[ARSIP INTISARI]
Orang-orang Kompeni (VOC) di Batavia tempo doeloe ternyata punya kebiasaan ogah mandi dan takut air. Hingga muncul aturan yang mengharuskannya.
Penulis: Tanu TRh. untuk Majalah Intisari edisi November 1973
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Pada masanya, air kali Ciliwung dan kali-kali lainnya yang mengalir di Jakarta bisa dimanfaatkan oleh rakyat jelata untuk mandi, mencuci pakaian, dan lain-lainnya. Untuk sekarang, palingan di bagian hilir mau hulunya doang.
Tapi di "Tempo Doeloe", yaitu di zaman Kompeni (Verenigde Oost Indische Compagnie) bukan rakyat jelata saja yang memanfaatkan air kali-kali itu. Tapi juga penggede-penggede Kompeni.
Seandainya Anda hidup di zaman itu dan kebetulan sedang berjalan di sepanjang salah satu kali, di mana di tepinya berjajar gedung-gedung yang mewah dengan halaman depan atau halaman belakang yang luas, niscaya Anda akan dapat menyaksikan "orang-orang bule" asyik berkecimpung di dalam air kali yang berwarna kecoklat-coklatan.
Dan kalau Anda cukup "mujur", siapa tahu kalau-kalau orang yang Anda lihat sedang asyik mandi itu bukan Gubernur Jenderal Van der Parra.
Gedung Van der Parra terletak di Jalan Jacatra dan pekarangan depannya berbatasan dengan kali yang mengalir di situ. Di pekarangan depan itu, tepat di tepi kali, terdapat sebuah bangunan kecil. Semacam paseban untuk duduk-duduk dengan rileks sambil "makan angin" (istilah Jakarta).
Dari lantai paseban itu terpasang sebuah tangga yang menurun ke kali. Nah, melalui tangga itulah Van der Parra katanya sering turun ke dalam air untuk mandi.
Sekiranya dari seberang kali orang dapat melihatnya, tidaklah menjadikan keberatan baginya. Jangan dilupakan pula hendaknya bahwa pada masa itu keadaan kota Betawi masih sepi-sepi saja!
Belanda "takut air"
Cerita tentang Van der Parra itu dituturkan oleh Prof. Dr. De Haan dalam bukunya Oud Batavia. Selanjutnya diuraikannya bahwa mungkin Van der Parra tidak mandi tiap hari, melainkan lebih suka mengganti pakaian-dalam saja.
Orang-orang Belanda totok (de geboren Hollander) di zaman itu, demikian dia menyambungkan, memang takut air.
Sama halnya dengan orang-orang Portugis, soal mandi mereka lebih suka serahkan kepada kaum wanitanya saja. Terutama "de nona's", wanita-wanita muda yang belum menikah.
Maka kaum Hawa, merekalah yang lebih sering mandi. Kaum Adam-nya merasa cukup dengan ganti pakaian-dalam saja yang bersih.
Tetapi Van der Para dikatakan belum pernah ke negeri Belanda, maka dia tidak begitu "takut air" seperti "de geboren Hollander" tadi.
Di antara orang-orang Belanda di Betawi “tempo doeloe”, ada yang pro dan ada yang kontra urusan mandi. Ada di antara mereka yang biasa mandi dan merasa tidak nyaman kalau tidak mandi, demikian diuraikan oleh seorang penulis Belanda di tahun 1753.
Istilah Belanda yang dipergunakan pada masa itu untuk mandi adalah “wassen", mencuci, bukan “baden" seperti istilahnya yang kita kenal sekarang.
Nampaknya ada pula pihak yang menganggap bahwa mandi itu penting. Sehingga pada suatu waktu dikeluarkan peraturan khusus untuk serdadu-serdadu Kompeni bahwa mereka harus mandi tiap delapan hari atau sepuluh hari.
Namun peraturan itu tidak jalan, karena serdadu-serdadu itu tetap enggan mandi sebagaimana yang diharuskan. Akibatnya keluar lagi peraturan susulan yang menetapkan bahwa serdadu-serdadu di Benteng Rijswijk tidak boleh dipaksa mandi tiap minggu sekali.
Bayangkan betapa “sedap” bau hawa dalam barak-barak mereka, apalagi jika matahari sedang bersinar terik!
Kiranya ada sesuatu yang "mendukung" orang-orang yang malas mandi itu. Yakni belum dapat dibuktikan bahwa antara sering mandi dan pemeliharaan kebersihan tubuh serta kesehatan, terdapat hubungan yang erat: ilmu kedokteran di zaman itu belum semaju sekarang.
Di tahun 1804 seorang dokter yang bernama Keuchenius malah menyatakan bahwa mandi itu tidak perlu, malah tidak baik bagi kesehatan!
Yang terbuka dan yang tertutup
Paseban-paseban tempat mandi yang disebut di atas (seringkali dinamakan paviljoentjes) nampaknya merupakan “perlengkapan standar" bagi gedung-gedung mewah milik penggede-penggede Kompeni.
Di kolong paseban itu dibuat semacam “kandang" yang dikelilingi jeruji-jeruji kayu. Ke dalam kandang itulah orang yang mau mandi turun melalui sebuah tangga, lalu membersihkan badan atau berkecimpungan seenaknya.
Kaum Hawa yang “bule-bule", apabila sedang mandi di situ, tidak menghiraukan apakah ada yang melihatnya dari seberang sana. Mereka menganggapnya “tidak apa-apa".
Boleh saja lihat seperti sampai pada beberapa tahun yang lalu (sebelum Bang Ali menyuruh membangun tempat-tempat mandi/cuci tertutup di sepanjang tepi Ciliwung di jalan Hayam Wuruk) seringkali ada orang-orang “iseng" yang gemar menonton wanita-wanita mandi dan mencuci pakaian di situ.
