Kiai Dewadaru Dari Majapahit, Pusaka Keraton Mataram Yogyakarta Yang Turut Jalani Upacara Jamasan Tiap Sura

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Dua pusaka keraton Mataram Yogyakarta, Kiai Dewadaru dan Kiai Janadaru, punya makna terkait hubungan manusia dengan Tuhannya.
Dua pusaka keraton Mataram Yogyakarta, Kiai Dewadaru dan Kiai Janadaru, punya makna terkait hubungan manusia dengan Tuhannya.

Dua pusaka keraton Mataram Yogyakarta, Kiai Dewadaru dan Kiai Janadaru, punya makna terkait hubungan manusia dengan Tuhannya.

Intisari-Online.com- Beringin kembar yang berdiri kokoh di tengah-tengah alun-alun utara Keraton Mataram Yogyakarta bukan sekadar pohon.

Lebih dari itu, tersimpan makna filosofis di balik keberadaannya yang ikonik itu.

Dua pohon beringin itu juga punya nama.

Yang satu bernama Kiai Dewadaru, yang satunya lagi bernama Kiai Janadaru.

Dua pohon beringin itu diberi pagar khsusu berbentuk persegi, sehingga disebut sebagai waringin kurung alias beringin yang dikurung.

Mengutip situs Kratonjogja.id, keberadaansepasang ringin kurung ini tepat di tengah alun-alun dan mengapit sumbu filosofi, yakni garis imajiner yang membujur antara utara dan selatan, menjadi poros bagi tata ruang Keraton Yogyakarta.

Seperti disinggung di awal, dua beringin itu bukan sekadar pohon.

Keduanya juga diperlakukan sebagai pusaka keraton yangturut menjalani upacara Jamasan tiap bulan Sura.

Jamasan merupakan upacara bersih-bersih benda pusaka keraton ala Mataram Islam.

Kiai Dewadaru dan Kiai Janadaru dijamas dengan cara dipangkas sehingga tajuknya berbentuk bundar seperti payung.

Bentuk payung ini melambangkan pengayoman yang diberikan keraton pada rakyat Yogyakarta.

Konon, bibit Kiai Dewadaru didatangkan langsung dari Majapahit, sementaara Kiai Janadaru dari Pajajaran.

Kiai Dewadaru berasal dari kata dewa dan daru.

Dewa bermakna sifat-sifat ketuhanan sedang daru berarti cahaya, sehingga Dewadaru dapat diartikan sebagai cahaya ketuhanan.

Sementara kembarannya, Kiai Janadaru,berasal dari kata jana dan daru.

Jana berarti manusia, sehingga Janadaru dapat diartikan sebagai cahaya kemanusiaan.

Untuk posisinya, Kiai Dewadaru berada di sebelah barat sumbu filosofis, di sisi yang sama dengan Majid Gedhe, sebagai pusat religi dan agama.

Sebaliknya, Kiai Janadaru berada di sebelah timur sumbu filosifis, di sisi yang sama dengan lokasi seperti Pasar Gedhe (Pasar Beringharjo) yang berfungsi sebagai pusat ekonomi.

Agama berbicara soal hubungannya dengan sifat-sifat ketuhanan, sedang ekonomi dipandang dalam hubungannya dengan sifat-sifat kemanusiaan.

Masih menurut situs yang sama, keseimbangan dan keserasian hubungan di antara keduanya merupakan konsep Manunggaling Kawula Gusti, yaitu persatuan antara Raja dan rakyat serta kedekatan hubungan antara manusia dan Tuhan.

Kiai Dewadaru pernah diganti pada tahun 1988, saat beringin tersebut rubuh menjelang wafatnya Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Sementara Kiai Janadaru pernah terbakar dan ditanam kembali karena tersambar petir pada tahun 1961.

Kiai Janadaru juga pernah diganti pada tahun 1926.

Soal kisah rubuhnya Kiai Janadaru diceritakan dalam Serat Salokapatra.

Di situ disebut bahwaKiai Janadaru yang sudah sakit selama sekitar dua tahun akhirnya rubuh.

Seluruh bagian pohon yang rubuh kemudian dikuburkan tidak jauh dari tempat semula.

Kiai Janadaru kemudian digantikan bibit baru yang berasal dari cangkokannya sendiri.

Bibit baru tersebut kemudian ditanam kembali di tempat dahulu Kiai Janadaru tumbuh.

Penanaman bibit tersebut dilakukan dalam sebuah upacara yang dipimpin oleh Patih Danureja VII dan diiringi doa-doa oleh Abdi Dalem Punokawan Kaji.

Kiai Janadaru juga punya alias, yaitu Kiai Jayadaru, ada juga yang menyebutnya Kiai Wijayadaru.

Sementara Kiai Dewadaru, ia dikenal dengan lain yaitu Kiai Dewatadaru.

Begitukah kisah Kiai Dewadaru dan saudara kembarnya, Kiai Janadaru.

Artikel Terkait