda. DJB menjadi bank sirkulasi pertama di Asia.
Pada 1830, Belanda memberlakukan tanam paksa (cultuurstelsel) untuk mengisi kas negara yang habis akibat Perang Jawa.
DJB digunakan sebagai alat kebijakan finansial dari cultuurstelsel. DJB juga membuka cabang di beberapa kota di Hindia Belanda antara tahun 1829-1870.
Pada 1870, Belanda memberlakukan liberalisasi ekonomi Hindia Belanda dengan Undang-undang Agraria yang memungkinkan swasta berinvestasi di semua sektor bisnis.
Hal ini mendorong perkembangan sektor perkebunan yang menjadi produsen komoditas internasional.
Pada awal abad ke-20, banyak bank perkreditan bermunculan untuk meningkatkan perekonomian rakyat. Hal ini sebagai respons terhadap eksploitasi Belanda yang menimbulkan gerakan politik etis pada 1901.
Pada 1942, Jepang menduduki Nusantara dan melikuidasi DJB. Tugas DJB digantikan oleh Nanpo Kaihatsu Ginko (Bank Pembangunan Asia Selatan). Pada masa ini, mata uang Jepang (Roepiah) diperkenalkan.
Periode Pengakuan Kedaulatan RI sampai dengan Nasionalisasi DJB
Titik tolak terpenting berdirinya Bank Indonesia terjadi setelah Indonesia dan Belanda menggelar Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 23 Agustus hingga 2 November 1949.
Tujuan dari KMB adalah untuk mencari solusi damai atas konflik yang terjadi antara Indonesia dan Belanda sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Salah satu hasil penting dari KMB adalah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) oleh Belanda tanpa syarat.
KOMENTAR