Intisari-online.com - Ngabe Anom Soekah adalah salah satu tokoh pejuang asal Kalimantan Tengah yang berperan dalam perlawanan terhadap penjajahan Belanda.
Ia adalah kepala kampung Pahandut yang berasal dari suku Dayak Ngaju.
Juga dikenal sebagai pemimpin yang bijaksana, berani dan memiliki kepedulian sosial tinggi.
Selain itu, diajuga memiliki kemampuan spiritual yang tinggi dan dihormati oleh masyarakat Dayak.
Ngabe Anom Soekah lahir pada tahun 1829 di kampung Pahandut, pinggiran Sungai Kahayan. Ayahnya bernama Bayuh dan ibunya bernama Kambang.
Orang tua Ngabe Anom Soekah berasal dari Lewu (kampung) Bukit Rawi, yang dulu dikenal sebagai Lewu Barah.
Lewu Barah adalah tempat yang berpasir dan panas, sehingga orang-orang Bukit Rawi memilih untuk pindah ke tempat yang lebih subur dan ramai untuk berladang.
Bayuh dan Kambang juga merasa Lewu Barah tidak memberikan harapan untuk meneruskan hidup.
Mereka bersepakat mencari tempat baru untuk membangun dukuh dan memulai hidup baru.
Selain itu mereka jugapergi ke hilir dengan perahu dan sampai di tempat yang sekarang menjadi kota Palangkaraya.
Di sana, ayam jago yang mereka bawa berkokok tujuh kali di sekitar pelabuhan Rambang.
Baca Juga: Snouck Hurgronje Menyamar Jadi Muslim Selama Perang Aceh, Fakta Atau Mitos?
Bagi Bayuh dan Kambang, ini adalah pertanda baik bahwa tempat itu cocok untuk ditinggali.
Di tempat itu, terdapat tanah tinggi yang disebut Bukit Manyuluh, yang terbentang dari sekitar pasanggarahan tempat Soekarno menginap saat datang ke Pahandut (di Jalan Kalimantan) menuju ke Pahandut lama (area Pelabuhan Rambang).
Di sana juga terdapat dataran pematang (tanah tinggi) yang membentang dari sungai Kahayan menuju sungai Rungan yang disebut Tangking atau Tangkiling.
Wilayah yang terkenal dengan sebutan Bukit Jekan dengan tanah berbukit di Tangkiling pada kawasan tepi barat sungai Kahayan, sedangkan di bagian timur, terdapat danau besar yang dinamakan Danau Tundai dengan jumlah dan jenis ikan yang melimpah.
Bayuh dan Kambang memilih untuk menetap di Bukit Manyuluh dan membangun dukuh di sana. Mereka memiliki dua anak laki-laki, yaitu Jaga dan Soekah.
Jaga adalah anak tertua yang diharapkan untuk menggantikan ayahnya sebagai kepala desa.
Namun Jaga merasa adiknya Soekah lebih pantas untuk menjadi pemimpin karena Soekah memiliki bakat kepemimpinan yang lebih baik.
Soekah sendiri menolak dengan alasan ia ingin merantau (mengembara atau berkelana).
Soekah pun pergi merantau dan sampai di Puruk Cahu.
Di sana, ia bertemu dengan Temenggung Wangkang, pemimpin suku Dayak Maanyan yang sedang mengadakan perlawanan terhadap Belanda yang dikenal sebagai Perang Wangkang sekitar tahun 1870.
Soekah pun ikut membantu Temenggung Wangkang dalam melawan pasukan Belanda.
Baca Juga: 2 Kali Menyerang Batavia, 2 Kali Juga Pasukan Sultan Agung Babak Belur Di Hadapan Belanda
Perang Wangkang adalah salah satu perlawanan rakyat Kalimantan Tengah terhadap penjajahan Belanda yang berlangsung selama 10 tahun (1864-1874).
Perlawanan ini dipicu oleh kebijakan Belanda yang mengenakan pajak kepada rakyat Dayak dan mengganggu hak-hak adat mereka.
Perlawanan ini dipimpin oleh Temenggung Wangkang, pemimpin suku Dayak Maanyan yang berbasis di Puruk Cahu.
Temenggung Wangkang berhasil menggalang dukungan dari berbagai suku Dayak lainnya, seperti Siang, Murung, Ot Danum, Ngaju dan Bakumpai.
Ia juga mendapat bantuan dari beberapa penguasa Banjar yang tidak puas dengan Belanda, seperti Pangeran Antasari dan Pangeran Hidayatullah.
Perlawanan ini menyebar ke berbagai daerah di Kalimantan Tengah, seperti Barito, Kahayan, Kapuas dan Katingan.
Pasukan Wangkang melakukan serangan-serangan gerilya terhadap pos-pos dan benteng-benteng Belanda.
Mereka juga membakar perkebunan-perkebunan karet dan kopi milik Belanda. Mereka menggunakan senjata tradisional seperti parang, tombak, sumpit dan senapan lantak.
Pasukan Wangkangjuga memiliki kepercayaan magis yang membuat mereka merasa kebal terhadap peluru Belanda.
Salah satu pertempuran besar dalam Perang Wangkang terjadi pada tahun 1870 di Sungai Miai, dekat Banjarmasin.
Di sana, pasukan Wangkang yang berjumlah sekitar 500 orang menyerang benteng Belanda yang dikuasai oleh Residen Tromp.
Residen Tromp meminta bantuan dari Ngabe Anom Soekah, kepala kampung Pahandut yang dikenal sebagai pemimpin Dayak Ngaju yang setia kepada Belanda.
Namun Soekah menolak untuk membantu Residen Tromp karena ia merasa bersimpati dengan perjuangan Wangkang.
Pertempuran Sungai Miai berlangsung sengit dan berdarah-darah. Pasukan Wangkang berhasil menembus pertahanan Belanda dan mendekati benteng.
Residen Tromp terluka parah dan terpaksa melarikan diri dengan perahu bersama beberapa serdadunya.
Pasukan Wangkang berhasil menduduki benteng dan membunuh banyak tentara Belanda yang tersisa. Namun dalam pertempuran ini, Temenggung Wangkang juga gugur sebagai pahlawan.
Kematian Temenggung Wangkang merupakan pukulan besar bagi perlawanan rakyat Kalimantan Tengah.
Meskipun perlawanan masih berlanjut di beberapa daerah, namun tidak sekuat sebelumnya. Belanda semakin meningkatkan kekuatan militernya dan melakukan operasi-operasi penumpasan terhadap para pejuang Dayak.
Pada tahun 1874, perlawanan rakyat Kalimantan Tengah secara resmi dinyatakan berakhir oleh Belanda.
Perang Wangkang adalah salah satu babak penting dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan.
Perlawanan ini menunjukkan semangat patriotisme dan persatuan dari berbagai suku Dayak yang bersatu demi membela tanah airnya.
Juga menginspirasi generasi-generasi selanjutnya untuk terus melawan penindasan dan menjaga hak-hak adat mereka.
Ngabe Anom Soekah adalah salah satu tokoh yang turut andil dalam perlawanan ini. Ia adalah pemimpin Dayak Ngaju yang memiliki integritas dan keberanian.
Ia menolak untuk menjadi boneka Belanda dan memilih untuk mendukung perjuangan rakyatnya.
*Artikel ini dibuat dengan bantuan Ai