Intisari-Online.com -Mudik merupakan salah satu tradisi yang melekat dalam masyarakat Indonesia, terutama saat menjelang hari raya Idul Fitri.
Setiap tahun, jutaan orang berbondong-bondong pulang ke kampung halaman mereka untuk berkumpul bersama keluarga dan kerabat.
Namun, tahukah Anda bahwa tradisi mudik memiliki sejarah yang panjang dan menarik?
Dalam artikel ini, kita akan membahas bagaimana tradisi mudik berkembang dari zaman kerajaan hingga saat ini.
Kita juga akan melihat bagaimana tradisi mudik sempat menjadi simbol perlawanan terhadap penjajahan dan bagaimana subsidi bahan bakar minyak (BBM) dari pemerintah berpengaruh terhadap lonjakan jumlah pemudik. Selamat membaca!
Sudah Dikenal Sejak 1390
Melansir kompas.com. kata “mudik” berasal dari bahasa Melayu kuno yang berarti “mengalir ke hulu sungai”.
Kata ini ditemukan dalam naskah “Hikayat Raja Pasai” yang ditulis sekitar tahun 1390.
Kata “mudik” kemudian berkembang menjadi istilah yang mengacu pada perjalanan pulang ke kampung halaman, terutama saat hari raya Idul Fitri.
Tradisi mudik di Indonesia tidak lepas dari pengaruh Islam yang masuk ke Nusantara sejak abad ke-13.
Baca Juga: Inilah Tanggal Keramat Arus Mudik Lebaran 2023 yang Wajib Dihindari
Saat itu, banyak pedagang dan ulama dari Timur Tengah yang datang ke Indonesia untuk menyebarkan agama dan berdagang.
Mereka juga membawa budaya untuk pulang ke tanah air mereka saat hari raya Idul Fitri.
Budaya ini kemudian ditiru oleh para penguasa kerajaan Islam di Indonesia, seperti Kerajaan Demak, Mataram, Banten, dan Aceh.
Mereka biasanya pulang ke kampung halaman mereka yang berada di daerah pesisir atau pedalaman untuk merayakan Idul Fitri bersama keluarga dan rakyatnya.
Tradisi ini juga dilakukan oleh para pejabat dan pegawai kerajaan yang bekerja di ibu kota atau daerah lain.
Mereka memanfaatkan cuti hari raya untuk pulang ke kampung halaman mereka dan mengunjungi orang tua dan sanak saudara.
Mereka juga membawa oleh-oleh dan uang untuk keluarga mereka.
Jadi Simbol Perlawanan
Tradisi ini terus berlanjut hingga masa kolonialisme Belanda dan Jepang.
Meskipun ada larangan dan pembatasan dari pihak penjajah, banyak orang Indonesia yang tetap berusaha untuk mudik saat Idul Fitri.
Mereka menganggap mudik sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajahan dan sebagai cara untuk mempertahankan identitas dan budaya mereka.
Baca Juga: Inilah Tanggal yang Bakal Jadi Puncak Arus Mudik Lebaran 2023 Versi Korlantas Polri
Tradisi ini semakin berkembang setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945.
Dengan adanya kemerdekaan, orang Indonesia memiliki kebebasan untuk mudik tanpa takut dihalangi atau diawasi oleh penjajah.
Selain itu, adanya kemajuan teknologi dan infrastruktur juga memudahkan akses transportasi untuk mudik.
Makin Getol Sejak BBM Disubsidi
Tradisi mudik mulai rutin berlangsung di Indonesia sejak tahun 1970-an, ketika pemerintah Orde Baru membangun jalan tol dan jembatan yang mempermudah akses transportasi antar kota.
Selain itu, adanya program transmigrasi juga menyebabkan banyak orang pindah dari Jawa ke daerah lain, sehingga meningkatkan keinginan untuk mudik.
Tradisi mudik semakin massal pada tahun 1980-an, ketika pemerintah memberikan subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan tiket kereta api bagi para pemudik.
Hal ini membuat biaya transportasi menjadi lebih murah dan terjangkau bagi masyarakat.
Selain itu, adanya perkembangan media massa juga membuat masyarakat lebih aware tentang tradisi mudik.
Tradisi mudik mencapai puncaknya pada tahun 1990-an, ketika perekonomian Indonesia mengalami pertumbuhan pesat dan banyak orang merantau ke kota besar untuk mencari pekerjaan dan penghasilan lebih baik.
Mereka merasa perlu untuk pulang ke kampung halaman mereka untuk melepas rindu dan bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah.
Tradisi mudik tetap berlangsung hingga saat ini, meskipun menghadapi berbagai tantangan dan hambatan, seperti kemacetan, kecelakaan, pandemi Covid-19, dan larangan mudik dari pemerintah.
Masyarakat Indonesia tetap menjaga tradisi mudik sebagai salah satu cara untuk menjalin silaturahmi dengan keluarga dan kerabat.
Baca Juga: Ternyata Orang Zaman Majapahit Mudik Bukan Karena Lebaran, Lalu?