Penulis
Intisari-Online.com - Tanggal 30 September merupakan hari bersejarah bagi Indonesia.
30 September juga dikenal sebagai aksi pembantaian para perwira tinggi Republik ini, oleh Partai Komunis Indonesia.
Banyak cerita tersaji dibalik gerakan yang dikenal dengan sebutan G30S.
Diantaranya, cerita kemarahan Soekarno atas pembankangan yang dilakukan Mayjend Soeharto, yang kemudian menggantikannya sebagai Presiden Republik Indonesia.
Soeharto berperan besar dalam penumpasan G/30/S.
Namun, bukannya senang, Soekarno malah kecewa dan marah besar pada Soeharto karena beberapa alasan tertentu.
Pada 1 Oktober 1965, Jakarta tengah dicekam aksi G/30/S, sekitar pukul 09.00 WIB, para pengawal membawa Soekarno ke Lanud Halim Perdanakusuma Jakarta Timur.
Dilansir dari buku Sewindu Dekat Bung Karno, Bambang Widjanarko, PT Gramedia, 1988, para pengawal itu terdiri dari sejumlah personel Cakrabirawa berpakaian preman yang dipimpin Kolonel Malwi Saelan, serta sejumlah polisi anggota Datasemen Kawal Pribadi (DKP) dipimpin Kompol Mangil.
Pengawal membawa Soekarno ke Lanud Halim Perdanakusuma merupakan prosedur penyelamatan standar.
Karena dari Lanud Halim Perdanakusuma, Soekarno bisa terbang ke mana saja menggunakan pesawat kepresidenan Jet Star.
Soekarno tiba di gedung markas Komando Operasi (Koops) dengan ditemani Jaksa Agung Muda Sunario, Brigadir Polisi EW Lasut Zulkifli Ibrahim, dan para staf lainnya.
Di dalam gedung Koops, Soekarno bertemu dengan KASAU Marsekal Oemar Dhani dan Komodor Leo Watimena.
Tujuan utama Soekarno sebenarnya ingin mengetahui kejadian sebenarnya di Jakarta pada 1 Oktober 1965 dan melakukan koordinasi.
Tapi dari sejumlah penjelasan yang diberikan Oemar Dani dan sejumlah komandan pasukan yang ditemuinya, Soekarno merasa belum mendapatkan penjelasan yang memuaskan.
Demi mendapatkan informasi yang akurat, Soekarno lalu memerintahkan Kombes Polisi Sumirat untuk memanggil semua Panglima Angkatan.
Sumirat lantas pergi keluar Lanud Halim dengan mengendarai jip
Sekitar pukul 11.30 WIB sambil menunggu informasi, Soekarno beristirahat di rumah Komodor Susanto yang merupakan pilot pesawat kepresidenan.
Tidak berapa lama kemudian datang Sumirat, melaporkan bahwa semua Panglima Angkatan sudah dihubungi dan menyatakan siap menghadap Soekarno kecuali Pangdam V Jaya Umar Wirahadikusuma.
Saat ditemui Sumirat, Warahadikusuma sedang di markas Kostrad dan tengah bersama Pangkostrad Mayjen Soeharto.
Soeharto ternyata melarang Wirahadikusuma menghadap Soekarno
Waktu itu bilang, “Sampaikan kepada Bapak Presiden, mohon maaf Pangdam V Jaya tidak dapat menghadap dan karena saat ini Panglima AD (Achmad Yani) tidak ada di tempat.
Harap semua instruksi untuk AD disampaikan melalui saya, Panglima Kostrad.”
Ketika mendengar informasi itu, Soekarno tampak tidak senang.
Meskipun secara garis komando, ketika KASAD tidak ada di tempat maka Pangkostrad secara otomatis boleh mengambil alih garis komando, tapi perintah Presiden sebagai Panglima Tertinggi tetap harus dipatuhi.
Para Panglima Angkatan yang hari itu hadir menghadap Soekarno antara lain Marsekal Oemar Dhani, Laksamana Martadinata, Jenderal Sutjipto Judodihardjo, Jenderal Sutardhio, Leimena, dan Brigjen Sabur.
Jika diamati, suasana di sekitar rumah dinas Komodor Udara Susanto saat itu malah tampak santai dan sama sekali tidak mencerminkan suasana ketegangan.
Tapi suasana betul-betul berubah tegang ketika tepat pukul 12.00 WIB, dari radio transmitter yang dipinjamkan oleh Komodor Susanto terdengar pengumuman Letkol Untung, salah satu dalang dari aksi G/30/S/PKI, mengenai Dewan Revolusi dan pembubaran kabinet.
Itu berarti telah terjadi kudeta.
