Penulis
Intisari-Online.com -Siapakah yang menjadi dalang peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965: PKI, CIA, Soeharto, atau Soekarno?
30 September 2019 mendatang, bangsa Indonesia mengenang kembali tragedi berdarah pada 1965, yang kemudian disebut Gerakan 30 September (G30S).
Dalam tragedi tersebut, ada 10 nama yang menjadi korban.
Termasuk tujuh jenderal TNI.
Dilansir dari Tribun Kupang, berikut tujuh jenderal TNI yang menjadi korban pemberontakan PKI atau G30S.
1. Jenderal TNI Anumerta Ahmad Yani
Beliau merupakan komandan TNI AD yang lahir pada tahun 19 Juni 1922 di Purworejo.
Ia menjadi sasaran PKI lantaran sangat menentang keberadaan faham komunis di tanah air.
Jenderal TNI Ahmad Yani sempat berdebat sengit saat rumahnya dikepung tentara antek PKI.
Namun, perdebatan itu justru membuat sang jenderal bersimbah darah karena ditembak oleh para tentara tersebut.
Jasadnya pun dibawa dan dikubur di Lubang Buaya
2. Letnan Jenderal Anumerta Suprapto
Letnan Jenderal Anumerta Suprapto adalah salah satu pahlawan nasional yang lahir di Purwokerto, 20 Juni 1920.
Belia juga diculik dari rumahnya dan dibantai di Lubang Buaya.
Sebelum akhirnya tewas di tangan PKI, beliau pernah meredam beberapa pemberontakan PKI di berbagai wilayah seperti Semarang dan Medan.
3. Letnan Jenderal Haryono
Letnan Jenderal TNI Anumerta atau Mas Tirtodarmo Haryono (MT Haryono) lahir di Surabaya, 20 Januari 1924.
Letjend yang mengerti 3 bahasa asing ini juga diculik pada saat hari kejadian.
Kemudian dibantai di Lubang Buaya.
4. Letnan Jenderal Siswondo Parman
Siswondo Parman atau lebih dikenal dengan nama S. Parman adalah salah satu pahlawan revolusi Indonesia dan tokoh militer Indonesia.
Lahir di Wonosobo, 4 Agustus 1918.
Beliau merupakan perwira intelijen yang dekat dengan PKI serta mengetahui kegiatan rahasia mereka.
Namun saat ditawari bergabung dengan PKI, S Parman menolak.
Karena itulah beliau meninggal dibunuh pada persitiwa Gerakan 30 September dan mendapatkan gelar Letnan Jenderal Anumerta.
Otak pembantaiannya yakni kakaknya sendiri Ir. Sakirman yang merupakan petinggi PKI saat itu.
5. Mayor Jenderal Pandjaitan
Brigadir Jenderal TNI Anumerta Donald Isaac Panjaitan lahir di Sumatera Utara, 19 Juni 1925.
Beliau dan bersama para pemuda anak bangsa lain yang dulunya merintis pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang merupakan cikal bakal TNI saat ini.
Saat itu beliau menggunakan seragam militer lengkap ketika tahu bahwa sekelompok anggota OKI datang ke rumahnya dan telah membunuh pelayan serta ajudannya.
Segera setelah beliau menantang para pemberontak itu, peluru langsung menghujam tubuhnya dan mayatnya dibawa ke Lubang Buaya.
6. Mayor Jenderal Sutoyo Siswomiharjo
Mayor Jenderal TNI Anumerta Sutoyo Siswomiharjo lahir di Kebumen, 23 Agustus 1922.
Beliaujuga diculik di rumahnya dan dibantai di Lubang Buaya.
Para penculik mengatakan Mayjen Sutoyo dipanggil oleh Presiden Republik Indonesia pertama Ir. Soekarno, tapi ternyata itu bohong.
Baca Juga: Jadi Perisai Sang Ayah, Ade Irma Suryani Harus Merenggang Nyawa Akibat Kekejaman G30S/PKI
7. Brigadir Jenderal Katamso Darmokusumo
Brigjen Anumerta Katamso Darmokusumo lahir di Sragen, 5 Februari 1923.
Tak seperti pahlawan revolusi sebelumnya, Brigjen Katamso pada hari terjadi pemberontakan sedang bertugas di Yogyakarta.
Beliau kemudian diculik, dipukuli tubuhnya dengan mortar motor.
Kemudian dimasukkan ke lubang yang sudah disiapkan anggota PKI.
Peristiwa ini terjadi di wilayah Kentungan.
Selain tujuh jenderal TNI di atas, PKI juga menghabisi sejumlah anggota TNI dan Polri lain seperti AIP Karel Satsuit Tubu, Kapten Pierre Tendean, dan Kolonel Sugiono.
Bahkan, Putri jenderal TNI AH Nasution, Ade Irma Suryani Nasution juga harus bersimbah darah karena ditembak PKI saat malam G30S
Gugurnya tujuh jenderal TNI saat gerakan 30 September alias G30S membuat presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno menjadi bersedih.
Kesedihan Presiden Soekarno atas gugurnya tujuh jenderal TNI korban G30S diungkap dalam buku bertajuk 'Maulwi Saelan Penjaga Terakhir Soekarno', Penerbit Buku Kompas 2014.
Maulwi yang merupakan pengawal pribadi Bung Karno, mengatakan kalau presiden Soekarno sangat sedih sekali atas nasib yang menimpa para jenderal TNI yang diculik.
Baca Juga: Jangan Dikupas, 4 Jenis Sayur Ini Beri Manfaat Luar Biasa Jika Dimakan dengan Kulitnya
“Presiden sedih sekali atas nasib para jenderal yang diculik, khususnya Jenderal Ahmad Yani, jenderal yang amat disayanginya. Karena nasib para jenderal dan seorang perwira pertama belum diketahui, Presiden memerintahkan saya untuk mencari tahu nasib mereka." tulis Maulwi dalam bukunya.
Pada 2 Oktober 1965, Presiden Soekarno telah memanggil semua Panglima Angkatan Bersenjata bersama Waperdam II Leimena dan para pejabat penting lainnya dengan maksud segera menyelesaikan persoalan apa yang disebut Gerakan 30 September.
Tindakan Bung Karno itu merupakan langkah standar karena dirinya adalah selaku Panglima Tertinggi ABRI.
“Pada tanggal 3 Oktober 1965 pagi, saya menghadap Presiden Soekarno, menyampaikan laporan tentang perkembangan terakhir termasuk penemuan seorang agen polisi,” kata Maulwi yang menjabat sebagai pengawal pribadi Bung Karno dan Wakil Komandan pasukan Tjakrabirawa.
Setelah mempelajari keterangan seorang agen polisi yang bernama Sukitman, Maulwi bersama Letnan Kolonel Ali Ebram dan Sersan Udara PGT Poniran menumpang Jip Toyota No.2 berangkat menuju Halim Perdanakusuma.
Sekadar informasi, ternyata sewaktu penculikan para jenderal 1 Oktober 1965, Sukitman sedang bertugas dan ikut dibawa ke Lubang Buaya, yang akhirnya ditemukan oleh patroli Tjakrabirawa.
Baca Juga: Tak Perlu Tersiksa Lagi, Atasi Kram Otot dengan 5 Makanan Ini, Salah Satunya Melon
Mereka terlebih dahulu melapor dan bertemu dengan Kolonel AU/PNB Tjokro, perwira piket Halim Perdanakusuma.
“Saya sampaikan maksud kedatangan saya” kata Maulwi.
“Kami dibantu seorang anggota TNI AU berpangkat letnan muda penerbang, mencari lokasi yang diceritakan oleh agen polisi tesebut.”
Jip Toyota selalu membawa satu set generator listrik berkekuatan 1 PK yang sewaktu-waktu dapat digunakan karena pada waktu itu arus listrik sering mati-hidup.
Mereka menemukan sebuah rumah atau pondok kecil di Lubang Buaya yang didekatnya terdapat sebuah pohon besar.
Dilakukan pencarian di sekitarnya dan ditemukan sebidang tanah yang sudah tidak digunakan, tetapi terlihat tanda mencurigakan seperti baru dipakai.
Di tempat itu, tumpukan dedaunan dikorek-korek dan terlihat permukaan sebuah sumur tua.
Karena tidak memiliki peralatan untuk menggali tanah, mereka meminta bantuan warga sekitar untuk menggali sumur itu.
Tak berapa lama, muncul pasukan RPKAD dipimpin Mayor C.I. Santoso dengan membawa agen polisi Sukitman sebagai petunjuk jalan, dan ikut pula ajudan Jenderal Ahmad Yani, Kapten CPM Subardi.
Baca Juga: Kejutkan Petani, Sapi Ini Terlahir 'Berwajah Manusia' dengan Hidung dan Mulut yang Kecil, Kok Bisa?
“Setelah mendapat penjelasan dari kami dan dicocokkan dengan keterangan agen polisi tersebut,” kata Maulwi, “penggalian dilanjutkan.”
Penggalian sulit dilakukan karena lubang sumur itu hanya pas untuk satu orang, proses penggalian memakan waktu lama.
Hari mulai gelap, belum ditemukan tanda-tanda yang mencurigakan. Generator milik Tjakrabirawa dihidupkan untuk menerangi proses penggalian.
Lewat tengah malam mulai tercium bau tak sedap.
Setelah penggalian cukup dalam dan terus digali, akhirnya ditemukan sebuah tangan.
Penggalian dihentikan sementara karena orang-orang tidak tahan dengan bau yang keluar dari sumur.
Setelah berunding dengan C.I. Santoso, disepakati untuk melaporkan hal itu kepada Pangkostrad Mayjen Jenderal Soeharto guna instruksi selanjutnya.
Dan, untuk penggalian selanjutnya, diperlukan tenaga dan peralatan khusus misalnya masker dan tabung oksigen seperti yang dimiliki pasukan katak KKO.
Saat itu sudah pukul 03.00.
“Rombongan saya pulang untuk Salat Subuh dan istirahat karena mulai merasa flu,” kata Maulwi.
Baca Juga: Makanlah Ini di Malam Hari, Maka Lemak akan Terbakar Sendiri saat Tidur, Ini Caranya!
“Selanjutnya, saya perintahkan Letnan Kolonel Marokeh Santoso, Kepala Staf Resimen Tjakrabirawa, untuk menggantikan dan mewakili saya. Jadi, tidak benar sama sekali, berita yang mengatakan bahwa Presiden Soekarno mengetahui peristiwa penculikan G30S itu. Dan, tidak pernah ada perintah Presiden kepada kami untuk menghilangkan jejak para jenderal yang diculik.”
MENYINGKAP Tabir Dalang Di Balik Peristiwa G30S: PKI, CIA, Soeharto, atau Soekarno
Peristiwa Gerakan 30 September (G30S) yang sudah berlalu selama 54 tahun, bagi sebagian orang, belum sepenuhnya tuntas.
Terutama siapa sebenarnya otak atau dalang di balik peristiwa besar berdarah G30S di masa lalu tersebut.
Di era Orde Baru (1966-1998), masyarakat Indonesia disodori, lebih tepatnya, didoktrin bahwa dalang dari G30S adalah Partai Komunis Indonesia (PKI).
Itulah sebabnya, selama Orde Baru, peristiwa tersebut selalu ditulis dengan G30S, yang merujuk pada doktrin bahwa satu-satunya yang bertanggung jawab atas peristiwa berdarah tersebut adalah PKI.
Baca Juga: Usai Dilanda Gempa Berkekuatan 6,8 SR, Muncul Lubang-lubang Sebesar Sumur, Apa Artinya?
Tapi, sejak 2004 atau 6 tahun sejak rezim Orde Baru tumbang, kurikulum pendidikan tak lagi mencantumkan /PKI di belakang G30S.
Selain itu, film Pengkhianatan G30S yang di masa Orde Baru, sejak 1984 diputar setiap tahun dihentikan penayangannya.
Mengapa?
Hal ini merujuk pada berbagai penelitian setelah peristiwa G30S mengungkapkan fakta bahwa PKI bukan dalang tunggal.
Sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asvi Warman Adam, mengatakan, Presiden Pertama RI Soekarno pernah menyebut bahwa peristiwa G30S merupakan peristiwa yang sarat dengan kepentingan.
“Soekarno sendiri dalam Pidato Nawaksara mengatakan bahwa peristiwa G30S merupakan pertemuan tiga sebab, yaitu pimpinan PKI yang keblinger, subversi nekolim dan oknum yang tidak bertanggung jawab. Jadi, dalangnya tidak tunggal dan merupakan perpaduan unsur dalam negeri dengan pihak asing,” kata Asvi Warman Adam.
Dikutip dari Historia.id, dalam artikel berjudul Lima Versi Pelaku G30S, yang ditulis Randy Wirayudha, berikut kutipan lengkap artikel tentang dugaan 5 dalang peristiwa berdarah yang menjadi sejarah kelam Indonesia tersebut:
VERSI 1: Partai Komunis Indonesia (PKI)
DN Aidit, pemimpin PKI melambaikan tangannya.
Ini merupakan versi rezim Orde Baru.
Literatur pertama dibuat sejarawan Nugroho Notosusanto dan Ismael Saleh bertajuk Tragedi Nasional Percobaan Kup G30S di Indonesia (1968).
Intinya menyebut skenario PKI yang sudah lama ingin mengkomuniskan Indonesia.
Buku ini juga jadi acuan pembuatan film Pengkhianatan G30S garapan Arifin C. Noer.
Selain itu, rezim Orde Baru membuat Buku Putih yang dikeluarkan oleh Sekretariat Negara dan Sejarah Nasional Indonesia suntingan Nugroho Notosusanto yang diajarkan di sekolah-sekolah semenjak Soeharto berkuasa.
Oleh karena itu, versi Orde Baru ini mencantumkan “/PKI” di belakang G30S.
Para pelaku sendiri menamai operasi dan menyebutkannya dalam pengumuman resmi sebagai “Gerakan 30 September” atau “G30S”.
Sebagai bagian dari propaganda Orde Baru, gerakan ini pernah disebut sebagai Gestapu (Gerakan September Tigapuluh).
Penamaan ini adalah bagian dari propaganda untuk mengingatkan orang kepada Gestapo, polisi rahasia Nazi Jerman yang terkenal kejam.
Presiden Soekarno mengajukan penamaan menurut versinya sendiri, yakni “Gerakan Satu Oktober” atau “Gestok.”
Menurutnya, Gestok jauh lebih tepat menggambarkan peristiwanya karena kejadian penculikan para jenderal dilakukan lewat tengah malam 30 September yang artinya sudah memasuki tanggal 1 Oktober dini hari.
Penyebutan G30S sebagai bagian propaganda untuk menegaskan bahwa satu-satunya dalang di balik peristiwa penculikan dan pembunuhan para jenderal Angkatan Darat adalah PKI.
Penamaan peristiwa ini selama bertahun-tahun digunakan dalam pelajaran sejarah sebagai satu-satunya versi yang ada.
Penamaan tersebut menutup kemungkinan munculnya versi lain yang memiliki sudut pandang berbeda atas peristiwa yang terjadi.
Kesimpulan tersebut diambil tanpa terlebih dahulu melewati sebuah penyelidikan.
Sejarawan John Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto mengemukakan bahwa PKI sama sekali tidak terlibat secara kelembagaan.
Sebagaimana semestinya sebuah keputusan resmi partai yang harusnya diketahui oleh semua pengurus, rencana gerakan Untung hanya diketahui oleh segelintir orang saja.
Struktur kepengurusan partai mulai dari Comite Central (CC) sampai dengan Comite Daerah Besar (CDB) tak mengetahui sama sekali adanya rencana itu.
“Karena dia (Roosa) menggunakan sumber-sumber yang sangat kuat. Misalnya, keterangan pengakuan Iskandar Subekti, orang yang menulis pengumuman-pengumuman G30S di (Pangkalan) Halim. Dia juga menggunakan keterangan pengakuan Brigjen Supardjo. Artinya orang-orang yang betul-betul terlibat secara meyakinkan dalam kejadian tanggal 30 September 1965 sampai paginya itu,” kata Asvi.
VERSI 2: Konflik Internal Angkatan Darat
Ahmad Yani dan Abdul Haris Nasution.
Sejarawan Cornell University, Benedict ROG Anderson dan Ruth McVey, mengemukakan dalam A Preliminary Analysis of the October 1 1965, Coup in Indonesia atau dikenal sebagai Cornell Paper (1971), bahwa peristiwa G30S merupakan puncak konflik internal Angkatan Darat.
