[ARSIP Intisari]
Meski dulu sempat mengalami masa-masa sulit, perempuan-perempuan itu kini mencoba untuk merangkai bahagia dengan cara mereka sendiri. Di sebuah panti jompo sederhana, perempuan-perempuan tua ini menjalani hari-harinya dengan tawa dan keceriaan.
Penulis: Habib Asyhad, untuk Majalah Intisari September 2014
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Panti Jompo Waluyo Sejati Abadi yang terletak di Jalan Kramat V, Jakarta Pusat, itu, tampak lengang. Sepi dan tenang. Sesekali ada gemericik air tapi bukan dari pancuran melainkan dari aliran air yang ada di selokan persis di depannya.
Bangunan yang didominasi warna putih itu merupakan sebuah rumah kecil berlantai dua. Tidak lebar, ukurannya hanya 10x10 m2. Sebagai penanda, sebuah papan nama, yang juga berwarna putih dengan tulisan yang sudah mulai mengelupas dan nomor telepon yang sudah tidak aktif, terletak persis di depannya.
Papan itu akan semakin tersembunyi jika pohon mangga yang ada di sampingnya mulai rimbun dan berbuah.
Halaman panti juga tidak luas, sekitar 2x2 m2 saja , sangat tidak cukup untuk bermain gobak sodor. Ada dua kursi plastik di teras, yang letaknya bersebelahan dengan prasasti peresmian panti jompo, yang sewaktu-waktu digunakan untuk membaca koran ketika sore datang.
Awalnya ada 15 orang yang menghuni panti jompo itu. Semuanya adalah eks tahanan politik buntut gonjang-ganjing peristiwa berdarah yang terjadi pada pertengahan 1965 (Gerakan 30 September 1965). Panti jompo yang diresmikan pada 8 Februari 2004 itu terakhir kami kunjungi pada 2014 hanya dihuni oleh 10 orang, lima kakek, lima nenek.
Meskipun mereka sudah keriput dan tidak lincah lagi, paling tidak di masanya, para penghuni panti jompo itu adalah orang-orang penting di instansi atau organisasi yang pernah mereka ikuti. Lestari salah satunya (meninggal pada pengujung 2014). Nenek 83 tahun itu adalah mantan ketua Gerwani Jawa Timur sejak tahun 1961. Buntut dari geger 1965, Lestari harus mendekam di penjara Malang selama sebelas tahun.
Masih peduli dengan nasib perempuan
Terlepas dari stigma negatif masyarakat mengenai organisasi yang dia ikuti, Lestari adalah sosok yang bersemangat memperjuangkan hak-hak perempuan. Dia juga begitu getol memperjuangkan nasib buruh dan petani yang memang menjadi fokus organisasi Gerwani.
Semangat terhadap perjuangan perempuan bahkan masih tersisa hingga sekarang. “Dibelikan kalung saja sudah senang. Satu hal yang harus disadari kaum ibu, meski cantik, jika ada kesempatan, bukan tidak mungkin suaminya ingin beristri lagi,” ujar perempuan yang ayahnya berpoligami itu, terkekeh.
Pujiati, (pada 2014 berusia 80 tahun), juga masih terlihat energik. Perempuan kelahiran Purworejo yang pernah mendekam di penjara selama 14 tahun itu selalu teliti memeriksa tiap surat masuk yang dialamatkan ke Panti Jompo Waluyo Sejati Abadi.
Jika surat tidak sesuai ketentuan, perempuan yang pernah aktif di serikat buruh sebuah korporasi besar dunia itu tak segan-segan mengembalikannya kepada si pengirim lantas menyuruhnya datang lagi lain waktu.
“Kami tahu, sebagai wartawan Mas membutuhkan informasi. Tapi di sini (panti jompo - Red.) juga ada aturannya,” ujar Pujiati ketika menolak surat permohonan wawancara pertama dari Intisari gara-gara salah sasaran.
