Orang-Orang Buangan di Balik Peristiwa G30S PKI

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Sejarah Operasi Trisula, ketika TNI mati-matian menumpas sisa-sisa PKI yang diduga terlibat G30S di Blitar Selatan.
Sejarah Operasi Trisula, ketika TNI mati-matian menumpas sisa-sisa PKI yang diduga terlibat G30S di Blitar Selatan.

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-online.com - "Sejarah adalah guru kehidupan," demikian pepatah bijak mengingatkan kita. Namun, terkadang, sejarah juga menyimpan luka yang tak kunjung sembuh, rahasia yang terpendam dalam lapisan waktu.

Peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S PKI) adalah salah satu episode kelam dalam sejarah Indonesia, yang menyisakan duka mendalam bagi bangsa ini.

Di balik tragedi tersebut, tersembunyi pula kisah pilu tentang pembuangan warga Indonesia ke pulau-pulau terpencil, jauh dari sanak saudara, jauh dari kehidupan yang mereka kenal.

Dalam artikel ini, kita akan menyelami kisah-kisah mereka yang terasingkan, para eksil yang menanggung beban sejarah.

Pulau Buru: Penjara Alam bagi Orang-Orang Terbuang

Pulau Buru, sebuah pulau di Maluku yang dikenal akan keindahan alamnya, berubah menjadi penjara alam bagi ribuan orang yang dituduh terlibat dalam G30S PKI. Mereka diasingkan ke sana tanpa proses pengadilan yang adil, hidup dalam kondisi serba kekurangan, terputus dari dunia luar.

"Kami seperti hantu yang hidup di antara pepohonan," kenang seorang eksil Pulau Buru.

“Kami bekerja keras membuka lahan, membangun rumah, dan menanam padi, hanya untuk bertahan hidup. Rindu kampung halaman selalu menghantui, namun kami tak tahu kapan bisa kembali."

Di antara mereka yang dibuang ke Pulau Buru terdapat seniman, sastrawan, dan intelektual ternama, seperti Pramoedya Ananta Toer, seorang penulis legendaris Indonesia.

Di tengah penderitaan dan keterasingan, Pramoedya tetap berkarya, menulis novel-novel epik yang menggugah dunia, seperti “Bumi Manusia” dan “Anak Semua Bangsa”.

"Pulau Buru adalah universitas kehidupan bagi saya," Pramoedya pernah berkata.

"Di sana, saya belajar tentang arti kebebasan, tentang kekuatan manusia untuk bertahan, dan tentang pentingnya melawan ketidakadilan."

Selain Pulau Buru, terdapat pula pulau-pulau lain yang menjadi tempat pembuangan bagi orang-orang yang dituduh terlibat dalam G30S PKI. Pulau Nusakambangan, sebuah pulau di lepas pantai selatan Jawa Tengah, juga menjadi saksi bisu penderitaan para eksil.

Mereka dipaksa hidup dalam kamp-kamp pengasingan yang keras, di bawah pengawasan ketat aparat keamanan.

Seorang eksil Nusakambangan mengenang, “Setiap hari adalah perjuangan untuk bertahan hidup. Kami bekerja keras di perkebunan, membangun jalan, dan melakukan pekerjaan berat lainnya. Makanan yang kami terima sangat terbatas, dan penyakit sering menyerang. Namun, semangat kami tak pernah padam. Kami saling menguatkan, berbagi cerita, dan berharap suatu hari bisa kembali ke rumah."

Kisah pilu juga datang dari Pulau Waigeo, sebuah pulau di Papua Barat. Di sana, para eksil hidup dalam kondisi yang sangat memprihatinkan.

Mereka terisolasi dari dunia luar, kekurangan makanan dan obat-obatan, dan menghadapi ancaman penyakit malaria.

"Kami seperti terlupakan oleh waktu," ungkap seorang eksil Waigeo.

"Kami hidup dalam ketidakpastian, tak tahu apa yang akan terjadi pada kami. Namun, kami tetap berjuang, tetap berharap, dan tetap percaya bahwa suatu hari keadilan akan ditegakkan," jelasnya.

Meski hidup dalam pengasingan, para eksil tak pernah menyerah untuk memperjuangkan kebenaran. Mereka membentuk komunitas, saling mendukung, dan berbagi informasi tentang apa yang sebenarnya terjadi pada peristiwa G30S PKI.

Beberapa eksil berhasil melarikan diri dari pulau-pulau pengasingan dan mencari suaka di negara-negara lain. Di sana, mereka terus menyuarakan kebenaran, mengungkap pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia, dan menuntut keadilan bagi para korban G30S PKI.

Salah satu tokoh eksil yang gigih memperjuangkan kebenaran adalah Soe Hok Gie, seorang aktivis mahasiswa yang kritis terhadap pemerintahan Orde Baru. Soe Hok Gie melarikan diri ke Belanda dan aktif menulis artikel serta memberikan ceramah tentang pelanggaran HAM di Indonesia.

"Saya tidak bisa tinggal diam melihat ketidakadilan," Soe Hok Gie pernah berkata.

"Saya harus terus berjuang, meski dari jauh, untuk menegakkan kebenaran dan keadilan di tanah air saya," katanya.

Kisah-kisah para eksil G30S PKI adalah pengingat akan pentingnya menghargai hak asasi manusia, menegakkan keadilan, dan menolak segala bentuk kekerasan. Mereka adalah korban sejarah yang tak boleh dilupakan, yang perjuangannya harus terus dikenang dan dihormati.

Semoga artikel ini dapat membuka mata kita tentang penderitaan yang dialami oleh para eksil G30S PKI. Mari kita belajar dari masa lalu, agar kesalahan sejarah tak terulang kembali. Mari kita bersama-sama membangun Indonesia yang lebih adil, lebih manusiawi, dan lebih bermartabat.

Sumber:

Toer, Pramoedya Ananta. Bumi Manusia. Lentera Dipantara, 2005.

Toer, Pramoedya Ananta. Anak Semua Bangsa. Lentera Dipantara, 2006.

Gie, Soe Hok. Catatan Seorang Demonstran. LP3ES, 1983.

Roosa, John. Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto. Institut Sejarah Sosial Indonesia, 2006.

Cribb, Robert. The Indonesian Killings 1965-1966: Studies from Java and Bali. Monash University Centre of Southeast Asian Studies, 1990.

*

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Artikel Terkait