Maret 2005, ketika menjadi peneliti tamu pada KITLV Leiden, sejarawan Asvi Marwan Adam diundang ke Stockholm, Swedia, oleh komunitas Indonesia yang menjadi survivor peristiwa 1965. Kisahnya dia tuliskan dalam artikel di bawah ini.
Penulis: Asvi Marwan Adam
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Saat itu, di rumah Tom Iljas tempat saya menginap bersama istri, kami bersua dengan Ali Chanafiah, mantan Duta Besar Indonesia di Srilangka tahun 1964-1966.
Dia tampak sehat, berbicara jernih dan mengungkapkan pikirannya secara teratur. Sama sekali tidak terduga bahwa usianya sudah 88 tahun. Bahkan ketika kemudian dalam jamuan makan malam yang kami hadiri di rumah Kuasa Usaha KBRI Swedia, Pak Ali Chanafiah masih terkesan sebagai "ambassador".
Di Swedia terdapat dua kelompok di luar KBRI yakni pimpinan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dan korban tragedi 1965. Pihak KBRI mengadakan pendekatan dengan komunitas yang terakhir ini dengan mengadakan pertandingan bridge dan kegiatan lain.
Bahkan dalam upacara 17 Agustus di KBRI, mereka yang puluhan tahun terhalang pulang ke tanah air itu diminta membaca teks Pancasila (sungguh pun mereka sudah menyandang kewarganegaraan asing). Walau memiliki paspor negara lain tetapi jiwa mereka masih Indonesia. Hubungan KBRI dengan pihak GAM baru terjalin lebih belakangan setelah proses perdamaian berjalan.
Pasangan pejuang
Istri Ali Chanafiah adalah Salmiah Pane adik dari Sanusi Pane dan Armijn Pane. Siapa yang tidak kenal dua sastrawan Indonesia terkemuka tersebut. Sanusi juga pernah menulis buku Sejarah Indonesia dan terlibat dalam proses lahirnya Sumpah Pemuda 1928. Armijn Pane menulis roman psikologi yang monumental Belenggu.
Salah seorang adik Salmiah Pane adalah Lafran Pane (kemudian menjadi Profesor) yang menjadi pendiri HMI di Yogyakarta pada masa revolusi kemerdekaan. Salmiah Pane bersuamikan seorang aktivis politik yang pernah mewakili PKI di Konstituante, sedangkan adiknya Lafran pendiri organisasi yang pada tahun 1965/1966 sangat gigih menuntut pembubaran PKI.
Dalam buku Perjalanan Jauh (Bandung: Ultimus, 2010) tergambar kisah kehidupan Ali Chanafiah-Salmiah Pane, sepasang suami-istri yang menjadi murid langsung Ki Hajar Dewantara di Taman Siswa.
Sejak 1964 Ali Chanafiah bertugas sebagai Duta Besar di Srilangka. Namun pecahnya G30S menyebabkan keadaan berubah. November 1965 dia pulang ke Jakarta dan dengan perantaraan Joop Ave bertemu dengan Mayor Jenderal Soeharto di markas Kostrad.
Soeharto yang menerimanya dengan santai dalam pakaian piyama menyerahkan fotokopi Pancasila kepada Ali Chanafiah, entah apa maksudnya.
Bulan Mei 1966 Ali dipanggil Menteri Luar Negeri Adam Malik ke Jakarta dan diminta untuk menulis surat pengunduran diri. Karena keadaan di Indonesia sudah tidak aman, sekembalinya di Colombo, Ali Chanafiah meminta suaka kepada Uni Soviet. Caranya bagaikan cerita detektif.
Di suatu pameran ia bertemu Dubes Uni Soviet untuk Srilangka. Ali menanyakan apakah sang Dubes Uni Soviet itu sudah membaca majalah Times karena ada artikel menarik di dalamnya. Sang Dubes menjawab belum dan ia ingin meminjam majalah tersebut.
Di dalam majalah itu terdapat surat suaka yang ditulis Ali dengan tulisan tangan.
Kopor-kopor keluarga Ali dikirim dulu ke Kedutaan Besar Kuba lalu dari sana dibawa ke Kedutaan Uni Soviet, selanjutnya ke lapangan terbang. Ketika berangkat ke bandara, taksi yang mereka tumpangi pecah bannya dan seketika lewat mobil milik diplomat Rusia, sepertinya semua sudah diatur.
Ali kemudian mendapat suaka di Uni Soviet, namun ketika izin tinggalnya habis tahun 1983 ia mencoba pulang ke Indonesia. Namun ditolak sesampainya di Singapura. Ia kemudian memperoleh suaka dari Swedia dan menghabiskan hari tuanya di sana. Dengan paspor Swedia ia berkunjung ke Jakarta tahun 1994. Tahun 2002 ia memperoleh izin menetap lima tahun di Indonesia.
