Di Balik Peristiwa Hari Lahir Bung Karno 6 Juni 1901, Inilah Rumah Yang Menjadi Saksi Kelahiran Putra Sang Fajar

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Bung Karno lahir di sebuah rumah di Jalan Paneleh, Surabaya, Jawa TImur, pada 6 Juni 1901.
Bung Karno lahir di sebuah rumah di Jalan Paneleh, Surabaya, Jawa TImur, pada 6 Juni 1901.

Bung Karno lahir di sebuah rumah di Jalan Paneleh, Surabaya, Jawa TImur, pada 6 Juni 1901.

Intisari-Online.com -6 Juni 1901, presiden pertama Indonesia, Soekarno alias Bung Karno, dilahirkan di muka bumi.

Pria yang mendapat julukan Putra Sang Fajar itu lahir di sebuah rumah di Jalan Paneleh, Surabaya.

Kini, kampung tempat kelahiran Bung Karno itu disebut sebagai Kampung Bung Karno.

Rumah yang menjadi tempat kelahiran Bung Karno itu sekarang dijadi museum.

Kompas.com pada Agustus 2015 lalu pernah membuat laporan panjang tentang rumah kelahiran Bung Karno itu.

Laporan itu disusun oleh Dody Wisnu Pribadi dengan judul: Bung Karno Lahir Di Sini

"Rumah itu berada di Jalan Peneleh, Gang IV, atau biasa disebut juga Gang Pandean, Kelurahan Peneleh, Kecamatan Genteng, Kota Surabaya.

Warga sekitar rumah itu memasang umbul-umbul di gerbang masuk gang. Mereka menghiasi tembok di mulut gang dengan grafiti bertema perjuangan.

Ada slogan perjuangan revolusi, adegan pemuda menghunus bambu runcing.

Rumah itu ”ditemukan” sebagai hasil penelitian. Sudah sulit mendapat narasumber saksi langsung keberadaan Soekarno dan orangtuanya waktu itu.

Penelitian oleh Nurinwa Ki S Hendrowinoto, peneliti sejarah LIPI, yang menjadi sumber utama pencarian rumah ini, dilaksanakan melalui berbagai studi pustaka atas dokumen dan berbagai penelitian sarjana terhadap masa hidup Soekarno.

Nurinwa mendapati informasi bahwa Soekarno lahir di Surabaya, bukan Blitar.

Lokasi rumah ini berjarak tak sampai satu kilometer dari Tugu Pahlawan, 10 November 1945. Persis di samping rumah No 40 (tempat lahir Soekarno) adalah rumah warga asal Bali.

Persis di depan rumah ada masjid tua, yang juga masih memiliki berbagai tinggalan bangunan masa lampau, tetapi amat terawat, seperti pintu-pintu kuno dari kayu jati, plafon dari sirap papan kayu jati, beduk dari kayu dan kulit sapi.

Warga etnis Tionghoa, Madura, Jawa, berbaur di gang ini, menunjukkan jejak warisan semangat nasionalisme Bung Karno.

Jika benar Soekarno lahir di tempat ini, bayi Soekarno tampaknya lahir di salah satu kawasan urban miskin Surabaya pada 1901 (tahun kelahiran Bung Karno).

Sebab tempat ini ada di pusat kota dekat alun-alun atau Tugu Pahlawan sekarang, dan pusat ekonomi pecinan, tetapi rumahnya di perkampungan dekat kuburan Belanda.

Kini rumah tersebut dihuni Siti Jamilah (50) sejak 1990, saat rumah itu dibeli ibunya, almarhum Ny Aliyah. Rumah itu kini ditinggali keluarga Jamilah dan kakak kandungnya, Mahmud (60).

Penelitian Nurinwa dilanjutkan Peter A Rohi, warga Surabaya, jurnalis pendiri sejumlah media massa pada 1990-an. Peter mendirikan ”Institut Soekarno” membuat situs ”Soekarnopedia.”

Mereka mengejar tanda tanya, di mana sebenarnya Soekarno lahir.

Setelah pemeriksaan ulang dan pelacakan berbagai sumber dokumen sejarah hingga ke Leiden, Belanda, dilanjutkan seminar sejarah, ditambah perhatian Wali Kota Surabaya Bambang DH, akhirnya tahun 2011 Pemerintah Kota Surabaya meresmikan rumah ini sebagai rumah tempat lahir Soekarno.

