Penulis
Intisari-online.com -Hari ini tepat 54 tahun dirilisnya Surat Perintah 11 Maret 1966, atau demikian, seperti yang mungkin tercatat dalam sejarah.
Namun Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar sendiri masih menjadi kontroversi terbesar dalam sejarah Indonesia.
Melansir Kompas.com, Soeharto yang saat itu menjabat menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat mendapat mandat dari Presiden Soekarno untuk memulihkan keadaan pasca-Gerakan 30 September yang selama ini dikaitkan dengan Partai Komunis Indonesia.
Namun, secara perlahan Soeharto melakukan sejumlah langkah strategis yang membuat dia mengambil alih kepemimpinan nasional.
Adapun, kontroversi terbesar adalah saat ini tidak ada yang tahu di mana keberadaan Supersemar.
Salinan terkait kepemimpinan nasional itu hingga saat ini tak terlacak, meskipun peristiwa penyerahan Supersemar dapat dibilang memiliki bukti sejarah yang kuat.
Setelah 54 tahun surat mandat itu dirilis, berikut sejumlah fakta terkait Supersemar.
Dihadirkan dalam bentuk pertanyaan, dengan harapan tetap memicu upaya pengungkapan misteri yang menyelubunginya.
Baca Juga: Ini Dia Manfaat Tanaman Obat Daun Saga dari Sembuhkan Epilepsi Hingga Bantu Cegah Tumor Otak
1. Supersemar jadi alat kudeta?
Supersemar tak hanya akronim dari Surat Perintah 11 Maret 1966.
Surat ini dapat dibilang sebagai "mandat" yang diberikan Presiden Soekarno kepada Letjen Soeharto, selaku Menteri/Panglima Angkatan Darat.
Dalam naskah Supersemar, disebut bahwa Soeharto dapat mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengawal jalannya pemerintahan ketika itu.
Baca Juga: Ini 20 Manfaat Buah Nanas Madu, dari Obati Batuk Pilek Hingga Bikin Rambut Lebih Bercahaya
Setelah kondisi pulih, Soekarno berharap mandat itu dikembalikan.
Namun, Soeharto kemudian melakukan sejumlah langkah strategis yang dianggap merugikan Soekarno.
Dilansir dari dokumentasi Harian Kompas, langkah itu antara lain menangkap 15 menteri loyalis Soekarno.
Selain itu, Soeharto tanpa persetujuan Soekarno juga melakukan pembubaran PKI yang kemudian dianggap sebagai organisasi terlarang.
The Smiling General itu juga membubarkan Tjakrabirawa selaku pasukan pengaman presiden, serta berupaya mengontrol media.
Langkah Soeharto itu disesali Soekarno, yang menganggap telah melampaui wewenang pengemban Supersemar.
Presiden Soekarno membantah bahwa Supersemar adalah alat untuk transfer kekuasaan kepada Soeharto.
Hal ini disampaikan Soekarno dalam pidato yang disampaikan saat peringatan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1966.
"Dikiranya SP 11 Maret itu suatu transfer of authority, padahal tidak," kata Soekarno dalam pidato berjudul "Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah" atau lebih dikenal dengan sebutan "Jasmerah".
Sejarawan Asvi Warman Adam pun menilai bahwa Supersemar menjadi alat bagi Soeharto untuk melakukan "kudeta merangkak".
Soeharto sendiri sudah membantah mengenai tuduhan kudeta.
Dikutip dari arsip Harian Kompas, Soeharto yang saat itu menjabat presiden mengatakan bahwa Supersemar hanya digunakan untuk "membubarkan PKI dan menegakkan kembali wibawa pemerintahan".
"Saya, kata Presiden Soeharto, tidak pernah menganggap Surat Perintah 11 Maret sebagai tujuan untuk memperoleh kekuasaan mutlak. Surat Perintah 11 Maret juga bukan merupakan alat untuk mengadakan kup terselubung," demikian kutipan di Harian Kompas terbitan 11 Maret 1971.
2. Sosok yang terlibat siapa saja?
Secara mendasar, Supersemar melibatkan Presiden Soekarno dan Letjen Soeharto. Namun, surat itu tidak diberikan langsung melainkan melalui perantara tiga jenderal.
Dengan demikian, ada lima orang yang terlibat dalam penyerahan "surat sakti" tersebut.
Selain Soekarno dan Soeharto, ada juga nama Brigjen Amirmachmud, Brigjen M Jusuf, dan Mayjen Basuki Rachmat.
Soekarno selaku presiden pada Jumat pagi, 11 Maret 1966, sempat mengadakan rapat Kabinet 100 Menteri.
Namun, dia harus meninggalkan lokasi setelah mendengar ada pasukan tak dikenal di sekitar Istana Kepresidenan di Jakarta.
Amirmachmud selaku anggota kabinet kemudian melaporkan kondisi terakhir di Istana kepada Soeharto.
