Intisari-Online.com -Paskah adalah salah satu hari raya besar umat Kristen yang memperingati kebangkitan Yesus Kristus dari kematian.
Namun, di Larantuka, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, Paskah tidak hanya dirayakan dengan misa dan doa, melainkan juga dengan tradisi unik yang disebut Semana Santa.
Semana Santa berasal dari bahasa Portugis yang berarti Pekan Suci.
Tradisi ini merupakan warisan budaya dari para misionaris Portugis yang datang ke Larantuka pada abad ke-16 dan menyebarkan agama Katolik.
Semana Santa terdiri dari serangkaian ritual dan prosesi yang berlangsung selama seminggu, mulai dari Minggu Palma hingga Minggu Paskah.
Patung Tuan Ma dan Tuan Ana
Salah satu ciri khas dari Semana Santa adalah adanya dua patung yang menjadi pusat perhatian umat Katolik di Larantuka, yaitu Patung Tuan Ma dan Patung Tuan Ana.
Patung Tuan Ma adalah simbol dari Bunda Maria, sedangkan Patung Tuan Ana adalah simbol dari Yesus Kristus.
Patung Tuan Ma ditemukan oleh seorang pemuda bernama Resiona di pesisir pantai Larantuka pada tahun 1510.
Patung ini awalnya dianggap sebagai benda keramat oleh masyarakat setempat yang menganut kepercayaan animisme.
Namun, setelah para misionaris Portugis datang dan memberikan penjelasan tentang agama Katolik, patung ini mulai dipuja sebagai Bunda Maria.
Patung Tuan Ana diperkirakan dibawa oleh para misionaris Portugis pada tahun 1522.
Patung ini menggambarkan Yesus Kristus yang sedang disalib dengan mahkota duri di kepala dan luka-luka di tubuhnya.
Patung ini disimpan di sebuah kapel bernama Kapela Tua Ana yang berada di dekat Gereja Katedral Larantuka.
Ritual dan Prosesi
Semana Santa dimulai dengan Misa Minggu Palma yang dilakukan di Gereja Katedral Larantuka pada Minggu sebelum Paskah.
Pada misa ini, umat Katolik membawa daun palem sebagai lambang penghormatan kepada Yesus Kristus yang masuk ke Yerusalem.
Pada Kamis Putih atau Kamis sebelum Paskah, dilakukan Misa Pemberkatan Minyak Suci dan Pembaharuan Janji Imamat di Gereja Katedral Larantuka.
Pada misa ini, dua patung Tuan Ma dan Tuan Ana dibuka dari tabir hitam yang menutupinya sepanjang tahun.
Umat Katolik kemudian berziarah ke kedua patung tersebut untuk menyampaikan doa dan penghormatan.
Pada Jumat Agung atau Jumat sebelum Paskah, dilakukan prosesi penguburan Yesus Kristus yang disebut Prosesi Tujuh Keliling.
Dalam prosesi ini, Patung Tuan Ana dibawa keluar dari Kapela Tua Ana dan diarak mengelilingi kota Larantuka sebanyak tujuh kali.
Umat Katolik mengikuti prosesi ini dengan berjalan kaki sambil membawa lilin dan menyanyikan lagu-lagu pujian.
Pada Sabtu Suci atau Sabtu sebelum Paskah, dilakukan prosesi pertemuan antara Bunda Maria dan Yesus Kristus yang disebut Prosesi Pertemuan.
Dalam prosesi ini, Patung Tuan Ma dibawa keluar dari Gereja Katedral Larantuka dan diarak menuju Kapela Tua Ana.
Di sana, Patung Tuan Ma bertemu dengan Patung Tuan Ana dan keduanya saling berhadapan. Umat Katolik menyaksikan pertemuan ini dengan haru dan mengucapkan doa-doa.
Prosesi ini melambangkan kesedihan Bunda Maria yang melihat anaknya mati di kayu salib.
Pada Minggu Paskah atau Minggu setelah Paskah, dilakukan Misa Kebangkitan Yesus Kristus yang disebut Misa Paskah.
Dalam misa ini, Patung Tuan Ma dan Patung Tuan Ana dibawa kembali ke tempat semula dan ditutup kembali dengan tabir hitam.
Umat Katolik merayakan kebangkitan Yesus Kristus dengan sukacita dan bersyukur.
Makna dan Pesan
Semana Santa adalah tradisi unik yang menggugah jiwa bagi umat Katolik di Larantuka.
Tradisi ini mengajarkan tentang pengorbanan, kesetiaan, pengampunan, dan harapan yang ditunjukkan oleh Yesus Kristus dan Bunda Maria.
Tradisi ini juga menjadi sarana untuk mempererat hubungan antara umat Katolik dengan Tuhan dan sesama.
Selain itu, Semana Santa juga menunjukkan toleransi dan kerukunan antar umat beragama di Larantuka.
Meskipun mayoritas penduduk Larantuka beragama Katolik, ada juga penduduk yang beragama Islam, Hindu, Buddha, dan lainnya.
Mereka saling menghormati dan mendukung tradisi Semana Santa sebagai bagian dari kekayaan budaya Indonesia.
Semana Santa merupakan ikon dari Flores Timur dan menjadi daya tarik tersendiri, baik bagi peziarah maupun wisatawan.
Selain menggeliatkan ekonomi dan pariwisata, tradisi ini juga menjadi wujud pelestarian warisan leluhur yang harus dilestarikan dan dikembangkan.