Dalam Army and Politics in Indonesia (1978), sejarawan Harold Crouch mengatakan, menjelang tahun 1965, Staf Umum Angkatan Darat (SUAD) pecah menjadi dua faksi.
Kedua faksi ini sama-sama anti-PKI, tetapi berbeda sikap dalam menghadapi Presiden Sukarno.
Kelompok pertama, “faksi tengah” yang loyal terhadap Presiden Sukarno, dipimpin Letjen TNI Ahmad Yani, hanya menentang kebijakan Soekarno tentang persatuan nasional karena PKI termasuk di dalamnya.
Kelompok kedua, “faksi kanan” bersikap menentang kebijakan Ahmad Yani yang bernafaskan Sukarnoisme.
Dalam faksi ini ada Jenderal TNI AH Nasution dan Mayjen TNI Soeharto.
Peristiwa G30S yang berdalih menyelamatkan Soekarno dari kudeta Dewan Jenderal, sebenarnya ditujukan bagi perwira-perwira utama “faksi tengah” untuk melapangkan jalan bagi perebutan kekuasaan oleh kekuatan sayap kanan Angkatan Darat.
Selain mendukung versi itu, WF Wertheim menambahkan, Sjam Kamaruzaman yang dalam Buku Putih terbitkan Sekretariat Negara disebut sebagai Kepala Biro Chusus Central PKI adalah “agen rangkap” yang bekerja untuk DN Aidit dan Angkatan Darat.
VERSI 3: Presiden Soekarno
Presiden Soekarno dan Presiden John F. Kennedy dalam lawatan tahun 1961.
Setidaknya ada tiga buku yang menuding Presiden Sukarno terlibat dalam peristiwa G30S: Victor M. Fic, Anatomy of the Jakarta Coup, October 1, 1965 (2004); Antonie C.A. Dake, The Sukarno File, 1965-67: Chronology of a Defeat (2006) yang sebelumnya terbit berjudul The Devious Dalang: Sukarno and So Called Untung Putsch: Eyewitness Report by Bambang S. Widjanarko (1974); dan Lambert Giebels, Pembantaian yang Ditutup-tutupi, Peristiwa Fatal di Sekitar Kejatuhan Bung Karno.
Menurut Asvi ketiga buku tersebut “mengarah kepada de-Sukarnoisasi yaitu menjadikan presiden RI pertama itu sebagai dalang peristiwa Gerakan 30 September dan bertanggung jawab atas segala dampak kudeta berdarah itu.”
Ketika buku Dake terbit di Indonesia dengan judul Sukarno File (2005), keluarga Soekarno protes keras dan menyebutnya sebagai pembunuhan karakter terhadap Sukarno. Untuk menyanggah buku-buku tersebut, Yayasan Bung Karno menerbitkan buku Bung Karno Difitnah pada 2006.
Cetakan kedua memuat bantahan dari Kolonel CPM Maulwi Saelan, wakil komandan Resimen Tjakrabirawa.
VERSI 4: Letjen Soeharto
Letjen TNI Soeharto, waktu itu menjabat menpangad, menerima delegasi KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), salah satu organisasi antikomunis.
Komandan Brigade Infanteri I Jaya Sakti Komando Daerah Militer V, Kolonel Abdul Latief dalam Pledoi Kolonel A. Latief: Soeharto Terlibat G30S (1999) mengungkapkan bahwa dia melaporkan akan adanya G30S kepada Soeharto di kediamannya di Jalan Haji Agus Salim Jakarta pada 28 September 1965, dua hari sebelum operasi dijalankan.
Bahkan, empat jam sebelum G30S dilaksanakan, pada malam hari 30 September 1965, Latief kembali melaporkan kepada Soeharto bahwa operasi menggagalkan rencana kudeta Dewan Jenderal akan dilakukan pada dini hari 1 Oktober 1965.
Menurut Latief, Soeharto tidak melarang atau mencegah operasi tersebut.
Menurut Asvi, fakta bahwa Soeharto bertemu dengan Latief dan mengetahui rencana G30S namun tidak melaporkannya kepada Ahmad Yani atau AH Nasution, menjadi titik masuk bagi analisis “kudeta merangkak” yang dilakukan oleh Soeharto.
