Hanya rokok yang dijualnya saja yang terlihat, sedang penjualnya tidak.
Wiraguna menyuruh istrinya memberi bekal sepuluh real.
Disamping itu, untuk keperluan pembuatan rokok itu, ia diminta menyuruh para abdinya yang memang sudah mahir dalam pembuatan rokok.
Biarlah mereka memberi bantuan agar pembuatan rokok yang akan dijual Rara Mendut bisa cepat selesai.
Rara Mendut sendiri dilarang membuatnya.
Mereka berhasil membuat tiga puluh bungkus rokok.
Semuanya diletakkan di dalam sebuah bokor besar terbuat dari perak yang diupam dengan kuningan, indah permai tampaknya.
Dalam menjual rokoknya itu, Rara Mendut berhias dengan sangat cantik.
Warung Rara mendut pun sesak dirubung pembeli.
Rara Mendut menjual rokoknya dengan harga setengah rupiah sebatang.
Harga yang relatif mahal dimasa itu.
Namun, hal yang aneh, harga puntungnya pun ternyata jauh lebih mahal yakni ada yang dua real sebatang, ada yang dua setengah real, ada yang tiga real dan empat real, tergantung panjang atau pendeknya.
Rara Mendut beralasan harga puntung lebih mahal karena puntung rokok itu bekas kena bibir Rara Mendut dan telah leceh dengan air ludah Rara Mendut yang manis dan harum.
Rokok Rara Mendut itu pun laris manis.
Cerita ini berlanjut pada percintaan pertemuan Rara Mendut dengan Pranacitra, anak lelaki janda Singabarong yang sangat tampan.
Di akhir cerita Wiraguna membunuh Pranacitra dan Rara Mendut ikut menubrukkan diri ke keris Wiraguna yang masih berdarah setelah membunuh Pranacitra.
Naskah Pranacitra di atas telah menyebut pemakaian bumbu-bumbu dan wur dalam pembuatan Rokok Roro Mendut.
Demikian juga dengan tembakau sompok dari Imogiri yang merupakan jenis tembakau ringan.
Sedang pembungkusnya dipakai wiru atau daun klobot.
Dengan demikian jelas di kalangan masyarakat Jawa rokok terutama klobot sebenarnya merupakan barang dagangan yang berusia lama, lebih dari tiga ratus tahun.
Pengageng Sasana Wilapa Keraton Kasunan Surakarta, KP Winarno Koesoemo membenarkan perihal cerita Rara Mendut di serat Pranacitra.
Namun, sebagai generasi di keraton yang tinggal menerima cerita itu, Kanjeng Win mengaku kurang memahami apakah cerita itu benar-benar ada ataukah sekedar dongeng.
“Kita kan tinggal menerima (sejarahnya) saja,” ujarnya, dilansir Tribun Solo.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR