Intisari-Online.com - Salah satu tradisi yang paling ditunggu menjelang lebaran, khususnya oleh masyarakat Yogyakarta adalah Grebeg Syawal.
Namun, siapa sangka, tradisi ini sempat terhenti ketika Islam mulai tersebar di tanah Jawa.
Bahkan masyarakat setempat pada waktu itu sampai memilih meninggalkan kerajaan karenanya.
Namun, ada beberapa sosok yang kemudian mengembalikan tradisi tersebut.
Siapakah sosok-sosok yang dimaksud?
Prosesi Grebeg Syawal
Grebeg Syawal adalah salah satu upacara penting di Keraton Yogyakarta.
Dia menjadi bagian dari tiga upacara grebeg yang digelar Keraton Yogyakarta dalam setahun, yaitu Grebeg Syawal, Grebeg Besar, dan Grebeg Mulud.
Setiap tahun, pada 1 Syawal atau bertepatan dengan Hari Raya Idulfitri, tradisi tersebut digelar berupa upacara adat di lingkungan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Tujuh gunungan berisi hasil bumi dikawal pasukan berkuda Keraton Yogyakarta pada Hari Raya Idulfitri 1440 Hijriah.
Tradisi turun-temurun ini adalah wujud syukur 'ngarso dalem' berakhirnya masa puasa di bulan Ramadan.
Prosesi Grebeg Syawal dipimpin oleh pasukan berkuda Keraton Yogyakarta.
Grebeg Syawal dimulai dengan persiapan ubarampe dan gladi resik yang dilakukan oleh para Abdi Dalem.
Pada hari H, tujuh gunungan berisi hasil bumi dikawal pasukan berkuda Keraton Yogyakarta pada Hari Raya Idulfitri 1440 Hijriah.
Gunungan tersebut diarak keliling kota dan diakhiri dengan pembagian isian atau nasi tumpeng kepada masyarakat.
Tumpeng yang dibagikan pada saat Grebeg Syawal biasanya terdiri dari nasi kuning dan lauk pauk seperti ayam goreng, sate ayam, telur pindang, dan sayur lodeh.
Sejarah Grebeg
Tradisi Grebeg, termasuk Grebeg Syawal, di Keraton Yogyakarta merupakan warisan dari budaya Jawa kuno yang disebut Rajawedha.
Rajawedha sendiri merupakan upacara sedekah yang dilakukan oleh raja untuk mewujudkan kesejahteraan dan ketentraman di negeri yang dipimpinnya.
Saat Kerajaan Demak berdiri dan menganut agama Islam, upacara ini sempat terputus dan menyebabkan kegelisahan di kalangan rakyat yang akhirnya meninggalkan kerajaan tersebut.
Lalu oleh Walisongo, upacara sedekah atau kurban ini dihidupkan kembali sebagai media dakwah Islam dengan nama Sekaten, yang dirayakan untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad.
Selain Sekaten, Kerajaan Demak juga mengadakan upacara yang mirip saat meresmikan Masjid Demak yang bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha.
Sejak itu tradisi sedekah raja ini dilaksanakan tiga kali dalam setahun, termasuk untuk merayakan Hari Raya Idul Fitri.
Tradisi ini kemudian diwariskan oleh Kerajaan Islam di Jawa lainnya, termasuk Keraton Yogyakarta.
Baca Juga: Soal PKN Kelas X : Bagaimana Menumbuhkan Sikap Hormat Terhadap Tradisi dan Budaya di Indonesia?
KOMENTAR