Di antara para penghuni panti jompo, Pujiati tampak yang paling tegas. Saat Intisari berkunjung ke sana untuk ke sekian kalinya, mantan ketua RW itu beberapa kali mengingatkan bahwa jam berkunjung atau wawancara ada batasnya. Selain karena itu sudah ketentuan pengurus panti, nenek-nenek tersebut juga membutuhkan waktu istirahat.
[...]
Saban harinya, Pujiati lebih senang berkutat dengan satu-satunya mesin jahit yang ada di panti itu, yang letaknya persis di bagian paling belakang ruangan utama. Jika tidak, dia akan berada di kamarnya yang berada di bagian depan, dekat pintu masuk, melakukan kegiatan yang menjadi kegemarannya.
Lain dengan Pujiati dan Lestari yang lebih banyak berdiam di panti karena sudah sangat uzur, Sri Sulistiawati, (pada 2014 berusia 74 tahun), masih sering wira-wiri ke berbagai acara, baik sebagai pembicara maupun sebagai undangan. Dengan kaki yang sudah tidak kokoh lagi akibat siksaan di penjara, Sri termasuk yang paling mobil di antara para penghuni panti.
Meski paling muda, dengan jaringan kerja yang dimilikinya, Sri sering “dituakan” atau dimintai pertimbangan ketika ada kunjungan-kunjungan.
Dari penuturannya, eks penghuni penjara perempuan Bukit Duri, Jakarta, itu kerap diundang Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) atau mengikuti kegiatan Kamisan di depan istana presiden saban Kamis sore yang digagas oleh Suciwati, istri mendiang Munir.
Sebelum gonjang-ganjing di ujung September 1965 terjadi, perempuan berkacamata itu adalah wartawan Harian Ekonomi Indonesia khusus peliput istana; tak heran jika link-nya kuat.
Sri juga beberapa kali diajak rombongan safari kementerian di masa Orde Lama, misalnya rombongan Safari Dwikora yang dipimpin oleh Dr. Subandrio, Wakil Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri Indonesia waktu itu, ke Sumatera, pertengahan September 1965.
Sebagai wartawan, Sri memiliki trik khusus dalam liputan supaya beritanya tidak sama dengan koran-koran lain sezamannya. Dia akan datang pagi-pagi sekali ketika Presiden masih sibuk dengan aktivitas nyiram tanaman dan ngeteh. “Berita saya lebih segar dan baru,” tegas Sri.
Dari kebiasaannya itulah, suatu hari Sri mendapatkan pernyataan mengejutkan dari Presiden RI waktu itu, Bung Karno, sesaat sebelum benar-benar lengser. Menirukan apa yang dikatakan Bung Karno, Sri mengatakan, “beliau merasa sudah tidak sanggup lagi memimpin negara.”
-------------------------------------------------------------
BOKS
Tertangkap di Blitar Selatan
Kebanyakan penghuni Panti Jompo Waluyo Sejati Abadi adalah tahanan politik yang ditangkap di Blitar Selatan pada 1968 oleh satuan Linud 18 dalam Operasi Trisula. Sri Sulistiawati pagi buta ditangkap ketika hendak berangkat ke pasar. Seperti pagi-pagi sebelumnya, sebelum ke pasar ia selalu menyeduh kopi terlebih dahulu. Saat itulah tiba-tiba terdengar suara tembakan.
Lestari ditangkap belakangan di persembunyiannya di daerah berbukit tepi pantai Blitar Selatan. Dalam penyergapan itu, Lestari harus kehilangan putranya. Suami Lestari yang juga tertangkap pada operasi tersebut, akhirnya dijatuhi hukuman mati di Surabaya.
Pernah Makan Nasi Campur Beling
Setelah ditangkap, Sri Sulistiawati dijebloskan ke penjara perempuan di Malang. Setelah melewati berbagai proses, tidak lama setelah itu ia akhirnya ditempatkan di penjara perempuan Bukit Duri, Jakarta.
Di tempat baru itu tidak ada lagi siksaan, tapi bukan berarti nasib Sri lebih baik; ia merasa, para tahanan seolah dibiarkan mati perlahan-lahan. Nasi yang disajikan bercampur beling, sehingga sebelum makan, para tahanan harus memilah antara nasi dan beling. Sedikit saja tidak teliti, maka beling-beling itu akan tergelontor masuk ke lambung bersama nasi.
