Intisari-Online.com – Jenderal Besar TNI Abdul Haris Nasution atau yang dikenal Jenderal A.H Nasution merupakan salah satu perwira tinggi militer Indonesia yang menjadi target peristiwa G30S/PKI.
Namun sang jenderal besar berhasil selamat.
Tragisnya, selamatnya nyawa Nasution harus dibayar dengan tewasnya dua orang terdekatnya.
Pertama, putri bungsunya Ade Irma Suryani yang saat kejadian masih berusia lima tahun.
Kedua, Pierre Tendean, yang saat kejadian berusia 26 tahun dan dia bertugas sebagai ajudan Jenderal Nasution.
Banyak yang percaya bahwa Pierre Tendean sejatinya punya masa depan cerah nan indah.
Dalam soal pelajaran, ia begitu menonjol. Ia juga punya tekad yang kuat; menjadi tentara adalah keinginannya sejak kecil.
Pengalaman medan tempurnya pun tak perlu diragukan lagi.
Ketika masih berpangkat Kopral Taruna, ia sudah ikut dalam operasi penumpasan pemberontakan PRRI di Sumatera.
Tapi, tragedi 1 Oktober 1965 dini hari telah menghancurkan segalanya.
Ia menjadi satu dari tujuh Pahlawan Revolusi yang menjadi korban Gerakan 30 September (G30S).
Anak kesayangan keluarga
Pierre Andries Tendean adalah bungsu dari tiga bersaudara buah cinta A.L. Tendean dan Cornel M.E yang berdarah Prancis.
Sejak lahir, laki-laki yang berulang tahun tiap 21 Februari ini merupakan anak kesayangan keluarga.
Bukan lantaran dia satu-satunya anak lelaki di situ, tapi lebih karena Pierre adalah sosok yang mudah bergaul dan cerdas.
Masa kecilnya dia lalui di lereng Gunung Merapi di Jawa Tengah. Ketika itu Belanda sedang menjalankan Agresi Militer II.
Sejak kecil dia terbiasa bergaul dengan anak-anak desa yang berlainan adat dengannya.
Kebiasaan itu dia teruskan ketika meneruskan pendidikan Sekolah Dasar di Magelang dan sekolah menengah di Semarang.
Ketika sekolah di Semarang, nilai ujiannya sangat menonjol. Bahasa Jermannya mendapat nilai 9, juga untuk pelajaran olahraga.
Baca Juga: Kasus Remaja Tewas Karena Sering Main Game PUBG: Ini Bahaya Game PUBG Untuk Otak Kita
Penulis | : | Mentari DP |
Editor | : | Mentari DP |
KOMENTAR