Ada beberapa varian kudeta merangkak, antara lain disampaikan oleh Saskia Wierenga, Peter Dale Scott, dan paling akhir Soebandrio, mantan kepala Badan Pusat Intelijen (BPI) dan menteri luar negeri.
Dalam Kesaksianku tentang G30S (2000) Soebandrio mengungkapkan rangkaian peristiwa dari 1 Oktober 1965 sampai 11 Maret 1966 sebagai kudeta merangkak yang dilakukan melalui empat tahap:
1. menyingkirkan para jenderal pesaing Soeharto melalui pembunuhan pada 1 Oktober 1965;
2. membubarkan PKI, partai yang memiliki anggota jutaan dan pendukung Soekarno;
3. menangkap 15 menteri yang loyal kepada Presiden Soekarno;
4. mengambilalih kekuasaan dari Soekarno.
VERSI 5: Central Intelligence Agency (CIA)
Sebagai konsekuensi dari Perang Dingin tahun 1960-an, Amerika Serikat dan negara-negara Barat seperti Australia, Inggris, dan Jepang berkepentingan agar Indonesia tidak jatuh ke tangan komunis.
Amerika Serikat menyiapkan beberapa opsi terkait situasi politik di Indonesia.
Menurut David T Johnson dalam Indonesia 1965: The Role of the US Embassy, opsinya adalah membiarkan saja, membujuk Soekarno beralih kebijakan, menyingkirkan Soekarno, mendorong Angkatan Darat merebut pemerintahan, merusak kekuatan PKI dan merekayasa kehancuran PKI sekaligus menjatuhkan Sukarno.
Opsi terakhir yang dipilih.
Keterlibatan Amerika Serikat melalui operasi CIA (Dinas Intelijen Amerika Serikat) dalam peristiwa G30S telah terang benderang diungkap berbagai sumber.
Peter Dale Scott, profesor dari University of California, menulis US and the Overthrow of Sukarno 1965-1967 yang diterbitkan dengan judul CIA dan Penggulingan Sukarno (2004).
Menurut Dale, CIA membangun relasi dengan para perwira Angkatan Darat dalam Seskoad (Sekolah Staf Komando Angkatan Darat). Salah satu perwiranya adalah Soeharto.
Sumber lain Di Balik Keterlibatan CIA: Bung Karno Dikhianati (2001) karya wartawan Belanda Willem Oltmans. Juga buku Bung Karno Menggugat: Dari Marhaen, CIA, Pembantaian Massal ’65 hingga G30S (2006) karya sejarawan Baskara T Wardaya.
Sejarawan John Roosa juga mengungkap bahwa pada akhir 1965 Amerika Serikat memberikan perangkat komunikasi radio lapangan yang sangat canggih ke Kostrad.
Antenanya dipasang di depan markas besar Kostrad. Wartawan investigasi, Kathy Kadane dalam wawancaranya dengan para mantan pejabat tinggi Amerika Serikat di akhir 1980-an menemukan bahwa Amerika Serikat telah memantau komunikasi Angkatan Darat melalui radio-radio tersebut.
CIA memastikan frekuensi-frekuensi yang akan digunakan Angkatan Darat sudah diketahui oleh National Security Agency (Badan Keamanan Nasional Amerika Serikat). NSA menyadap siaran-siaran radio itu di suatu tempat di Asia Tenggara, dan sesudah itu para analis menerjemahkannya.
Hasil sadapan itu kemudian dikirim ke Washington.
Dengan demikian Amerika Serikat memiliki detil bagian demi bagian laporan tentang penyerangan Angkatan Darat terhadap PKI, misalnya, mendengar “komando-komando dari satuan-satuan intelijen Soeharto untuk membunuh tokoh-tokoh tertentu di tempat-tempat tertentu.”
Amerika Serikat juga memberikan bantuan dana sebesar Rp50 juta (sekitar $10.000) untuk membiayai kegiatan KAP (Komite Aksi Pengganyangan Gerakan September Tiga Puluh) Gestapu.
Selain itu, CIA juga memberikan daftar nama-nama tokoh PKI kepada Angkatan Darat.
(TRIBUNNEWSWIKI.COM/PUTRADI PAMUNGKAS, TRIBUNNEWS.COM/PUTRA DEWANGGA CANDRA SETA)