Perjalanan jauh
Tragedi nasional 1965 tidak saja menimpa masyarakat Indonesia di tanah air namun juga ribuan orang yang sedang studi atau menjalankan tugas diplomatik dan misi lainnya di luar negeri.
Sebanyak 570 orang di antaranya adalah mahasiswa ikatan dinas (Mahid) yang dikirim Bung Karno ke berbagai negara sahabat untuk belajar (Cina, Uni Soviet, dan negara-negara Eropa Timur) sejalan dengan politik luar negeri Indonesia saat itu. Mereka dicabut paspornya dan dalam keadaan terpaksa menerima kewarganegaraan di tempat tinggal mereka atau pergi ke negeri lain.
Suaka politik itu diperoleh tidak dengan mudah, sebagian adalah mahasiswa yang belajar di Cina atau Vietnam yang harus berpindah-pindah dulu, seperti ke Uni Soviet atau Eropa Timur, lalu baru terakhir hijrah ke Eropa Barat.
Setelah memperoleh kewarganegaraan baru, mereka biasanya berganti nama seperti wartawan senior Oemar Said (82 tahun) pengelola situs wnarsaid.free.fr – yang memiliki nama Perancis Andr Aumars. Kebanyakan mereka yang pernah belajar di Cina juga memiliki nama samaran.
Pertemuan dengan keluarga biasanya terjadi setelah berpisah belasan atau puluhan tahun. Oemar Said meninggalkan putra bungsunya Budi pada usia setahun, baru berjumpa kembali 17 tahun kemudian di Paris tahun 1983.
Fransisca Fanggidaej (85 tahun), mantan anggota DPRGR, tokoh perempuan asal Pulau Rote yang mewakili Indonesia dalam Konferensi Pemuda Sedunia di Praha, New Delhi, dan Calcutta tahun 1947/1948, kini menetap di Zeist, setengah jam perjalanan dengan bus dari Utrecht. Dia baru bertemu anak-anaknya tahun 2003 di Jakarta setelah berpisah 38 tahun.
Ketika bermukim di Cina ia takut menghubungi keluarganya di Jakarta. Baru pada tahun 1985 pada usia 60 tahun ketika ia memperoleh suaka di Belanda yang pertama dilakukannya adalah menelepon anak-anaknya di tanah air.
Sepanjang tiga dekade pemerintahan Orde Baru mereka dicekal, setelah Soeharto jatuh, baru diperbolehkan pulang. Ketika Abdurrachman Wahid (Gus Dur) menjadi Presiden, komunitas ini cukup mendapat perhatian. Presiden mengirim Menteri Kehakiman Yusril Ihza Mahendra untuk menyelesaikan persoalan ini. Namun tidak ada tindak lanjut yang signifikan.
Hampir seluruh masyarakat eksil ini sudah memiliki kewarganegaraan asing. Konsekuensinya mereka memperoleh jaminan sosial dan kesehatan yang memadai di negara tempat tinggal mereka, terutama di Eropa Barat dan Skandinavia. Bila mereka pada hari tua pindah kembali kewarganegaraan menjadi Indonesia, siapa yang menanggung biaya kesehatan mereka?
Yang mereka butuhkan sebetulnya adalah rehabilitasi nama baik. Selama ini mereka dicap sebagai pendukung percobaan kudeta Gerakan 30 September dan menolak kembali ke Jakarta setelah 1 Oktober 1965 dan oleh karena itu dicabut paspornya. Yang mereka harapkan adalah pengakuan resmi dan pernyataan maaf pemerintah tentang kesalahan rezim yang lalu.
Ali Chanafiah adalah salah seorang Duta Besar yang tinggal di luar Indonesia sejak tahun 1965. Ia terpaksa hijrah ke negeri dingin dan berpenduduk jarang di kawasan yang semakin mengarah menuju Kutub Utara. Perang Dingin dan pilihan politik telah menyebabkan pasangan Ali dan Salmiah, pendidik Taman Siswa, ini merantau jauh dari tanah air. Dan ini berlangsung puluhan tahun pula.
Perjalanan panjang itu tak hanya dalam artian wilayah tetapi juga waktu. Ali Chanafiah meninggal di Jakarta 30 Maret 2007 menyusul istrinya yang telah berpulang 23 Oktober 2002 dan dimakamkan di Bogor.
"Saya ingin mati di Indonesia dan dikuburkan di sebelah makam istri saya," pesan Ali Chanafiah. Mungkin pada akhir hayatnya mereka masih memiliki paspor asing, tetapi jiwa mereka pastilah tetap Indonesia. Kecintaan mereka terhadap Indonesia tidak larut oleh ruang dan waktu setelah menempuh perjalanan jauh, teramat jauh.