Kudeta adalah penggulingan tiba-tiba dan kekerasan dari pemerintah yang ada oleh sekelompok kecil.
Prasyarat utama kudeta adalah kendali atas semua atau sebagian angkatan bersenjata, polisi, dan elemen militer lainnya.
Tidak seperti Revolusi, yang biasanya dicapai oleh sejumlah besar orang yang bekerja untuk perubahan sosial, ekonomi, dan politik yang mendasar, kudeta adalah pergantian kekuasaan dari atas yang hanya menghasilkan penggantian tiba-tiba dari pejabat pemerintah yang terkemuka.
Brigjen Sabur pun segera membawa radio transmitter itu dan ditunjukkan pada Soekarno.
Soekarno sangat terkejut dan segera menyadari telah terjadi masalah serius bagi bangsa dan negaranya.
Setelah diadakan rapat di rumah Komodor Susanto, Soekarno memutuskan mengangkat Jenderal Pranoto Reksosamudro sebagai caretaker Menteri/Panglima AD menggantikan posisi Ahmad Yani yang belum jelas nasibnya.
Lewat pukul 17.00 WIb, ajudan Soekarno, Kolonel Bambang Widjanarko, diperintahkan memanggil Jenderal Pranoto.
Tapi Jenderal Pranoto yang sudah berada di markas Kostrad ternyata dilarang juga oleh Soeharto untuk menghadap Soekarno.
Soeharto bahkan menegaskan semua instruksi mengenai Angkatan Darat dari Soekarno harap disampaikan kepada Soeharto.
Mendengar laporan Bambang, Soekarno tampak sangat kecewa dan marah sekali.
Ia menjadi bingung, pasalnya Letkol Untung baru saja mengkudeta kabinetnya dan pada saat yang sama Soeharto juga secara terang-terangan berani membangkang instruksinya.
Namun karena pasukan TNI AD mulai memasuki Halim, Soekarno kemudian terpaksa “diungsikan” ke Istana Bogor.
Tapi justru ketika berada di Istana Bogor itulah, Soeharto yang sudah memiliki segudang pengalaman tempur, secara perlahan berhasil “mengambil alih” perintah Soekarno
Soeharto mengambil alih aksi penumpasan G30S/PKI, dan tiga tahun kemudian menggantikan posisi Soekarno sebagai Presiden RI
Benarkah Soeharto Melakukan 'Kudeta Bertahap' Saat G30S/PKI?
Putri Soekarno, Sukmawati Soekarnoputri mengungkapkan bahwa Soeharto telah melakukan 'kudeta bertahap' melalui peristiwa G30S PKI.
Sukmawati Soekarnoputri berani berpendapat demikian karena dia setuju dengan pemikiran dari Dr Subandrio, mantan Waperdam I dan Kabinet Dwikora era pemerintah Presiden Soekarno.
Seperti dikutip dari buku 'Creeping Coup d'Etat Mayjen Suharto' yang ditulis oleh Sukmawati Soekarnoputri
"Subandrio menyebut tragedi tahun 1965 itu dengan istilah 'Creeping Coup d'Etat ' atau kudeta merangkak atau bertahap," tulis Sukmawati Soekarnoputri
Kudeta Merangkak yang dilakukan Mayjen Soeharto dan kawan-kawannya dilalui dengan empat tahap.
Tahap I: 1 Oktober 1965
Terjadinya suatu aksi penculikan dan pembunuhan beberapa Jenderal TNI AD oleh kelompok G30S yang dipimpin oleh Letkol Untung dengan pasukan AD (berseragam Cakrabirawa/pasukan pengawal presiden).
Pada hari itu juga melalui kantor penyiaran Radio Republik Indonesia (RRI), Letkol Untung mengumumkan tentang dibentuknya Dewan Revolusi dan juga tentang Kabinet Dwikora demisioner.
Demisioner adalah sebuah keadaan dimana seseorang tidak memiliki kekuasaan lagi
Padahal hanya presidenlah yang berwenang mendemisioner kabinetnya.
Tahap II : 12 Maret 1966
Letjen Soeharto sebagai pengemban Supersemar atau Surat Perintah Sebelas Maret, membubarkan PKI.
Padahal Presiden dan pimpinan parpol lah yang berwenang membubarkan partai politik.
Baca Juga: Prayut Chan-o-cha, Mantan Pemimpin Kudeta yang Jadi Perdana Menteri Thailand
Tahap III: 18 Maret 1966
Letjen Soeharto memerintahkan penangkapan 16 Menteri Kabinet Dwikora, yang merupakan kelanjutan aksi mendemisionerkan kabinet.
