Pengakuan CIA Minta Daftar Anggota PKI Untuk Dihabisi

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Sejarah PKI
Sejarah PKI

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-online.com - Di bawah langit malam yang gelap, awan-awan kelabu berarak perlahan, seakan membawa beban sejarah yang berat.

Di tengah keheningan yang mencekam, suara-suara masa lalu mulai berbisik, mengungkap rahasia kelam yang terkubur selama puluhan tahun.

“Kami telah memberikan daftar anggota PKI kepada militer Indonesia.”

Kalimat singkat itu, diucapkan dengan nada datar oleh Robert J. Martens, seorang mantan pejabat CIA, mengguncang dunia.

Pengakuannya, yang terungkap dalam sebuah wawancara dengan wartawan investigasi Kathy Kadane pada tahun 1990, membuka kembali luka lama bangsa Indonesia. Luka yang menganga sejak peristiwa berdarah 1965, ketika ratusan ribu orang, yang dituduh sebagai anggota atau simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI), dibantai secara brutal.

Martens, yang saat itu menjabat sebagai konsul politik di Kedutaan Besar AS di Jakarta, mengaku bahwa CIA telah memberikan daftar nama-nama anggota PKI kepada militer Indonesia.

Daftar itu, katanya, disusun berdasarkan informasi yang dikumpulkan oleh CIA selama bertahun-tahun. Informasi itu diperoleh dari berbagai sumber, termasuk agen-agen rahasia, pembelot, dan dokumen-dokumen yang disita.

Pengakuan Martens ini bukanlah yang pertama. Sebelumnya, beberapa pejabat AS lainnya, termasuk mantan Duta Besar AS untuk Indonesia Marshall Green, juga pernah mengisyaratkan keterlibatan CIA dalam peristiwa 1965.

Namun, pengakuan Martens ini lebih eksplisit dan detail. Ia bahkan menyebutkan bahwa daftar yang diberikan kepada militer Indonesia berisi sekitar 5.000 nama.

“Saya tidak tahu apa yang mereka lakukan dengan daftar itu,” kata Martens. “Tapi saya tahu bahwa banyak orang yang namanya ada di daftar itu kemudian dibunuh.”

Pengakuan Martens ini memicu kontroversi besar. Di Indonesia, banyak orang yang merasa marah dan terluka. Mereka merasa bahwa AS telah berkhianat dan ikut bertanggung jawab atas tragedi kemanusiaan 1965.

Di AS, beberapa pihak mencoba membela CIA. Mereka berdalih bahwa CIA hanya memberikan informasi kepada militer Indonesia, dan tidak terlibat langsung dalam pembunuhan.

Namun, bantahan tersebut sulit diterima. Fakta sejarah menunjukkan bahwa AS memiliki kepentingan besar untuk menghancurkan PKI, yang saat itu merupakan salah satu partai komunis terbesar di dunia.

AS khawatir bahwa PKI akan membawa Indonesia ke dalam pengaruh Uni Soviet, yang merupakan musuh bebuyutan AS dalam Perang Dingin.

Oleh karena itu, AS melakukan berbagai upaya untuk melemahkan PKI, termasuk memberikan dukungan finansial dan militer kepada kelompok-kelompok anti-komunis di Indonesia. AS juga melakukan propaganda hitam untuk mendiskreditkan PKI.

Puncak dari upaya AS untuk menghancurkan PKI adalah peristiwa 30 September 1965, yang dikenal sebagai Gerakan 30 September (G30S).

Dalam peristiwa ini, sekelompok perwira militer yang diduga terkait dengan PKI menculik dan membunuh enam jenderal Angkatan Darat. Peristiwa ini kemudian dijadikan alasan oleh militer untuk melancarkan kudeta dan membubarkan PKI.

Setelah kudeta, militer melakukan pembantaian massal terhadap orang-orang yang dituduh sebagai anggota atau simpatisan PKI. Pembantaian ini berlangsung selama beberapa bulan dan menewaskan ratusan ribu orang.

Banyak korban yang dibunuh tanpa melalui proses pengadilan. Mereka ditangkap, disiksa, dan dibunuh secara brutal.

Pembantaian 1965 merupakan salah satu tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah Indonesia. Tragedi ini meninggalkan luka mendalam bagi bangsa Indonesia.

Sampai saat ini, banyak keluarga korban yang masih mencari keadilan. Mereka menuntut agar pemerintah Indonesia mengungkap kebenaran tentang peristiwa 1965 dan mengadili para pelaku.

Pengakuan Martens tentang keterlibatan CIA dalam peristiwa 1965 semakin memperkuat tuntutan tersebut. Pengakuan ini menunjukkan bahwa AS memiliki peran yang sangat besar dalam tragedi kemanusiaan tersebut. Oleh karena itu, AS juga harus bertanggung jawab atas tragedi tersebut.

Namun, sampai saat ini, AS belum pernah secara resmi mengakui keterlibatannya dalam peristiwa 1965. AS juga belum pernah meminta maaf kepada bangsa Indonesia atas tragedi tersebut. Hal ini tentu saja sangat mengecewakan.

Bangsa Indonesia berhak mengetahui kebenaran tentang peristiwa 1965. Bangsa Indonesia juga berhak mendapatkan keadilan.

Sumber : The Washington Post, CIA: We Gave Indonesia Names of Communists, 21 Mei 1990.

“Luka sejarah mungkin bisa sembuh, tapi bekasnya akan selalu ada. Kita harus belajar dari masa lalu agar tidak mengulang kesalahan yang sama di masa depan.”

— Pramoedya Ananta Toer

*

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Artikel Terkait