Intisari-online.com -Pada tahun 1812, Kerajaan Mataram Yogyakarta mengalami serangan dari pasukan Inggris yang ingin menguasai Pulau Jawa.
Serangan ini dikenal dengan nama Geger Sepehi atau Geger Sepoy karena sebagian besar pasukan Inggris terdiri dari Brigade Sepoy, yaitu tentara bayaran asal India.
Serangan ini merupakan bagian dari rencana Inggris untuk mengambil alih Pulau Jawa yang sebelumnya dikuasai oleh Belanda.
Ada beberapa hal menaring terkait dengan serangan oleh pasukan Inggris tersebut, antara lain sebagai berikut.
Serangan ini diprovokasi oleh penolakan Sultan Hamengkubuwono II terhadap kebijakan Inggris yang ingin mengirim residen-residen ke wilayah-wilayah di Jawa, termasuk kerajaan-kerajaan yang ada di pulau tersebut.
Sultan Hamengkubuwono II bersekutu dengan Sunan Pakubuwono IV dari Surakarta untuk melawan Inggris.
Serangan ini dipimpin oleh Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles, yang kemudian menjadi pendiri Singapura.
Raffles mengutus John Crawfurd dan Pangeran Notokusumo untuk berdiplomasi dengan Sultan Hamengkubuwono II, tetapi gagal mencapai kesepakatan.
Raffles kemudian memerintahkan pasukannya untuk menyerbu Kraton Yogyakarta pada 18-20 Juni 1812.
Pasukan Inggris yang menyerang Kraton Yogyakarta terdiri dari pasukan kerajaan Eropa dan pasukan Sepoy sebanyak 1200 orang, pasukan Surakarta, Legiun Mangkunegaran sebanyak 800 orang, serta dukungan dari Pangeran Notokusumo dan Tan Jin Sing.
Pasukan Inggris berhasil menembus pertahanan Kraton Yogyakarta melalui Plengkung Tarunasura, Nirbaya, dan Alun-Alun Utara pada subuh hari 20 Juni 1812.
Baca Juga: Kerajaan Mataram Kuno: Sejarah, Raja-raja, dan Peninggalannya
Serangan ini berlangsung selama tiga jam, dari pukul 05:00 sampai 08:00. Pasukan Inggris hanya kehilangan 23 orang dan 78 orang terluka, sedangkan di pihak Kerajaan Mataram Yogyakarta jatuh ribuan korban jiwa.
Sultan Hamengkubuwono II ditangkap dan diasingkan ke Pulau Pinang (Penang, Malaysia).
Pasukan Inggris-Sepoy melakukan penjarahan besar-besaran terhadap harta benda Kerajaan Mataram Yogyakarta.
Peti-peti berisi emas, perak, permata, manuskrip, senjata, perhiasan, dan barang-barang berharga lainnya diangkut dengan gerobak selama empat hari lamanya.
Total nilai jarahan itu sekarang lebih dari 120 juta dolar AS. Beberapa barang jarahan masih disimpan di museum-museum di Inggris dan Belanda.
Serangan Inggris ke Kerajaan Mataram Yogyakarta merupakan salah satu peristiwa penting dalam sejarah Indonesia.
Serangan ini menunjukkan betapa kuatnya ambisi kolonial Inggris di tanah Jawa dan betapa besar kerugian yang dialami oleh rakyat Jawa akibat penjajahan.
Serangan ini juga menjadi salah satu faktor yang memicu lahirnya Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dari perlawanan Sultan Hamengkubuwono II terhadap Inggris.
Kesultanan ini adalah salah satu kerajaan Jawa yang masih bertahan hingga kini dan memiliki status khusus dalam Republik Indonesia.
Berikut adalah beberapa fakta menarik tentang Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat:
Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat didirikan oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengkubuwono I pada tahun 1755, berdasarkan Perjanjian Giyanti yang membagi wilayah Kerajaan Mataram menjadi dua: Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.
Baca Juga: Saat Kerajaan Sriwijaya Gunakan Tangan Wurawari Hancurkan Mataram Kuno
Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat memiliki wilayah seluas 3.186 km2 yang meliputi Kota Yogyakarta dan sebagian Kabupaten Bantul, Gunung Kidul, dan Sleman.
Kesultanan ini juga memiliki lambang, bendera, lagu kerajaan, dan mata uang sendiri.
Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dipimpin oleh seorang sultan yang memiliki gelar resmi Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengkubuwono Senopati Ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah.
Gelar ini berarti "Yang Mulia Penguasa Yang Berkuasa, Raja Yang Menjadi Panglima Perang di Medan Pertempuran, Hamba Allah Yang Menjadi Pembela Agama, Khalifah Allah di Bumi".
Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat memiliki sistem pemerintahan yang unik, yaitu monarki konstitusional dalam republik presidensial.
Artinya, sultan memiliki kedaulatan dan kekuasaan pemerintahan di wilayahnya, tetapi juga tunduk kepada konstitusi dan presiden Republik Indonesia.