Advertorial

Dari Salah Sebut Sandi Hingga Salah Dengar Dikira Gerwani; Kisah-kisah Lucu dan Menegangkan di Sela-sela Kemuraman Pengkhianatan G30S

K. Tatik Wardayati

Editor

Ada kisah-kisah lucu dan menegangkan di sela-sela kemuraman pengkhianatan Gerakan 30 September, dari salah sebut sandi hingga salah dengar.
Ada kisah-kisah lucu dan menegangkan di sela-sela kemuraman pengkhianatan Gerakan 30 September, dari salah sebut sandi hingga salah dengar.

Intisari-Online.com – Setelah beberapa tahun sejak 1998 film Gerakan 30 September tidak pernah diputar di televisi, kini kembali ditayangkan.

Bagaimana pun, peristiwa yang terjadi 55 tahun lalu, tepatnya 30 September 1965 adalah masa suram bagi bangsa Indonesia.

Banyak kejadian yang tidak mengenakkan bahkan menyedihkan bagi bangsa Indonesia.

Namun, di balik peristiwa pengkhianatan Gerakan 30 September 1965, ada kisah-kisah lucu dan menegangkan yang terjadi.

Baca Juga: Fakta-fakta Film Propaganda G30S, Biaya Produksi Termahal di Masanya hingga Beberapa Adegan Tuai Perdebatan: 'Horor Paripurna'

Kisah-kisah tersebut yang mungkin tak lagi diingat oleh orang dikumpulkan dari Kompas dan Sinar Harapan terbitan waktu itu.

Sekadar informasi, tulisan ini pernah dimuat di Majalah Intisari edisi September 1990, 25 tahun setelah tragedi berdarah itu terjadi.

Sana Makan!

Tidak selalu ABRI menggunakan senjata untuk menaklukkan musuh.

Baca Juga: September Berdarah: di Balik G30S 1965, Beragam Versi Dalang Peristiwa, PKI, CIA, Soeharto atau Soekarno?

Misalnya saja ketika mereka berusaha merebut kembali RRI Semarang yang waktu itu sempat diduduki komplotan Gestapu.

Sementara RRI mengumandangkan siaran-siaran yang disponsori PKI, salah seorang penjaga bersenjata di luar gedung RRI sudah mulai lesu.

Seorang anggota ABRI mendekatinya, lalu menegur, "Bertugas, Bung?"

“Ya," jawabnya.

"Sudah makan?"

"Belum."

"Sana makan dulu di belakang. Kumpulkan dan ajak kawan-kawan yang lain."

Si penjaga langsung beranjak dengan mengajak kawan-kawannya.

Pada saat itu juga kesatuan ABRI segera menyergap dan berhasil melucuti senjata mereka tanpa mendapat perlawanan sedikit pun.

Baca Juga: Film G30S/PKI Sedang Diputar di Televisi Nasional, Bolehkah Anak-anak Menontonnya? Begini Pendapat dari KPAI

Studio RRI Semarang berhasil direbut kembali. (Sinar Harapan, Minggu, 17 Oktober 1965)

Haus

Taktik memang kadang-kadang lebih ampuh daripada perlawanan langsung.

Misalnya saja ketika Brigjen Surjo Sumpeno yang waktu itu Pangdam VII Diponegoro didatangi seorang kapten yang berkata, "Jenderal, mulai sekarang, Jenderal ditahan."

"Tahan boleh saja, tapi saya haus. Coba, tolong ambilkan teh dulu," sahutnya.

Maka pergilah si kapten mencari teh dan Brigjen Surjo Sumpeno memanfaatkan kesempatan itu untuk meloloskan diri.

Beberapa waktu kemudian sebuah batalyon dan pasukan taruna AMN (sekarang AKABRI) di bawah pimpinan sang brigjen bergerak membebaskan Yogya dan kemudian Solo. (Kompas, Selasa, 12 Oktober 1965)

Gara-gara Knalpot

Sebuah truk melewati istana kepresidenan di Cipanas.