Kemudian, bersama M Jusuf dan Basuki Rachmat, mereka bertiga menemui Soekarno yang sudah berada di Istana Bogor untuk menyampaikan permintaan Soeharto.
Permintaan Soeharto untuk diberikan mandat khusus tidak dianggap luar biasa oleh Soekarno, mengingat situasi pada hari-hari itu memang tidak menentu.
Demonstrasi mahasiswa menentang pemerintah berlangsung setiap hari sehingga mengganggu aktivitas pemerintah.
Dilansir dari Harian Kompas yang terbit pada 7 Maret 2010, di Istana Bogor, Presiden Soekarno didampingi oleh Wakil PM I/Menlu Subandrio, Wakil PM II/Ketua MPRS Chairul Saleh, dan Wakil PM III J Leimena.
Di tempat itu juga hadir Panglima Kodam Siliwangi Mayjen Ibrahim Adjie.
Sempat muncul desas-desus bahwa ada juga jenderal keempat yang hadir, yaitu Wakil Panglima AD, Brigjen Maraden Pangabean.
Ajudan Soekarno, Soekardjo Wilardjito, bahkan menyebut Maraden menodongkan pistol saat meminta dibuatkan surat mandat untuk Soeharto.
Namun, pernyataan Soekardjo telah dibantah Maraden, M Jusuf, juga Soebandrio.
3. Apakah Soekarno menyesali Supersemar?
Keberadaan naskah asli dan perbedaan interpretasi mengenai Supersemar menjadi permasalahan ketika itu.
Soekarno menilai bahwa Soeharto tidak berhak melakukan itu, walaupun ia menggenggam Supersemar.
Ia akhirnya mengeluarkan Supertasmar, Surat Perintah 13 Maret 1966.
Ini merupakan surat perintah yang dikeluarkan Soekarno untuk mengoreksi Supersemar.
Dalam buku Menggugat Kudeta Jenderal Soeharto: Dari Gestapu ke Supersemar (1998) karya AM Hanafi, disebutkan bahwa Kelahiran Supertasmar berawal ketika Soekarno marah mendengar kabar bahwa Partai Komunis Indonesia dibubarkan oleh Soeharto.
Kekeliruan langkah Soeharto dalam menginterpretasi Supersemar itulah yang memicu Soekarno mengeluarkan Supertasmar.
Supertasmar itu berisi pengumuman bahwa Supersemar bersifat administratif/teknis, dan tidak politik.
Soeharto juga diminta untuk segera memberikan laporan kepada Presiden.
Namun sampai saat ini, keberadaanya tak jelas.
Supersemar dan Supertasmar yang asli belum bisa diketemukan bahkan pencarian sampai Sekretariat Negara.
Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Asvi Warman Adam menilai bahwa Supersemar merupakan blunder yang dibuat Soekarno.
"'Mengambil suatu tindakan yang dianggap perlu'.
Itu mungkin blunder yang dilakukan Bung Karno, oleh seorang sipil, dengan perintah yang tidak jelas pada seorang tentara," kata Asvi pada 6 Maret 2016.
4. Supersemar ada berapa versi?
Keraguan keaslian Supersemar yang dipublikasikan secara luas muncul setelah Presiden Soeharto dan Orde Baru (Orba) tumbang pada 1998.
Saat ini, Supersemar yang beredar di tengah masyarakat ada tiga versi.
Ketiga versi itu tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).
Namun, tiga naskah Supersemar yang disimpan dalam brankas antiapi milik ANRI di Jalan Ampera Raya, Jakarta Selatan, dipastikan tidak autentik alias palsu.
Kepastian bahwa naskah itu palsu diperoleh setelah dilakukan uji forensik di Laboratorium Polri pada 2012.
Adapun tiga versi itu, pertama adalah Supersemar dari Sekretariat Negara dengan ciri-ciri jumlah halaman dua lembar, berkop Burung Garuda, diketik rapi, dan di bawahnya tertera tanda tangan beserta nama Sukarno.
Kedua, Supersemar yang diterima dari Pusat Penerangan TNI AD dengan ciri jumlah halaman satu lembar, berkop Burung Garuda, ketikan tidak serapi versi pertama.
Penulisan ejaan sudah menggunakan kaidah bahasa Indonesia yang berlaku pada saat itu.
Jika pada versi pertama di bawah tanda tangan tertulis nama Sukarno, pada versi kedua tertulis nama Soekarno.
Ketiga, adalah Supersemar yang diterima dari Yayasan Akademi Kebangsaan, dengan ciri jumlah halaman satu lembar, sebagian surat robek sehingga tidak utuh lagi, kop surat tidak jelas, hanya berupa salinan.
Tanda tangan Soekarno pada versi ketiga ini juga berbeda dengan versi pertama dan kedua.
(Aswab Nanda Pratama)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Masih Jadi Kontroversi, Ini 4 Pertanyaan Seputar Supersemar..."