Perang Wangkang adalah salah satu perlawanan rakyat Kalimantan Tengah terhadap penjajahan Belanda yang berlangsung selama 10 tahun (1864-1874).
Perlawanan ini dipicu oleh kebijakan Belanda yang mengenakan pajak kepada rakyat Dayak dan mengganggu hak-hak adat mereka.
Perlawanan ini dipimpin oleh Temenggung Wangkang, pemimpin suku Dayak Maanyan yang berbasis di Puruk Cahu.
Temenggung Wangkang berhasil menggalang dukungan dari berbagai suku Dayak lainnya, seperti Siang, Murung, Ot Danum, Ngaju dan Bakumpai.
Ia juga mendapat bantuan dari beberapa penguasa Banjar yang tidak puas dengan Belanda, seperti Pangeran Antasari dan Pangeran Hidayatullah.
Perlawanan ini menyebar ke berbagai daerah di Kalimantan Tengah, seperti Barito, Kahayan, Kapuas dan Katingan.
Pasukan Wangkang melakukan serangan-serangan gerilya terhadap pos-pos dan benteng-benteng Belanda.
Mereka juga membakar perkebunan-perkebunan karet dan kopi milik Belanda. Mereka menggunakan senjata tradisional seperti parang, tombak, sumpit dan senapan lantak.
Pasukan Wangkang juga memiliki kepercayaan magis yang membuat mereka merasa kebal terhadap peluru Belanda.
Salah satu pertempuran besar dalam Perang Wangkang terjadi pada tahun 1870 di Sungai Miai, dekat Banjarmasin.
Di sana, pasukan Wangkang yang berjumlah sekitar 500 orang menyerang benteng Belanda yang dikuasai oleh Residen Tromp.
Residen Tromp meminta bantuan dari Ngabe Anom Soekah, kepala kampung Pahandut yang dikenal sebagai pemimpin Dayak Ngaju yang setia kepada Belanda.
Penulis | : | Afif Khoirul M |
Editor | : | Afif Khoirul M |
KOMENTAR