Loyalitasnya Kepada Seokarno Berbuah 29 Tahun Penjara Orde Baru, Inilah Sosok Soebandrio Yang Belum Kita Tahu

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Soebandrio salah satu menteri yang paling loyal terhadap Soekarno atau Bung Karno. Harus rasakan 29 tahun penjara Orde Baru.
Soebandrio salah satu menteri yang paling loyal terhadap Soekarno atau Bung Karno. Harus rasakan 29 tahun penjara Orde Baru.

Soebandrio salah satu menteri yang paling loyal terhadap Soekarno atau Bung Karno. Harus rasakan 29 tahun penjara Orde Baru.

Intisari-Online.com -Soebandria bisa dibilang menjadi salah satu sosok menteri era Orde Lama yang begitu loyal kepada Soekarno atau Bung Karno.

Tapi sayang, loyalitas pria kelahiran Kepanjen, Kabupaten Malang, itu harus berbuah petaka.

Dia harus merasakan dinginnya penjara Orde Baru selama 29 tahun.

Siapa sebenarnya Soebandria?

Benarkah dia terlibat Gerakan 30 September yang diidentikkan dengan PKI itu?

Soebandrio adalah salah satu menteri populer di zaman Orde Lama.

Dia dikenal sebagai salah satu loyalis Soekarno yang menduduki beberapa jabatan kunci dalam pemerintahan.

Soebandrio tercatat pernah menjadi duta besar RI untuk Inggris dan Uni Soviet, Menteri Luar Negeri, Wakil Perdana Menteri I, dan Kepala Biro Pusat Intelijen (BPI).

Soebandrio juga aktif berperan dalam diplomasi pembebasan Irian Barat.

Oleh karena itulah dia diberi pangkat Marsekal Madya Tituler.

Tapi kedekatannya dengan Bung Karno tak selama berujung manis.

Kariernya hancur berantakan setelah peristiwa Gerakan 30 September di Jakarta.

Dia ditangkap dan harus mendekam di penjara Orde Baru selama 29 tahun.

Soebandrio dianggap pro kepada PKI.

Soebandrio lahir pada 15 September 1914 di Malang, Jawa Timur.

Dia kemudian mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Kedokteran di Jakarta.

Semasa berstatus sebagai mahasiswa kedokteran, Soebandrio aktif dalam gerakan kemerdekaan.

Dari situlah, Soebandrio justru lebih banyak mendedikasikan waktunya di dunia politik, daripada medis.

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Soebandrio perlahan menjadi orang terdekat Soekarno.

Dia dipercaya menjadi wakil RI di Inggris (1947-1949) dan secara resmi menjadi duta besar pertama RI di Inggris dengan masa jabatan 1949-1954.

Antara 1954-1956, Soebandrio menjadi duta besar RI untuk Uni Soviet.

Pada 1956, ia dipanggil pulang oleh Soekarno untuk menduduki jabatan Sekretaris Jenderal Kementerian Luar Negeri.

Setahun kemudian, Soebandrio menjadi Menteri Luar Negeri RI, jabatan yang ia pegang hingga 1966.

Sejak awal 1960, selain menjadi Menteri Luar Negeri, Soebandrio merangkap beberapa jabatan sekaligus, yakni sebagai Wakil Perdana Menteri I (Waperdam I) dan Kepala Biro Pusat Intelijen (BPI).

Pada sekitar peristiwa pembebasan Irian Barat, Soebandrio bersama Waperdam II dan III duduk dalam pimpinan Komando Operasi Tertinggi (KOTI).

Karena itu, ia diberi pangkat Marsekal Madya Tituler.

Pada 30 September 1965, meletus peristiwa G30S yang menewaskan enam Jenderal Angkatan Darat dan satu perwira.

Dalam upaya kudeta yang gagal tersebut, Partai Komunis Indonesia (PKI) dituding sebagai dalang utama, yang menimbulkan gerakan antikomunis.

Peristiwa G30S memicu keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret atau dikenal sebagai Supersemar, yang awalnya ditujukan untuk mengatasi konflik dalam negeri saat itu.

Namun, surat yang dikeluarkan pada 11 Maret 1966 ini menimbulkan banyak tafsir, yang berujung pada pelimpahan kekuasaan dari Presiden Soekarno ke Soeharto, yang saat itu masih menjabat sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat.

Soebandrio adalah salah seorang saksi peristiwa keluarnya Supersemar, yang bahkan ikut mengoreksi naskahnya sebelum diserahkan oleh Soekarno kepada Soeharto.

Sebagai Wakil Perdana Menteri, yang secara struktural adalah orang nomor dua di Indonesia setelah Presiden Soekarno, Soebandrio segera menyadari bahaya Supersemar.

Ketika melihat konsep Supersemar yang paling awal ditulis Soekarno, Soebandrio menyatakan kalau surat tersebut ditandatangani, sama saja Soekarno masuk perangkap.

Namun, terdapat perbedaan pendapat terkait koreksi yang dilakukan oleh Soebandrio dan Chaerul Saleh terhadap naskah Supersemar.

M. Jusuf berpendapat bahwa Soebandrio dan Chaerul Saleh melakukan perubahan substansial, sementara Amirmachmud menyatakan perubahan dari mereka berdua hanyalah koreksi yang bersifat redaksional (kesalahan ketik).

Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, Supersemar menjadi kontroversi karena naskah aslinya tidak pernah ditemukan.

Setelah itu Soeharto selaku penerima mandat melakukan beberapa aksi beruntun yang menggerus kekuasaan Soekarno sebagai presiden.

Pada 18 Maret 1966, Soeharto menangkap 15 menteri loyalis Presiden Soekarno yang diduga berhaluan kiri atau komunis, termasuk Soebandrio.

Penangkapan Soebandrio diikuti dengan pengambilalihan kantor BPI oleh Angkatan Darat, yang sekaligus menandai akhir kiprah BPI yang dibentuk Soekarno.

Setelah ditangkap, Soebandrio divonis hukuman mati di Mahkamah Militer Luar Biasa pada pertengahan 1966, atas tuduhan terlibat dalam peristiwa G30S.

Sebenarnya, tidak pernah ada bukti nyata yang menyatakan bahwa Soebandrio mengetahui upaya kudeta ataupun terlibat di dalamnya, dan saat peristiwa terjadi ia tengah berada di Sumatera.

Hukuman Soebandrio akhirnya dikurangi menjadi penjara seumur hidup atas permintaan Ratu Elizabeth, yang masih menghargai perannya sebagai utusan Indonesia pertama ke Inggris setelah kemerdekaan Indonesia.

Soebandrio mendekam di penjara selama 29 tahun, hingga 1995, ketika ia dibebaskan karena sakit.

Soebandrio meninggal pada 3 Juli 2004 di Jakarta Selatan dalam usia 89 tahun.

Dalam sebuah wawancara, Soebandrio menyatakan bahwa Supersemar bukan merupakan pelimpahan kekuasaan dan membenarkan adanya poin yang menyebut pengembalian kekuasaan kepada Soekarno.

Soebandrio dalam memoarnya, Kesaksianku Tentang G-30-S, juga menyesalkan pengadilan yang tidak mengecek ulang kesaksian Sjam Kamaruzaman terkait peristiwa G30S.

Menurutnya, ada lima orang yang bisa ditanya, termasuk Bung Karno, DN Aidit (pemimpin PKI), dan dirinya sendiri dalam penyelesaian kasus G30S.

Namun, nasi telah menjadi bubur dan banyak orang telah menjadi korban dari peristiwa yang dituduhkan sendiri terhadap PKI.

Artikel Terkait