Tahun 2013 pemerintahan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menerbitkan SK 185.45/ 321/436.1/2013 yang menetapkan rumah ini sebagai Benda Cagar Budaya, ”rumah tempat lahir dan masa kanak-kanak Bung Karno”.

Rumah kelahiran Mahmud, penghuni saat ini, menjelaskan, sebelum ia tinggal di rumah ini bersama ibunya, ia mendapat informasi bahwa rumah ini dulu pernah menjadi usaha percetakan.

”Masa saya kanak-kanak dulu ada bekas besi mesin cetak yang disemenkan ke lantai rumah. Seperti keadaan rumah tetangga masa itu, rumah ini mungkin tadinya berdinding bambu dan lantai tanah. Mungkin Pak Karno lahir dalam keadaan rumah masih berdinding bambu dan lantai tanah,” katanya.

Yousri Nur Raja Agam, wartawan senior di Surabaya, pada 2008 menulis bahwa ia sudah mendesak tiga wali kota Surabaya agar menetapkan rumah di Peneleh itu sebagai rumah kelahiran Bung Karno.

Dia menulis, ayah Bung Karno, Raden Soekemi Sosrodiharjo, seorang guru , mendapat tugas mengajar di Singaraja, Bali, lalu di sana menikahi Ida Ayu Nyoman Rai Srimben dan kemudian memutuskan pindah ke Surabaya.

Keduanya naik kapal ke Tanjung Perak, Surabaya, kemudian menyusuri Sungai Kalimas, masuk kota dan berhenti di Dermaga Peneleh, tepi Sungai Kalimas, anak Kali Surabaya.

Jalan Raya Anyer-Panarukan belum selesai dikerjakan waktu itu, hubungan Surabaya-Bali lebih mudah lewat laut.

Masa itu, Kampung Peneleh sudah menjadi tempat tinggal orang asal Bali sehingga disebut Kampung Bali.

Bahkan, kini pun masih ada Hotel Bali, yang masih beroperasi hingga kini. Di kampung itu lahir bayi Koesno, yang kelak berubah nama menjadi Soekarno.

Masih menurut Yousri, Koesno bocah diajak pindah mengajar oleh ayahnya ke Blitar, hingga Koesno duduk di bangku SD.

Kemudian pindah lagi, ke Mojokerto, saat Koesno sekolah SMP. Artinya, tampaknya rumah Peneleh ini tempat lahir Soekarno saja, bukan tempat Soekarno menjadi dewasa.

Informasi bahwa Soekarno masa kecil yang juga berada di Kediri dan Mojokerto, kini membuat warga Kediri dan Mojokerto masa kini juga sibuk melacak rumah bekas ”petilasan” Soekarno lainnya.

Soekarno juga pernah indekos semasa mahasiswa di rumah HOS Tjokroaminoto, juga di Jalan Peneleh, Surabaya, yang kini sudah diresmikan oleh Pemkot Surabaya sebagai ”Rumah Tjokroaminoto”.

Dinding tembok, tegel teraso, pintu kayu jati, tangga kayu menuju lantai dua, balai-balai di rumah tempat lahir Soekarno masa kini mungkin bukan persis seperti yang ditinggali Soekarno bayi di awal abad 20 itu.

Kondisi fisik rumah Kampung Pandean itu juga tampak tua dan antik, meski saat Soekarno tinggal mungkin jelas lebih tua lagi.

Tata letak ruangan rumah itu sama seperti rumah hunian sederhana. Berupa kotak, yang dibagi-bagi dalam kotak-kotak yang lebih kecil sebagai sub-unit atau ruangan.

Satu kapling rumah dibagi menjadi ruang publik dan ruang pribadi. Ruang publiknya cukup lengkap untuk kesederhanaannya karena ada ruang tamu, ruang tengah, ruang makan, dan dapur.

Ruang pribadi berupa dua kamar tidur. Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini sudah berupaya berunding dengan Ny Jamilah untuk membeli rumah itu dengan biaya APBD dan meresmikannya sebagai benda cagar budaya agar mendapat perlindungan dan perlakuan yang layak dari pemerintah.

Namun, belum diperoleh kesepakatan mengenai besaran nilainya. ”Semua sudah saya serahkan kepada Bu Risma,” jawabnya. Berapa nilai atau harga sebuah sejarah Bapak Bangsa?"

Artikel Terkait