Keinginan yang sama diutarakan oleh Soemarsono (89 tahun), pemuda pejuang di Surabaya tahun 1945 serta mantan gubernur militer di Madiun tahun 1948 yang berstatus warga negara Australia dan kini hidup antara Jakarta dan Sidney. Putrinya mengatakan bahwa ayahnya masih ingin mengurus kewarganegaraan Indonesia dan bila meninggal dimakamkan di tanah air.
Menunggu hari
International Institute of Social History (IISH) di Amsterdam telah mengumpulkan bahan sejarah lisan dengan melakukan wawancara dengan 52 orang kiri korban peristiwa 65 yang bermukim di Belanda, Inggris, Perancis, Jerman, Swedia, Tiongkok, dan Vietnam.
Rekaman sebanyak 200 kaset berdurasi masing-masing 1,5 jam itu tersedia di perpustakaan IISH Amsterdam berisi wawancara antara lain dengan Sidik Kertapati, pelukis Basuki Resobowo, sastrawan Sobron Aidit, dan A.M. Hanafi (mantan Dubes RI di Kuba).
Selain itu juga terdapat perpustakaan khusus penerbitan kiri yang mungkin tidak dijumpai lagi di Indonesia pada rumah Sarmadji Sutiyo (86 tahun) di Amsterdam, la juga dengan setia mencatat dan mengumpulkan data kematian para eksil itu sejak tahun 1968. Catatan ini hanya sebagai bukti bahwa mereka yang kini di luar negeri itu tinggal menunggu hari.
Tom Iljas yang bulan April 2010 terbang dari Stockholm ke Jakarta untuk mengikuti Kongres PRD di Salatiga sekaligus menghadiri ulang tahun ibunya yang ke-100 di Pesisir Selatan, Sumatra Barat menceritakan kepada saya bahwa kini komunitas survivor '65 di Swedia" mewajibkan diri mereka masing-masing untuk saling bertelepon minimal sekali dalam seminggu.
Pasalnya, seorang dari mereka, tinggal sendiri pada sebuah rumah dan pada musim salju meninggal tetapi baru ketahuan sebulan setelah berpulang.
Komunitas ini menghabiskan pensiun dengan menulis puisi dan prosa bahkan biografi/memoar seperti Oemar Said, Joseph Tugiyo Taher, Fransisca Fanggidaej, Sobron Aidit, Walujo Sejati (belum terbit), Asahan Aidit, Ali Chanafiah, Soemarsono, Ibrahim Isa (belum terbit). Mereka (seperti ChanCT, putra dari pendiri Baperki Siauw Giok Tjhan aim yang menulis dari Hongkong) aktif di beberapa milis di antaranya pada wahana-news.com,
Beberapa di antaranya mengelola kegiatan budaya "Pasar Malam" di Paris. Ada pula yang pada usia senja masih bertugas sebagai penjaga malam sebuah pabrik (seorang kakek yang saya temui di Belanda menceritakan bahwa tugasnya ringan tetapi membosankan, yaitu sepanjang malam memelototi layar televisi yang memancarkan rekaman CCTV).
Pada 17 Agustus sejak era reformasi, beberapa KBRI sudah membuka pintu bagi kaum eksil dan mengundang mereka berpartisipasi dalam perayaan. Selain itu pada hari peringatan sejarah seperti Kebangkitan Nasional, mereka melakukan acara diskusi. Panitia hanya menyewa gedung, sedangkan makanan yang disediakan harus dibeli oleh para peserta.
Komunitas eksil ini memiliki beberapa perkumpulan di antaranya Yayasan Sapu Lidi yang didirikan Mintardjo (ayahnya menjadi residen tatkala meletus Peristiwa Tiga Daerah di Jawa Tengah pascaproklamasi) dan Marek Ave di Belanda. Secara rutin mereka melakukan diskusi di rumah Mintardjo di Leiden dengan mahasiswa Indonesia yang belajar di sana atau para pengamat yang kebetulan singgah ke Eropa.
Acara itu "ramai dan enak" karena Pak Min terkenal dengan masakan sup buntutnya. Di Swedia kelompok yang semasa Orde Baru terhalang pulang ini membeli sebuah kebun buah-buahan, sambil memetiknya mereka bisa santai dengan keluarga pada masa liburan musim panas. Namun acara yang tidak dilewatkan mereka tentulah penghormatan terakhir kepada rekan yang mendahului, biasanya datang dari berbagai negara di Eropa ke rumah duka, tempat misa atau kremasi.