Tahap IV: 7 Maret 1967
Pencabutan kekuasaan Presiden RI, mandataris MPRS, Panglima ABRI, PBR (Panglima Besar Revolusi) Dr Ir Soekarno oleh MPRS dengan Tap MPRS XXXIII/1967 yang diketuai oleh Jenderal AH Nasution.
Sedangkan Tap MPRS XXXIII/1967 tersebut jelas inskonstitusional karena hanya MPR hasil Pemilu yang berwenang memberhentikan Presiden.
"Kesimpulan saya, G30S adalah nama grup atau kelompok yang kenyataannya adalah bagian dari Dewan Jenderal (Soeharto dkk).
Merekalah kelompok G30S yang mengawali gerakan atau aksi dari Kudeta Merangkak tersebut," tulis Sukmawati Soekarnoputri.
Dalam situasi dan kondisi mendesak, maka Presiden Soekarno pada waktu itu mengkaji, menganalisis, dan menyimpulkan bahwa G30S terjadi karena tiga sebab.
Tiga sebab tersebut yaitu keblingernya pimpinan PKI, kelihaian Nekolim, dan adanya oknum-oknum yang tidak benar.
Sukmawati Soekarnoputri pun meneliti dan mempelajari referensi dan buku tentang peristiwa itu, baik di dalam maupun luar negeri.
Presiden Soekarno pada waktu itu menyebutkan Gestok (Gerakan Satu Oktober) untuk gerakan aksi penculikan dan pembunuhan yang dilanjutkan dengan pengumuman terbentuknya Dewan Revolusi sekaligus mendemisionerkan Kabinet Dwikora.
Ketua Umum PNI & Marhaenisme ini menambahkan, seharusnya Presiden Soekarno menyatakan bahwa Kudeta G30S/PKI terjadi karena 3 sebab.
Sukmawati Soekarnoputri menggarisbawahi pidato Soekarno dalam sidang Kabinet Dwikora di Istana Bogor 6 Oktober 1965.
"G30S itu salah dan yang dituju adalah saya.
Dengan terjadinya peristiwa itu maka revolusi Indonesia mundur 20 tahun."
Apakah Soekarno tahu dengan apa yang sebenarnya terjadi?
Soekarno menyinggung soal apa yang telah dan sedang terjadi dengan mengatakan 'Saya dulu pernah membaca bukunya Hitler "Mein Kampf" dan disitu termuat ada 200 cara untuk menggulingkan pemerintah yang sah"
Letkol Untung yang sudah divonis hukuman mati oleh Mahkamah militer luar biasa dan sudah dieksekusi tetap pada pendiriannya.
Menolak tuduhan berniat menggulingkan pemerintahan dan melakukan pemberontakan senjata.
Letkol Untung tidak menyadari bahwa yang telah dilakukannya dengan kelompok G30S/PKI suatu awal kudeta.
Baca Juga: Rencana Gila AS, yang Hendak Menguyur Venezuela dengan Uang Rp141 Triliun, Tapi Ini Syaratnya
"Bahkan agaknya dia tidak paham dengan arti kata demisioner," tulis Sukmawati Soekarnoputri.
Menurut Subandrio, Letkol Untung pernah mengungkapkan kekecewaannya pada peristiwa 1 Oktober 1965 karena Mayjend Soeharto (Pangkostrad waktu itu) telah ingkar janji untuk membantu aksi kudeta awal dari G30S/PKI.
Keblingernya pimpinan PKI dapat ditujukan pada Ketua Umum PKI Dipa Nusantara Aidit atau Ketua Biro Khusus, Syam.
Syam, menurut komentar dari beberapa penulis merupakan sosok misterius.
Dia yang tadinya dikenal sebagai informan Angkatan Darat tiba-tiba memposisikan sebagai Ketua biro khusus.
Supersemar yang dimandatkan kepada Letjen Soeharto, merupakan 'surat tes' kesetiaan dan kepatuhan Jenderalnya kepada Presiden.
Tanpa Supersemar Letjen Soeharto sudah didukung pemerintah Amerika Serikat untuk menggantikan Soekarno dengan ditodong oleh rudal armada VII.
Soekarno dianggap musuh no.1 bagi Amerika karena suka marah pada Amerika atas terjadinya perang Vietnam dan sangat menentang.
Amerika sangat benci itu karena Soekarno dianggap bersekutu dengan pimpinan Vietnam Ho Chi Minh.
Dengan segala kelihaian, mereka mengadakan kudeta di beberapa negara non blok.
Hingga sampai Indonesia (1965-1967) dengan sukses melaksanakan Neo Kolonialisme Imperialisme (Neokolim).
(*)
Artikel ini telah tayang di tribunkaltim.co dengan judul G30S/PKI, Dugaan Kudeta Merangkak Mayjend Soeharto dan Pembangkangan Perintah Soekarno