Kabar baik datang ketika ada umat sebuah gereja datang rutin melakukan pembinaan. Kesempatan ini dimanfaatkan dengan baik oleh para tahanan untuk meminta makanan yang lebih layak kepada gereja.
Gayung bersambut, saban dua minggu ketika umat gereja tersebut datang melakukan pembinaan, para tahanan pun bisa mendapat asupan makanan yang lebih layak.
-------------------------------------------------------------
Kesempatan bertemu anak
Satu hal yang begitu disesalkan oleh para penghuni Panti Jompo Waluyo Sejati Abadi adalah “terpaksa” terpisah dari keluarga. Bahkan ada beberapa yang keluarganya sudah tidak berbekas. Saat menjadi buronan, Sri meninggalkan seorang anak yang masih sangat kecil bernama Erianto (nama tersebut pemberian Bung Karno).
Untungnya, Sri memiliki keluarga yang selalu mendukungnya. Erianto, dia titipkan kepada salah satu saudaranya. Di sana Erianto tumbuh dan berkembang. Setelah bebas dari penjara, Sri beberapa kali berkesempatan bertemu dengan putranya yang kini sudah berkeluarga itu.
Meski tak tinggal satu rumah, bagi Sri, bisa bersua dengan anak yang statusnya saat ini adalah “anak angkat” itu—karena menurut catatan militer Sri sudah tidak punya anak—adalah kebahagiaan yang tak terkira.
Nasib sedikit tragis dialami oleh Lestari. Dari pernikahannya dengan Suwandi, seorang tokoh partai besar di Jawa Timur waktu itu, Lestari dikaruniai dua orang anak, laki-laki dan perempuan. Kedua anaknya itu dibawa dalam pelariannya ke Blitar Selatan, tempat terakhir Sri sebelum resmi menjadi tahanan.
Tapi sayang, dalam sebuah penggerebekan, anak bungsunya tewas, sementara si sulung terpisah entah ke mana. Setelah beberapa tahun tidak diketahui rimbanya, Lestari akhirnya tahu bahwa anaknya diasuh oleh seseorang tidak jauh dari lokasi di mana ia ditangkap. “Genduk sekarang sudah jadi guru di Blitar,” ungkapnya.
Sehat dan ceria dengan kunjungan-kunjungan
Meski sudah tidak selincah dahulu, bukan berarti nenek-nenek penghuni Panti Jompo Waluyo Setia Abadi miskin kegiatan. Seperti laiknya nenek-nenek lainnya, para penghuni tersebut pergi ke pasar setiap pagi untuk membeli kebutuhan sehari-hari.
Selain itu, mereka masih menyempatkan membaca koran setiap pagi dan sore dan mengikuti berbagai program televisi. Tidak jarang juga bau-bau aktivisnya muncul kembali, misalnya terlibat dalam acara-acara diskusi, konferensi, dan juga pameran.
Beberapa kali ada kunjungan dari instansi baik swasta maupun pemerintah ke panti tersebut. Juga mahasiswa-mahasiswa yang tengah disibukkan dengan tugas penelitian atau wartawan yang sedang dikejar tenggat.
Menurut pengakuan Lestari, kegiatan-kegiatan inilah yang membuat mereka, para penghuni panti, tetap sehat dan bugar. “Tamu-tamu yang datang selalu membuat kami ceria dan tetap sehat,” kata Lestari.
Jika ada waktu, di pagi hari Lestari biasanya jalan pagi berkeliling kompleks. Patokannya adalah gereja di sebelah selatan panti dan Jalan Salemba di sebelah utara. Biasanya ia bolak-balik beberapa putaran. "Kami sudah hidup bahagia di sini, hanya satu yang masih kami perjuangkan: rehabilitasi nama," ujar Sri Sulistiawati tegas.
Sekali aktivis, tetap aktivis!