Intinya: boleh lihat, tidak boleh pegang!
Di abad ke-18 itu ada pula tempat-tempat mandi yang tertutup atau agak tertutup. Misalnya di pekarangan depan gedung besar milik Reinier de Klerk di Jalan Gajah Mada yang sekarang yang kini jadi Gedung Arsip Negara.
Duludi sana terdapat sebuah bangunan dari tembok, yaitu sebuah bilik kecil tempat menanggalkan pakaian. Dari bilik itu orang menuruni tangga batu ke dalam sebuah bak besar yang letaknya di antara kamar pakaian itu dan jalan raya.
Bak tidak memakai atap dan bisa terlihat dari jalan raya tadi. Sebuah saluran mengalirkan air kali Ciliwung (dahulu Molenvliet) ke dalam bak tersebut.
Selesai mandi, sepotong dinding penutup (schuif) di dalam bak digeser sehingga terbuka. Air kemudian mengalir keluar dari bak, masuk ke dalam selokan di samping gedung, terus ke pekarangan belakang.
Berabenya, air di dalam bak selalu berlumpur. Maka setelah puas merendam diri di situ, harus bilasan (membasuh tubuh lagi) dengan air jernih yang tersedia dalam sebuah tempayan dalam kamar pakaian, komplit dengan gayungnya.
Bekas bak mandi de Klerk?
Dulu, kira-kira di tempat yang sama, yakni antara gedung Arsip Negara dan gedung yang sekarang ditempati oleh Jawatan Perindustrian DKI Jaya (bekas gedung perkumpulan olahraga UMS), terdapat sebuah bangunan dari tembok, yang beratap dan sebagian terpendam di dalam tanah, terkenal sebagai tempat pemandian air panas di antara para warga kota pada masa itu.
Di samping kanan dan kiri bangunan itu terdapat sebuah pintu masuk, yang terhalang dari penglihatan oleh sebuah pagar tembok. Di balik masing-masing pintu itu membentang sebuah tangga batu ke bawah, ke ruang mandi yang berukuran kira-kira 3 x 5 M.
Kedua ruang mandi itu, yakni masing-masing di balik pintu-masuk di sebelah kiri dan kanan, dipisahkan oleh sebuah dinding. Ruang yang satu khusus untuk pria, yang lain untuk wanita.
Pada dinding masing-masing ruangan, yang menghadap ke jalan raya, terpasang tiga buah pancuran dari pipa besi dengan garis-tengah kira-kira 10 cm. Air panas yang berasap (kata orang-orang yang mengetahuinya, mengandung zat belerang yang dapat menyembuhkan macam-macam penyakit kulit) mengucur turun dari pancuran-pancuran tadi.
Khalayak boleh mandi di situ dengan cuma-cuma, bahkan banyak pula yang sekaligus mencuci pakaian.
Di tengah-tengah ruangan membentang selokan batu yang kecil, di mana air dari pancuran-pancuran tadi mengalir keluar, entah ke mana. Tapi orang-orang tidak tahu, di mana sumber air panas itu.
Mungkinkah tempat mandi air panas itu bekas bak mandi de Klerk, yang dipermodern? Entahlah! Belakangan tempat mandi itu pun dibongkar dan sekarang tiada bekas-bekasnya lagi.
Zwembadzaman bedil Sundut
Tempat mandi yang mengingatkan kita akan kolam renang (zwembad) zaman sekarang, agaknya sudah dikenal pula oleh warga Betawi di abad ke-18 itu.
Misalnya, di pekarangan sebuah gedung besar milik seorang Cina di daerah Glodok, ada sebuah kolam mandi terbuka (open basin). Di sekelilingnya terbentang teras yang diberi berpagar tembok agak pendek namun cukup untuk membikin berabe orang-orang di jalan raya yang iseng-iseng mau ngintip orang mandi.
Air yang mengalir masuk ke dalam kolam itu pun berasal dari kali Ciliwung yang sekarang atau Molenvliet dahulu.
Pada 1 Juni 1861 seorang pengusaha bernama Victor Thornerieux (mungkin keturunan Perancis) membuka sebuah hotel di Molenvliet, yang dinamakannya Hotel de L'Univers, mungkin sebagai saingan Hotel des Indes yang terletak di seberangnya.
Hotel de l'Univers, menurut iklan yang dipasang oleh Thornerieux dalam surat-surat kabar zaman itu, dilengkapi dengan bains d'eau riviere aliaskolam mandi yang berisikan air kali.
Waschhuis,mandihok,dan sumur
Dalam pada itu, ada sementara gedung-gedung besar yang punya tempat mandi di dalam rumah. Dinamakan wasch-huis.
Jika diterjemahkan secara harafiah: “rumah cuci".
Letaknya di halaman terbuka (tidak beratap) di bagian belakang rumah. Di dalamnya tersedia sebuah tahang kayu yang besar dan sebuah gayung untuk menciduk air dari tahang.
Tetapi, menurut Prof. Dr. De Haan, para wanita Belanda zaman itu lebih senang berkecimpungan di kali! Wasch-huisitu pun sering pula dinamakan mandihokartinya “kandang mandi." Sampai di tahun 1840 belum semua rumah tinggal (orang-orang Belanda) di Betawi punya wasch-huisatau mandihoksendiri.
Begitulah tabiat dan kebiasaan mandi bule-bule Kompeni di zaman Betawi Tempo Doeloe. Ternyata mereka tipikal yang "takut air". Entah apa alasannya.