Belanda Babak Belur Dalam Perang Aceh, Butuh Waktu 40 Hingga Puluhan Ribun Pasukan Jadi Korban

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Meskipun memenangkan pertempuran, Belanda babak belur dalam Perang Aceh. Selain kerugian material, negara penjajah itu juga mengalami kerugian secara mental.
Meskipun memenangkan pertempuran, Belanda babak belur dalam Perang Aceh. Selain kerugian material, negara penjajah itu juga mengalami kerugian secara mental.

Meskipun memenangkan pertempuran, Belanda babak belur dalam Perang Aceh. Selain kerugian material, negara penjajah itu juga mengalami kerugian secara mental.

Intisari-Online.com -Perang Aceh adalah salah satu perang terlama dan terberat yang dihadapi oleh Belanda dalam sejarah penjajahannya di Nusantara.

Perang ini berlangsung dari tahun 1873 hingga 1914, dengan beberapa fase dan tokoh yang terlibat.

Perang ini dipicu oleh ambisi Belanda untuk menguasai Aceh, yang merupakan kerajaan Islam terakhir yang berdiri di Nusantara.

Perang Aceh I (1873-1874)

Perang Aceh I dimulai pada 26 Maret 1873, ketika Belanda secara resmi memaklumkan perang terhadap Kesultanan Aceh Darussalam.

Belanda ingin menguasai Aceh karena alasan strategis dan ekonomis, terutama setelah pembukaan Terusan Suez pada 1869 yang meningkatkan pentingnya jalur perdagangan di Selat Malaka.

Belanda tidak langsung melakukan penyerangan karena masih menghimpun pasukan.

Sementara itu, pihak Aceh melakukan mobilisasi umum untuk menghadapi perang.

Pada 6 April 1873, pasukan Belanda yang dipimpin oleh Jenderal J.H.R. Kohler berlabuh di Pantai Ceureumen, Aceh Barat.

Pasukan Aceh yang dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah langsung menggempur pasukan Belanda dengan meriam.

Pasukan Aceh berhasil mempertahankan wilayahnya dan menewaskan Jenderal Kohler pada 14 April 1873.

Belanda kewalahan dan memutuskan untuk menghentikan serangan ini sembari menghimpun kekuatan dan strategi baru.

Perang Aceh II (1874-1880)

Perang Aceh II dipimpin oleh Jenderal Jan van Swieten, yang menggantikan Kohler.

Belanda menggunakan strategi licik dengan membuat perjanjian damai dengan Aceh pada 18 November 1873, yang dikenal sebagai Perjanjian Masang.

Dalam perjanjian itu, Belanda mengakui kedaulatan Aceh dan menjanjikan bantuan militer jika diperlukan.

Namun, perjanjian itu hanyalah tipu muslihat Belanda untuk mendapatkan waktu dan kesempatan untuk memperkuat posisinya di Aceh.

Pada 8 April 1874, Belanda melanggar perjanjian dengan menyerbu istana Sultan di Kutaraja (sekarang Banda Aceh).

Sultan Mahmud Syah berhasil melarikan diri ke pedalaman, sementara pasukan Belanda menduduki ibu kota.

Belanda kemudian membangun benteng-benteng pertahanan di sekitar Kutaraja dan mulai melakukan ekspansi ke daerah-daerah lain di Aceh.

Namun, pasukan Aceh tidak menyerah begitu saja.

Mereka melakukan perlawanan sengit dengan taktik gerilya dan bantuan dari rakyat.

Salah satu tokoh perlawanan yang paling terkenal adalah Teuku Umar, yang awalnya bekerja sama dengan Belanda sebagai panglima bayaran.

Namun, pada Februari 1899, ia mengkhianati Belanda dengan membawa lari senjata dan amunisi yang diberikan kepadanya.

Ia kemudian bergabung kembali dengan pasukan Aceh dan melancarkan serangan-serangan kejutan terhadap pos-pos Belanda.

Perang Aceh III (1880-1896)

Perang Aceh III ditandai dengan pergantian pimpinan militer Belanda dari Jenderal van Swieten ke Jenderal J.B. van Heutsz pada tahun 1898.

Van Heutsz menerapkan strategi baru yang lebih agresif dan brutal untuk menumpas perlawanan Aceh.

Fase ini ditandai dengan perlawanan sengit dari rakyat Aceh yang menggunakan taktik gerilya dan bantuan dari para ulama dan pemimpin lokal.

Salah satu tokoh perlawanan yang paling terkenal adalah Teuku Umar, yang awalnya bekerja sama dengan Belanda sebagai panglima bayaran.

Namun, pada Februari 1899, ia mengkhianati Belanda dengan membawa lari senjata dan amunisi yang diberikan kepadanya.

Ia kemudian bergabung kembali dengan pasukan Aceh dan melancarkan serangan-serangan kejutan terhadap pos-pos Belanda.

Selain Teuku Umar, ada juga tokoh-tokoh lain yang berperan dalam Perang Aceh III, seperti Cik Ditiro, Panglima Polim, dan Cut Nyak Dien.

Cik Ditiro adalah seorang ulama yang mengobarkan semangat jihad di kalangan rakyat Aceh.

Ia juga menulis buku-buku sejarah dan politik yang mengkritik penjajahan Belanda.

Panglima Polim adalah seorang pemimpin militer yang berhasil mempertahankan wilayah Gayo dari serangan Belanda.

Ia juga membantu Teuku Umar dalam mengorganisir perlawanan di daerah Meulaboh dan Pidië.

Cut Nyak Dien adalah istri Teuku Umar yang melanjutkan perjuangan suaminya setelah ia gugur pada tahun 1899.

Ia dibantu oleh pejuang wanita lainnya, seperti Pocut Baren, Cut Nyak Meutia, dan Cut Gambang.

Ia terus memimpin perang gerilya hingga akhirnya ditangkap oleh Belanda pada tahun 1905.

Peran Aceh III menunjukkan bahwa rakyat Aceh tidak mudah menyerah kepada Belanda.

Mereka memiliki semangat juang yang tinggi dan didukung oleh ajaran Islam yang kuat.

Mereka juga memiliki pemimpin-pemimpin yang berani dan cerdik dalam menghadapi musuh yang lebih kuat dan modern.

Peran Aceh III juga memberikan inspirasi bagi perlawanan-perlawanan lainnya di Indonesia melawan penjajahan Belanda.

Tokoh-tokoh seperti Teuku Umar dan Cut Nyak Dien menjadi simbol heroisme dan patriotisme bagi bangsa Indonesia.

Kerugian Belanda

Perang Aceh adalah perang yang berlangsung selama sekitar 40 tahun antara Kesultanan Aceh melawan Belanda yang ingin menguasai wilayah Aceh.

Perang ini dimulai pada tahun 1873 dan berakhir pada tahun 1904 dengan pembubaran Kesultanan Aceh oleh Belanda.

Namun, perlawanan rakyat Aceh masih terus berlanjut hingga tahun 1914 dengan menggunakan strategi perang gerilya.

Perang Aceh merupakan salah satu perang terlama dan terberat yang pernah dihadapi oleh Belanda di Indonesia.

Selama perang ini, Belanda mengalami banyak kerugian baik dari segi militer, politik, ekonomi, maupun moral.

Dari segi militer, Belanda mengalami banyak korban jiwa dan luka-luka akibat pertempuran sengit dengan pasukan dan rakyat Aceh yang gigih dan berani.

Menurut sejarawan Paul van 't Veer dalam bukunya Perang Aceh: Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje, selama perang ini Belanda kehilangan sekitar 10.000 tentara Eropa dan 25.000 tentara pribumi yang tewas atau luka-luka.

Salah satu korban yang paling menonjol adalah Mayor Jenderal J.H.R. Kohler, panglima pasukan Belanda dalam ekspedisi pertama ke Aceh, yang tewas ditembak tentara Aceh pada tahun 18732.

Dari segi politik, Belanda menghadapi banyak kritik dan protes dari masyarakat internasional maupun dalam negeri sendiri atas kebijakan dan tindakan mereka di Aceh.

Banyak negara Eropa dan Amerika yang mengecam Belanda karena dianggap melanggar hak asasi manusia dan hukum internasional dengan melakukan kekerasan, pembantaian, penyiksaan, pemerkosaan, dan penjarahan terhadap rakyat Aceh.

Di dalam negeri sendiri, banyak politisi dan tokoh masyarakat yang menentang perang ini karena dianggap sia-sia, mahal, dan tidak bermoral.

Bahkan, Ratu Wilhelmina sendiri sempat mengusulkan untuk mengakhiri perang ini pada tahun 1898, tetapi ditolak oleh pemerintah kolonial.

Dari segi ekonomi, Belanda mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk membiayai perang ini.

Menurut Paul van 't Veer, selama perang ini Belanda menghabiskan sekitar 600 juta gulden atau setara dengan 12 miliar euro saat ini.

Biaya ini mencakup biaya operasi militer, pembangunan infrastruktur, pengadaan senjata dan perlengkapan, gaji tentara dan pegawai sipil, serta bantuan kemanusiaan untuk rakyat Aceh.

Biaya ini sangat memberatkan anggaran negara Belanda yang saat itu sedang mengalami krisis ekonomi akibat depresi dunia pada akhir abad ke-19.

Dari segi moral, Belanda mengalami penurunan citra dan reputasi sebagai negara yang beradab dan berbudaya di mata dunia.

Perang ini menunjukkan sisi gelap dari kolonialisme Belanda yang brutal dan bengis terhadap rakyat jajahannya.

Perang ini juga menimbulkan trauma dan luka batin bagi banyak tentara dan pegawai sipil Belanda yang terlibat di Aceh.

Banyak di antara mereka yang menderita stres pasca-trauma atau gangguan mental akibat pengalaman mengerikan yang mereka alami di medan perang.

Artikel Terkait