Baca Juga: Kesaksian Mengerikan Personel KKO AL Saat Angkat 7 Jenazah Perwira Tinggi TNI AD Korban G30S di Sumur Lubang Buaya, Jasad Jenderal Ahmad Yani Paling Mengenaskan

Satuan Cakrabirawa yang bertugas menjaga istana mengira mendengar tembakan.

Mereka membalas sambil tak lupa memadamkan penerangan di istana.

Satuan-satuan angkatan darat yang bertugas mengawasi istana tersebut agaknya mengira tembakan itu diarahkan kepada mereka.

Maka mereka pun membalas menembak ke istana.

Untunglah beberapa anggota satuan AD berinisiatif merangkak mendekat ke istana untuk menanyakan duduk perkaranya.

Siapa sangka yang semula dikira tembakan oleh pasukan Cakrabirawa adalah letupan-letupan knalpot bocor dari truk yang tadi lewat. (Kompas, Selasa, 26 Oktober 1965)

Grogi

Jam malam ternyata kurang cocok untuk orang-orang yang gampang grogi.

Ini dialami oleh seorang petugas (tidak disebutkan petugas apa) ketika ia melewati pos penjagaan.

Baca Juga: G30S, Dugaan Kudeta Merangkak Mayjend Soeharto dan Pembangkangan Perintah Soekarno, Apakah Bung Karno Tahu Apa yang Terjadi?

"Batu," penjaga yang bersenjatakan bedil menyapanya.

Si petugas sadar betul bahwa ia harus menyahut dengan kata sandi tertentu.

Tapi apa, ya? Padahal ia tak mempunyai pas malam. Keringat dingin mulai mengucur.

"Batu," penjaga berteriak.

Ia belum juga ingat.

Penjaga memberinya kesempatan satu kali lagi dengan meneriakkan, "Batu!"

Si penjaga nekat saja menjawab, "Genteng."

Kontan ia diciduk, karena yang betul hanya huruf awalnya saja. Kata sandi yang harus diucapkannya malam itu adalah, "Gading".

Syukurlah, usut punya usut, akhirnya ia dibebaskan juga.

Baca Juga: Awalnya Mempunyai Jabatan Penting Sebagai Pasukan Elite Pengawal Presiden, Anggota Cakrabirawa Justru Sampai Diburu oleh TNI AD Sampai Lari ke Negara Ini dan Pilih Ganti Profesi Ini

Masalah semacam inilah yang membuat petugas-petugas malam yang gampang grogi membuat contekan di telapak tangannya.

Memang kerahasiaannya jadi berkurang, tapi apa boleh buat? (Sinar Harapan, Jumat, 22 Oktober 1965)

Terlalu Bersemangat?

Lain lagi yang terjadi di lingkungan media.

Entah karena begitu bersemangat dalam suasana mengganyang Gerakan 30 September, sebuah surat kabar memasang iklan ucapan selamat atas pengangkatan Pak Harto yang waktu itu panglima Kostrad menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat.

Dengan huruf-huruf yang mencolok terpampang di iklan itu bahwa Mayjen Soeharto diangkat menjadi Menteri Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno ....

Tentu saja wartawan surat kabar ybs. menjadi cukup sibuk meminta maaf ketika iklan itu disodorkan kepadanya oleh kepala perwira penerangan Kostrad saat itu. (Kompas, Sabtu, 23 Oktober 1965)

Kejutan

Pagi-pagi buta tanggal 23 Oktober 1965 sebuah truk yang mengangkut beberapa orang pemuda merayapi salah satu jalan di Sala.

Baca Juga: Bak di Lubang Buaya saat G30S, Bekas Lubang Tambang Emas di Venezuela Dipenuhi Jasad para Penambang yang Dibuang Begitu Saja oleh Geng Kriminal yang Memerlakukan Mereka Secara Keji

Para pemuda itu berseru, "Bantuan ... bantuan ... Kampung Madu (bukan nama sebenarnya) diserang ... ayo bantuan ...!"

Dalam sekejap berjubel-jubellah truk itu dengan orang-orang yang ingin memberikan bantuan kepada kampung yang dikenal simpatisan G30S dan ketika itu sedang dilanda kaum demonstran.

