Dalam perjanjian ini, ia menyerahkan sebagian wilayah Mataram kepada Belanda sebagai ganti bantuan militer untuk menghadapi pemberontakan Pangeran Diponegoro.
Tumenggung Alap-alap sangat tidak setuju dengan perjanjian ini.
Ia merasa bahwa raja telah mengkhianati rakyat dan bangsanya sendiri dengan tunduk kepada penjajah asing.
Kemudian ia pun memutuskan untuk keluar dari keraton bersama pasukannya yang setia.
Ia kemudian bersembunyi di Bumi Sukowati, sebuah wilayah di Kabupaten Sragen yang masih termasuk wilayah Mataram.
Di sana, ia membangun markas dan menyusun kekuatan untuk melawan Belanda.
Tumenggung Alap-alap sudah menyiapkan liang kubur untuk dirinya sendiri di Desa Tanggan.
Ia tahu bahwa hidupnya tidak akan lama lagi, karena Belanda tidak akan tinggal diam dengan perlawanannya.
Pada suatu hari, pasukan Belanda menyerbu markas Tumenggung Alap-alap dengan bantuan dari beberapa penguasa Jawa yang bersekutu dengan mereka.
Mereka membawa senjata api dan meriam yang lebih canggih daripada senjata tradisional yang dimiliki oleh pasukan Mataram.
Tumenggung Alap-alap dan prajuritnya berjuang habis-habisan untuk melindungi markas mereka. Mereka tidak takut mati, karena mereka yakin bahwa mati syahid adalah jalan menuju surga.
Namun, akhirnya mereka kalah jumlah dan kalah persenjataan. Banyak prajurit Mataram yang gugur di medan perang.
Tumenggung Alap-alap sendiri terluka parah oleh tembakan musuh.
Kemudian sebelum meninggal ia meminta untuk dimakamkan di wilayah itu juga yaitu di kawasan Desa Gesi, Sragen.
Penulis | : | Afif Khoirul M |
Editor | : | Afif Khoirul M |
KOMENTAR