Setelah Perjanjian Giyanti yang memecah Mataram Islam jadi dua, Sultan Hamengkubuwono I tinggal sementara di Pesanggrahan Ambarketawang sembari menunggu pembangunan Keraton Yogyakarta.
Intisari-Online.com- Perjanjian Giyanti 1755 menjadi momen yang tak akan pernah dilupakan oleh Mataram Islam.
Karena di tahun itulah kesultanan yang didirikan oleh Panembahan Senopati itu pecah jadi dua: Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.
Perjanjian Giyanti merupakan perjanjian antara Pakubuwono III dan Pangeran Mangkubumi yang kelak bergelar Hamengkubuwono I.
Bagaimanapun juga, perjanjian tersebut adalah titik kulminasi intrik dalam tubuh Mataram Islam yang berkepanjangan.
Memang, setelah itu masih ada lagi perjanjian-perjanjian yang membuat Mataram Islam pecah jadi lebih banyak lag.
Tapi Perjanjian Giyanti adalah yang paling monumental.
Jika raja Kasunanan Surakarta, dalam hal ini Pakubuwono III, sudah punya istana di Sala, lalu ke mana perginya Hamengkubuwono I, raja Kasultanan Yogyakarta?
Bagaimanapun juga, ketika itu Keraton Kasultanan Yogyakarta belum dibangun.
Tapi ternyata HB I punya tempat singgah sementara sembari menunggu pembangunan Keraton Yogyakarta.
Tempat itu adalah Pesanggrahan Ambarketawang.
Saat ini, Pesanggrahan Ambarketawang terletak di Dusun Tlogo Lor, Kelurahan Ambarketawang, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, DIY.
Lokasi pesanggrahan berada di sekitar pemukiman penduduk dan areal persawahan.
Mengutip Jogjacagar.jogjaprov.go.id, nama Ambarketawang berasal dari kata "ambar" yang berarti harum dan "ka-tawang" yang berarti atas atau tinggi.
Nama Ambarketawang berarti suatu tempat tinggi yang harum.
Tidak jelas kapan pesanggrahan ini dibangun.
Meski begitu, menurut beberapa sumber, tempat ini sudah dibangun sebelum ditandatanganinya Perjanjian Giyanti.
Hal ini diperkuat dengan adanya cerita lisan turun temurun yang mengatakan bahwa pesanggrahan ini dulu dikenal dengan nama Purapara.
Purapara mempunyai arti istana sebagai tempat untuk persinggahan pada waktu orang tengah berpergian atau berburu.
Pesanggrahan ini pernah digunakan oleh Hamengkubuwono I sebagai tempat tinggal sementara sembari menunggu pembangunan Keraton Yogyakarta selesei.
HB I tinggal di pesanggrahan ini mulai hari Kamis pon tanggal 3 Sura-Wawu 1681 Jw, atau 9 Oktober 1755.
Setahun kemudian, hari Kamis pahing tanggal 13 Sura-Djimakir 1682 Jw, atau 7 Oktober 1756 HB I meninggalkan pesanggrahan ini untuk pindah ke Keraton Yogyakarta.
Kondisi pesanggrahan saat ini hanya tersisa beberapa bagian saja.
Seperti beberapa bagian tembok, fondasi, dan beberapa material bata.
Diperkirakan pesanggrahan ini menghadap ke timur dengan ukuran luas sekitar 80 x 150 meter.
Pada pagar batas tembok sisi selatan masih tampak gapura kecil yang menghubungkan pesanggrahan dengan kandang kuda.