Di sebuah tanjakan di Jl. Sorogenen terjadi kejutan. Beberapa prajurit baret merah muncul.

"Angkat tangan semua!" perintah anggota RPKAD tersebut.

Dengan saling berpandangan terpaksalah mereka patuh digiring ke hotel perdeo. Mau nolong malah ketodong. (Kompas, Jumat 3 Desember 1965)

Pisaunya Terhunus

Suatu malam di Ponorogo, pada pukul 20.00, 22 November 1965, seorang pemuda berusia sekitar 20 tahun berjalan sendiri melewati jalanan yang gelap.

Mendadak ia merasa dibuntuti. Ketika menengok ke belakang dilihatnya dua orang wanita makin lama makin mendekat. Hatinya mulai ciut.

Maklumlah, di masa itu cerita-cerita mengenai kekejaman anggota Gerwani cukup bikin bulu kuduk berdiri.

Baca Juga: 'Operation Jakarta', Saat CIA (Kembali) Gulingkan Pemerintahan Sebuah Negara di Amerika Selatan dengan 'Mencontek' Peristiwa G30S

Apalagi ketika ditengoknya lagi, nampak kedua wanita itu membawa pisau terhunus! Ia mempercepat jalannya sampai tersandung-sandung.

Entah bagaimana, rupanya tersusul juga pemuda ini oleh kedua ibu, sehingga akhirnya ia menyapa mereka,

“Ya Allah, Buu ..., sampai saya tersandung-sandung. Mau ke mana?"

"Mau rewang. Membantu memasak di rumah yang terang itu!"

"Saya kira .... Mari Bu, selamat malam!"

Salah seorang ibu kebetulan istri koresponden Kompas. (Kompas, Sabtu 4 Desember 1965)

Garwane?

Bu Sastrosularno sedang sendirian ketika pasukan tentara dari Batalyon G mengadakan gerakan pembersihan di daerah Nusukan - Prawit, Sala.

Mereka melihat setumpukan buletin di atas meja. Salah satu buletin bertuliskan "G.S."

Baca Juga: Untuk Sembuhkan Trauma Atas Peristiwa G30S, Putri Jenderal Achmad Yani Pindah ke Desa Selama Lebih dari 20 Tahun, 'Saya Banyak Bergaul dengan Petani'

Karena sedang menumpas G30S, tak heran mereka menaruh perhatian khusus dan menanyakan artinya.

"Anu, Pak ...," Bu Sastro gelagapan. "G artinya Gotong-Royong, S artinya ...," ia terhenti. Mulutnya cuma komat-kamit.

Para anggota Yon G kontan curiga.

"Sudah, terus terang saja."

Bu Sastro semakin gugup. Kepanjangan dari huruf "S" itu benar-benar hilang dari ingatannya.

Untunglah seorang anak angkatnya muncul dan segera menyela bahwa "S" adalah singkatan dari "subur".

Mendengar jawaban si anak, petugas dengan wajah agak lega bertanya lagi, "Siapa pemilik buletin-buletin ini?"

"Suami saya, Pak Sastrosularno."

Mungkin sekadar untuk meyakinkan dirinya si petugas bertanya lagi, "Ibu Gerwani, ya?"

Baca Juga: Titik Balik Penting 'Peristiwa Berdarah G30S' Banyak Dianggap Tergambar dari Keputusan Soekarno saat di Halim Ini hingga Membuat Brigjen Supardjo Lesu dan Kecewa

"Inggih (ya), Pak," sahut si ibu mantap!

"Apa? Jadi ibu adalah anggota Gerwani? Ayo, ikut ...!" bentak si petugas.

"Maaf, Pak. Saya bukan anggota Gerwani. Saya kira Bapak bertanya 'Garwane? (Istrinya?), maka saya iyakan. Saya bukan Gerwani. Saya garwane Pak Sastro yang menjadi pegawai Sekolah ‘Warga’ itu.” (Kompas, Kamis 9 Desember 1965)

Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari

Artikel Terkait