”Masa saya kanak-kanak dulu ada bekas besi mesin cetak yang disemenkan ke lantai rumah. Seperti keadaan rumah tetangga masa itu, rumah ini mungkin tadinya berdinding bambu dan lantai tanah. Mungkin Pak Karno lahir dalam keadaan rumah masih berdinding bambu dan lantai tanah,” katanya.
Yousri Nur Raja Agam, wartawan senior di Surabaya, pada 2008 menulis bahwa ia sudah mendesak tiga wali kota Surabaya agar menetapkan rumah di Peneleh itu sebagai rumah kelahiran Bung Karno.
Dia menulis, ayah Bung Karno, Raden Soekemi Sosrodiharjo, seorang guru , mendapat tugas mengajar di Singaraja, Bali, lalu di sana menikahi Ida Ayu Nyoman Rai Srimben dan kemudian memutuskan pindah ke Surabaya.
Keduanya naik kapal ke Tanjung Perak, Surabaya, kemudian menyusuri Sungai Kalimas, masuk kota dan berhenti di Dermaga Peneleh, tepi Sungai Kalimas, anak Kali Surabaya.
Jalan Raya Anyer-Panarukan belum selesai dikerjakan waktu itu, hubungan Surabaya-Bali lebih mudah lewat laut.
Masa itu, Kampung Peneleh sudah menjadi tempat tinggal orang asal Bali sehingga disebut Kampung Bali.
Bahkan, kini pun masih ada Hotel Bali, yang masih beroperasi hingga kini. Di kampung itu lahir bayi Koesno, yang kelak berubah nama menjadi Soekarno.
Masih menurut Yousri, Koesno bocah diajak pindah mengajar oleh ayahnya ke Blitar, hingga Koesno duduk di bangku SD.
Kemudian pindah lagi, ke Mojokerto, saat Koesno sekolah SMP. Artinya, tampaknya rumah Peneleh ini tempat lahir Soekarno saja, bukan tempat Soekarno menjadi dewasa.
Informasi bahwa Soekarno masa kecil yang juga berada di Kediri dan Mojokerto, kini membuat warga Kediri dan Mojokerto masa kini juga sibuk melacak rumah bekas ”petilasan” Soekarno lainnya.
Soekarno juga pernah indekos semasa mahasiswa di rumah HOS Tjokroaminoto, juga di Jalan Peneleh, Surabaya, yang kini sudah diresmikan oleh Pemkot Surabaya sebagai ”Rumah Tjokroaminoto”.
Dinding tembok, tegel teraso, pintu kayu jati, tangga kayu menuju lantai dua, balai-balai di rumah tempat lahir Soekarno masa kini mungkin bukan persis seperti yang ditinggali Soekarno bayi di awal abad 20 itu.
Kondisi fisik rumah Kampung Pandean itu juga tampak tua dan antik, meski saat Soekarno tinggal mungkin jelas lebih tua lagi.
Tata letak ruangan rumah itu sama seperti rumah hunian sederhana. Berupa kotak, yang dibagi-bagi dalam kotak-kotak yang lebih kecil sebagai sub-unit atau ruangan.
Satu kapling rumah dibagi menjadi ruang publik dan ruang pribadi. Ruang publiknya cukup lengkap untuk kesederhanaannya karena ada ruang tamu, ruang tengah, ruang makan, dan dapur.
Ruang pribadi berupa dua kamar tidur. Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini sudah berupaya berunding dengan Ny Jamilah untuk membeli rumah itu dengan biaya APBD dan meresmikannya sebagai benda cagar budaya agar mendapat perlindungan dan perlakuan yang layak dari pemerintah.
Namun, belum diperoleh kesepakatan mengenai besaran nilainya. ”Semua sudah saya serahkan kepada Bu Risma,” jawabnya. Berapa nilai atau harga sebuah sejarah Bapak Bangsa?"
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR